Berikut pendapat sejumlah pakar hukum tata negara terkait usulan hak angket DPR untuk mengusut kecurangan Pemilu 2024:

Fahri Bachmid dari Universitas Muslim Indonesia

Fahri Bachmid menekankan bahwa hak angket seharusnya digunakan untuk pengawasan terhadap lembaga eksekutif, bukan untuk menilai proses atau hasil pemilu. Menurutnya, penyelesaian sengketa pemilu seharusnya dilakukan melalui Mahkamah Konstitusi, bukan lewat penggunaan hak angket.

“Jalan ke MK itu yang mestinya digunakan. Jika angket yang mau dipaksakan, tentu sangat destruktif terhadap sistem ketatanegaraan,” kata Fahri.

Agus Riewanto dari Universitas Sebelas Maret

Agus Riewanto mengatakan bahwa hak angket DPR dapat digunakan untuk mengungkap kecurangan dalam Pemilu 2024 dan dapat menjadi dasar pemakzulan terhadap Presiden Joko Widodo. Namun, syaratnya adalah materi hak angket harus berkaitan dengan pelanggaran undang-undang atau kebijakan strategis yang berdampak luas.

Menurut Agus, dugaan keterlibatan Presiden dengan mendukung salah satu pasangan calon presiden dan wakilnya bisa menjadi obyek hak angket. Temuan cawe-cawe Presiden harus dibuktikan dengan dokumen.

“Temuan itu kemudian bisa dipertentangkan dengan Undang- Undang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara,” ujar Agus.

Charles Simabura dari Universitas Andalas

Charles Simabura menyatakan bahwa hak angket DPR terkait dugaan kecurangan Pemilu 2024 juga dapat mengarah pada pemakzulan Presiden Jokowi. Tim khusus dapat dibentuk untuk menyelidiki dugaan keterlibatan Presiden dalam mendukung salah satu paslon. Temuan dari penyelidikan tersebut bisa menjadi bahan pemakzulan presiden.

“Tim itu harus melaporkan tugasnya paling lama 60 hari sejak dibentuk,” kata Charles.

Herdiansyah Hamzah dari Universitas Mulawarman

Herdiansyah Hamzah menjelaskan bahwa hak angket tidak akan mempengaruhi atau membatalkan hasil pemilu karena kewenangan pembatalan hasil pemilu ada di Mahkamah Konstitusi. Namun, ia menyatakan bahwa hak angket perlu didukung sebagai upaya menjalankan fungsi pengawasan DPR.

Herdiansyah mengatakan proses pemakzulan melalui hak angket tersebut juga menghadapi tantangan. Sebab, pemakzulan baru bisa dilakukan bila berada dalam tahap hak menyatakan pendapat.

Tahap ini memerlukan dukungan 2/3 suara dari total anggota DPR yang berjumlah 575 orang. Gabungan kubu 01 dan 03 belum menjamin batas suara itu. “Paling tidak ada 384 suara setuju. Tapi gabungan kubu 01 dan 03 kanya 314 suara,” katanya.

Pendapat para pakar tersebut memberikan sudut pandang yang beragam terkait dengan penggunaan hak angket dalam mengungkap dugaan kecurangan pemilu dan kemungkinan dampaknya terhadap posisi Presiden.