Opini
Beranda » Berita » Pahitnya Masa SMP

Pahitnya Masa SMP

Pahitnya Masa SMP
Pahitnya Masa SMP

HarianBatakpos.com – Hai, aku Jams otniel Rychard saragi . Aku semasa SMP banyak sekali masa pahit ku di 2011 hingga 2013 semua kusimpan dalam hidupku karena kedua orang tua dan keluarga tidak akan menolong diriku selain diriku sendiri yang dapat menyelesaikan kisah hidupku. Inilah kisah ku semasa SMP yang berlika-liku tajam bagaikan setajam silet yang diiris ke kulit tetapi SMP swasta ku dikasih nama samaran dan kisahnya semua sama kisah pahitku dismp swasta tersebut.

Pada kelas satu smp , aku masih mengikuti ospek kegiatan siswa-siswi baru di tempat smp ku. Di kelas satu ini aku masih hari yang baik dan tidak ada gejala apapun dalam masa perkenalan siswa- siswi baru . Aku berkenalan dengan teman-teman yang asli orang berkulit putih dan kami yang asli Indonesia hanya ada lima orang saja selebihnya berkulit putih . Dicerita pengalaman ku tidak ada maksud menyinggung siapapun , lalu saya dapatlah teman-teman baru di SMPK Gading Indah (nama samaran) .

Selama satu semester ku jalani di smpk sindoro teman-teman ku masih kelihatan baik kepada siapapun , dan setelah masuk semester kedua aku bersama teman-teman sudah mulai agak stress dengan tugas sekolah yang begitu banyak numpuk .

Cara Menghitung Matematika dengan Baik dan Benar, 90+6= 96 Bukan 99!

Saat esok hari, pelajaran dimulai pada hari Senin dengan mata pelajaran IPA, biologi, matematika, fisika, bahasa Inggris, dan bahasa Mandarin. Di semester kedua dan pada hari pertama ini, menurutku sangatlah berat hidupku. Aku memulai pelajaran matematika yang mana merupakan mata pelajaran yang sangat berat bagiku.

“San, aku mau lihat tugas Matematika mu dong, aku benar-benar pusing. Ga ada yang masuk ke otakku,” ujarku kepada Sander.

Sander menjawab, “Iya nih, Jams. Ini tugasku, aku kasih ke kamu. Tapi jangan terlalu lama, nanti Bu Ida curiga dengan jawaban kita berdua.” Aku merasa senang mendapat jawaban.

Saat jam matematika dimulai, kami penuh antusias. Bu Selvi memulai pelajaran dengan semangat.

Seni Flexing Kekuasaan

“Anak-anak, kumpulkan tugas matematika yang saya berikan sebelum istirahat tadi ya,” ujar Bu Ida kepada kami saat jam matematika berlangsung.

Galih menjawab, “Baik ibu, kami sudah mengerjakannya semua.”

Felis menyindirku, “Jams, belum selesai tugasnya? Pasti kamu tidak bisa matematika dan nyontek sana-sini ya, Jems?” Aku hanya terdiam, tidak berani banyak melawan karena Felis selalu menjadi yang terbaik dalam mata pelajaran tersebut.

Setelah tugas dikumpulkan, aku lega karena tugasku sudah selesai dengan bantuan Sander, satu-satunya temanku yang selalu membantu dalam hitung-hitungan.

Setiap hari Jumat, aku menjadi korban bully saat olahraga atau saat jam kosong. Aku dibully oleh teman-teman cowokku karena tinggi badanku, kulitku, status ekonomiku, latar belakang sekolah, dan keturunanku.

Dari hari Selasa sampai Kamis, aku mencoba menghindari mereka dengan duduk di belakang dan tidak banyak bicara. Namun, saat Jumat, saat jam olahraga, perlakuan tidak menyenangkan terjadi lagi. Teman-temanku yang lebih besar dan lebih tua dari aku mengejekku.

“Weh, anak SD, bisa ga kamu lari yang benar dan main bola basket dengan benar? Dasar cupu!” kata teman Kennedy kepadaku. Aku hanya bisa diam, tidak ada yang membela. Bahkan guru olahraga tidak membela, hanya diam dalam hati.

“Iya Ken, Jams bisa kok. Lagi capek aja dia karena lari lima kali keliling taman,” kata seorang teman, mencoba membelaiku.

“Tolong hargai orang, Ken, kalau mau dihargai balik,” sahut Risda kepada Kennedy dengan suara lantang.

Bullying dan penghinaan dari teman-temanku masih berlanjut hingga kelas dua SMP. Namun, di kelas ini, situasinya lebih rumit karena teman-temanku merasa lebih senior dan merasa pantas mendapat penghormatan. Guru-guru pun tidak banyak menanggapi, menganggapnya sebagai perilaku anak-anak yang tidak perlu diperhatikan.

Peristiwa yang lebih mengagetkan terjadi saat pengambilan nilai keterampilan ekstrakurikuler olahraga renang. Setiap kali mengambil nilai, aku selalu didorong masuk ke kolam renang dewasa, padahal teman-temanku tahu bahwa aku tidak bisa berenang di kolam yang begitu dalam. Mereka hanya melihat dan tertawa, tanpa berusaha membantuku. Pelatih renang yang akhirnya menolongku. Aku masih ingat perkataan mereka saat mendorongku ke kolam.

“Maksudnya apa sih, Jams ga bisa berenang.”

“Iya, kasihan, dia ga bisa berenang.”

“Biarkan saja, dia harus belajar berenang di kolam yang lebih dalam, hihi…tapi malah merepotkan kita semua.”

Aku mendengar suara mereka sambil terkapar lemah di tepi kolam yang dalam itu. Setelah kejadian itu, aku dibawa ke ruang P3K dan baru sadar kembali. Di dalam hatiku, aku bertanya-tanya, “Tuhan, apakah semua manusia sejahat ini? Mengapa aku harus mendapat perlakuan seperti ini dari teman sekolahku?” Aku hanya bisa merenung dan menangis dalam hati, dalam perjalanan pulang di dalam angkutan umum.

Pada bulan berikutnya, aku mendapat perlakuan yang tidak baik ketika sedang mengobrol dengan teman sekelas yang tidak memiliki kulit putih seperti kebanyakan dari kami. Meskipun ada waktu luang saat jam kosong, kami tidak diizinkan untuk berbincang bersama-sama, tapi masing-masing dibiarkan berinteraksi sendiri atau dengan kelompok masing-masing karena sekolah SMPK Gading Indah ini tergolong elit. Saat itu, ketika sedang asik berbincang dengan temanku, tiba-tiba bangku tempatku ditarik dari belakang.

Aku terjatuh dengan suara “Prak!” yang sangat menyakitkan. Seluruh kelas tertawa, kecuali lima temanku yang melihat dengan kesal. Aku merasa malu dan lari ke toilet untuk menangis di hadapan cermin. Aku hanya bisa menahan sakit dan menyimpan perasaan itu sendiri, tidak menceritakannya kepada guru atau orang tuaku karena aku yakin mereka tidak akan percaya. Ketika guru bertanya, “Kenapa badan belakangmu sakit?” aku hanya menjawab, “Tidak apa-apa, Bu, hanya kecapean.”

Sebenarnya, saat itu aku merasakan sakit yang luar biasa, tapi aku hanya bisa diam dan menahan. Teman-teman yang lain hanya menertawakanku, sementara aku hanya bisa menundukkan kepala dan duduk di tempatku di belakang, posisi yang telah menjadi tempatku sejak kelas 1.

Pada akhir semester dua kelas dua, sakitku semakin parah terutama pada bagian pinggang dan tulang ekorku. Tetapi, saat kami diminta guru seni budaya untuk menampilkan tarian Bali dan Jawa untuk ujian akhir semester, semua teman-temanku tampil dengan baik. Saat giliranku, aku hanya bisa menari dengan sangat patah-patah karena rasa sakit yang tak tertahankan di belakangku, tapi lima temanku membantuku.

“Jam, bawa tongkat saja, biar seperti aki-aki yang lumpuh, Jams!” kata Kennedy dengan tertawa jahatnya.

Aku hanya menjawab, “Terima kasih atas responmu, Kennedy.” Pikiranku campur aduk.

Dwiki menyahut, “Kamu kurang ajar, Ken! Karena kamu tinggi, kamu merasa bisa semena-mena membully Jams di depan semua orang untuk mempermalukannya. Pikiranmu jahat, Ken!”

Guru ikut campur, “Ada apa ini? Mengapa kalian rebutan begini? Ini ujian seni budaya, bukan pertunjukan drama! Tolong kerja sama, anak-anak!” Tapi bagiku, saat itu, satu-satunya pembelaanku hanya datang dari Yang Maha Pencipta.

Setelah ujian seni budaya, guru meminta aku untuk istirahat di rumah. Aku diberi waktu dua minggu untuk beristirahat. Namun, takdir berkata lain. Aku mulai merasa demam tinggi dan mengalami gejala lainnya di tenggorokan. Orangtuaku panik dan membawaku ke dokter ortopedi dan THT. Di ruang dokter ortopedi, dokter bertanya, “Nak, apa keluhanmu di bagian belakang?” dengan wajah penuh kasih sayang.

Jawabanku, “Saya merasakan keluhan di area belakang saat sedang tidur dan bangun, terutama di leher dan tulang belakang yang sering sakit dan sulit untuk digerakkan. Seringkali gejala tersebut muncul, Dok.” Dalam keadaan seperti ini, aku masih menyembunyikan kejadian yang sebenarnya, sambil menahan tangis pelan. Rasanya aku ingin teriak, tetapi aku menahannya demi rasa pahitku.

Setelah semua ditanyakan, dokter mengarahkan saya untuk menjalani pemeriksaan laboratorium tulang. Semua peralatan sudah disiapkan di ruangan karena saya tidak bisa naik ke lantai atas rumah sakit. Hasilnya menunjukkan bahwa tulang saya dari atas hingga tulang ekor mengalami pembengkakan dan cairan keluar dari tulang ekor, sehingga tidak bisa memberikan pertumbuhan yang normal. Dokter memberikan terapi untuk menghentikan cairan tersebut dan mengembalikan posisi tulang ekor saya ke kondisi normal.

Setelah berkonsultasi dengan dokter ortopedi, aku dibawa ke ruangan dokter THT dengan kursi roda. Dokter mulai memeriksa kesehatan saya dan menanyakan hal yang sama seperti dokter ortopedi. Namun, hasil pemeriksaan laboratorium mengejutkan, saya terkena tumor tonsil tipe jinak yang masih bisa ditangani oleh dokter. Tumor ini disebabkan oleh kebiasaan saya makan sembarangan selama kelas satu dan dua, karena takut diolok-olok teman-teman yang merasa saya tidak mampu makan seperti mereka.

Aku diberikan surat sakit selama dua bulan penuh oleh dokter. Meskipun harus absen dari ujian UAS, aku bersyukur karena nilai seni budayaku cukup untuk lulus, yaitu sekitar 75, melebihi nilai KKM sebesar 70.

Pada bulan Juni 2012, aku dirawat intensif di rumah sakit oleh kedua dokter tersebut. Dalam kondisi seperti itu, aku harus belajar sendiri semaksimal mungkin agar tidak tertinggal dalam pelajaran.

Hari berganti hari dan minggu berganti minggu, aku menjalani semua dengan perasaan campuran antara pahit, asam, dan manis karena penderitaan yang aku alami. Orangtuaku hanya mengetahui bahwa anak mereka sakit, namun tidak pernah menanyakan keadaanku secara detail. Di sinilah seharusnya peran orang tua, tetapi yang kualami hanyalah ketiadaan mereka. Namun, aku masih bisa menerima keadaan ini karena mereka bertanggung jawab atas biaya pengobatanku.

Selama bulan kedua di rumah sakit, aku hanya memiliki kesempatan untuk belajar. Yang menjengukku hanya guru bahasa Indonesia dan staf TU dari sekolah, bersama lima temanku, selebihnya tidak ada. Dalam hatiku, aku berbisik, “Kalau saja ada golok, aku ingin bunuh diri, Tuhan. Aku tak sanggup lagi menjalani hidup pahit ini!” Namun, temanku menepukku untuk menghentikan lamunanku.

Ketika kedua dokter datang ke kamar inapku, mereka mengatakan bahwa kondisiku sudah mulai membaik. Mereka menyarankan agar aku pulang dan lebih berhati-hati di luar sana. Namun, aku berbisik dalam hati, “Dokter, kalian tidak tahu seberapa sakitnya hatiku selama ini karena harus menyembunyikan semua ini. Aku sakit begini karena ulah bullying teman-temanku, Dok. Seandainya kalian bisa melihat semuanya.” Aku melamun, tapi dipukul lembut oleh kedua orangtuaku.

Setelah sedikit pulih, aku dapat mengikuti ujian UAS dengan baik, kecuali ujian olahraga karena harus bermain bola basket secara perorangan. Di sinilah Kennedy, temanku yang suka berulah, mulai bertindak. Saat giliran bermain bola basketku, ia sengaja melemparkan bola jauh dan menyuruhku mengambilnya, padahal aku tidak bisa berlari-lari karena tulangku belum pulih sepenuhnya. Kejadian itu menyebabkan aku terjatuh dan pingsan di lapangan karena ulahnya. Aku dibawa ke ruang urut yang profesional, dan guru olahragaku memutuskan untuk meluluskanku.

Aku diminta untuk istirahat selama 2 minggu lagi, dan pada saat yang sama, rapor semester diambil. Aku meminta kedua orangtuaku untuk mengambil raporku, dan hasilnya membuatku bersyukur karena aku naik ke kelas tiga SMP, menandai akhir perjuanganku di sekolah ini.

Ketika aku pulih sepenuhnya di kelas tiga, aku menerima segala bentuk bullying dari teman-temanku dengan lapang dada. Mereka sering menggangguku, dan aku hanya bisa menghindarinya dengan pergi ke toilet atau curhat kepada tukang kantin.

Namun, saat memasuki semester dua, aku jatuh sakit karena DBD, dan temanku kembali berulah. Mereka bahkan mengunci aku di toilet dan tak jarang aku terpaksa menghabiskan waktu di sana hingga larut malam. Kejadian ini berlangsung terus sampai ambil rapor semester pertama.

Akhirnya, temanku terbongkar oleh guru IPA, dan dia mendapat hukuman yang setimpal. Aku langsung pulang karena merasa demam kembali menyerang sebelum mengambil rapor. Orangtuaku memerintahkanku untuk memeriksakan diri kembali ke rumah sakit, dan diagnosis dari dokter adalah DBD tipe akut.

Aku harus tinggal di rumah sakit dalam ruangan VIP karena kondisiku yang memburuk. Selama di sana, aku terus memikirkan Ujian Nasional yang akan segera tiba. Meskipun demikian, beberapa guru SMP-ku rajin datang ke rumah sakit untuk memberikan materi persiapan UN.

Setelah perjuangan panjang melawan bullying, sakit, dan ujian, akhirnya aku pulih dari DBD dan berhasil lulus UN dengan nilai yang baik. Semua perjuangan dan pengorbanan, baik dari guru, orangtuaku, maupun dokter, menghasilkan hasil yang manis. Ini adalah akhir yang memuaskan dari kisah hidupku.

 


 

Tentang Penulis

Jams Otniel Rychard Saragi, yang akrab dipanggil Jams, lahir di Jakarta pada tanggal 16 Januari 1998. Dia tinggal di Jl. Rawa Sengon Blok H RT 008 RW 022, Kelurahan Kelapa Gading Barat, Kecamatan Kelapa Gading, Jakarta Utara dengan kode pos 14240.

Sebagai anak pertama dari keluarganya, Jams memiliki hobi yang sangat mendalam dalam membaca buku-buku sastra, termasuk cerpen, novel, dan karya-karya lainnya. Kesibukannya saat ini adalah sebagai mahasiswa Farmasi, yang menunjukkan dedikasinya terhadap dunia ilmu pengetahuan dan kesehatan.

Di tengah kesibukannya, Jams memiliki tujuan yang kuat dalam hidupnya, yaitu untuk tidak pernah menyerah dalam menghadapi segala rintangan, serta untuk tetap fokus dan berusaha keras dalam meraih apa yang diinginkannya, dengan doa sebagai bagian penting dari perjalanan hidupnya. Dengan semangatnya yang tangguh dan tekad yang kuat, Jams menginspirasi untuk terus maju dan menggapai impian-impian yang diinginkannya.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Postingan Terpopuler

BatakPos TV

Kominfo Padang Sidempuan

Kominfo Padang Sidempuan