HarianBatakpos.com – Isak tangisnya semakin kencang, nafasnya tersengal karena berusaha menahan tangisnya agar segera mereda, tapi sama saja, sekelibat bayangan masa-masa menyedihkan itu muncul, membuatnya semakin mengencangkan tangisannya. Dia tidak berani mengangkat wajahnya, bahkan kini semua mata yang melihat kearahnya akan menambah luka dan penghinaan untuknya.
Wajahnya ia gerakkan kearah kanan, masih dengan bersembunyi diantara kedua lututnya yang ia tekuk. Matanya kini tertuju pada seorang lelaki yang berjalan meninggalkan lorong. Keyra menatap lelaki itu tak berkedip ,dengan penuh keberanian, Keyra berjalan mengikuti langkah lelaki yang ia lihat barusaja.
Keyra membuka pintu menuju balkon gedung dengan perasaan yang terbebani. Wajahnya tampak lelah, matanya yang sembab dan terlihat setelah menangis barusaja. Pandangannya tertuju pada seorang lelaki yang berdiri di balkon, mengisap rokoknya sambil menyandarkan lengan ke beton balkon.
“Lo masih mau diem?” tanya Keyra, suaranya ia buat agar tetap tegar.
Namun, lelaki itu tidak menoleh. Tatapannya masih mengarah ke langit-langit dengan ekspresi yang datar, seolah sedang melayang di dunianya sendiri.
“Lo harusnya ngelawan,” ucap lelaki itu singkat, suaranya penuh dengan ketegasan.
Keyra terkejut mendengarnya. Tatapannya yang tak percaya mengungkapkan kebingungannya atas kata-kata tajam yang baru saja diucapkan lelaki itu.
“Mereka temen lo, tapi lo pura-pura gak kenal gue dan biarin mereka ngerisak gue.”
“Keyy…” potong Gavin sambil kemudian mengepulkan asap rokok dari mulutnya.
“Lo keluarga gue, kita keluarga,” potong Keyra dengan cepat, mencoba mempertahankan posisinya.
Namun, Gavin, lelaki di sana, tertawa renyah. Dia memandang Keyra dengan ekspresi kasihan, seolah melihat seseorang yang butuh diberi pengertian. “Gue gak nganggep begitu.”
“Orangtua lo kacau, mereka sumber masalah di keluarga besar. Dan lo juga kacau di kampus,” lanjut Gavin.
Keyra merasa amarahnya meluap, namun dia menggigit bibir bawahnya untuk menahannya. Air matanya hampir saja menetes lagi, terutama setelah melihat bagaimana Gavin tampak acuh tak acuh, memandangnya seakan dia wanita yang perlu dikasihani.
Gavin melangkah mendekat, menatap wajah Keyra dengan seksama. “Di rumah lo gak bisa ngelawan. Setidaknya di sekolah lo bisa ngelawan. Dan lo gak mau, bahkan gak mampu.”
Gavin menghela nafas panjang, memutar tubuhnya dan berjalan pergi memunggungi Keyra.
Gavin menghentikan langkahnya , menoleh sebentar ke arah Keyra. “jangan mati”
“Lo gak bisa terus-terusan nyusahin orang.” Dia kembali melanjutkan langkahnya, meninggalkan wanita itu lagi, untuk kesekian kalinya.
Keyra mengepalkan kedua tangannya dengan erat, menahan emosinya yang ingin meledak. Nafasnya tersengal, memprotes kelemahan dirinya yang terus tertekan dalam situasi yang tak kunjung membaik. Dia membiarkan tubuhnya terduduk di lantai balkon, rupanya kata kata yang berasal dari lelaki tadi lebih membuatnya merasa hancur dan terhina.
Keyra hampir mencapai lembar terakhir di jurnalnya. Lembar-lembarnya sudah hampir tak berisi tulisan, lebih banyak dipenuhi oleh gambar-gambar abstrak yang mencerminkan kekacauan yang ada dalam pikirannya. Dalam coretan hitam yang memenuhi kertas putih, ada kecemasan, kebingungan, dan rasa sakit yang terpancar. Bagi Keyra, coretan-coretan itu merupakan cara untuk meredakan beban yang terlalu berat untuk dibawa seorang diri. Tidak hanya kebencian terhadap orang lain, tetapi juga kebencian yang semakin membesar terhadap dirinya sendiri. Di antara gambar-gambar abstrak, terdapat kata-kata yang terpencar dalam berbagai arah, mencerminkan kekacauan pikirannya. “Gue bodoh,” “Mati,” “Surga neraka?,” “Kill me,” “Heal me.” Kata-kata itu seperti teriakan dalam keheningan, mencerminkan pertarungan batin yang sedang dialaminya.
Akira bergeser ke kursi kosong yang ada di depan Keyra. Dari saku bajunya, ia mengeluarkan sebuah hansaplast dan mulai membuka bungkusnya, menatap Keyra dengan penuh perhatian.
“Harus diobati,” celetuknya tiba-tiba, seakan memberi sinyal bahwa ia memiliki solusi untuk melawan kekacauan di hadapan mereka.
Tanpa ragu, Akira menempelkan plester itu ke coretan hitam yang menghiasi kertas milik Keyra. Tindakannya tersebut terlihat sepele, tetapi memiliki arti yang dalam bagi mereka. Seolah-olah plester itu bisa menyembuhkan lebih dari sekadar goresan di kertas, sebagai simbolisasi dari usaha mereka untuk mengatasi masalah yang terpendam.
“Nah, udah,” ujarnya sambil menyematkan plester itu. Ekspresi di wajahnya penuh dengan semangat dan keinginan untuk membantu.
“Lo cerita ke kita aja gak papa, gue bisa bikin lo seneng-seneng,” ujar Akira penuh semangat, berusaha menawarkan bantuan dan dukungan yang tak terbatas. Sambil memberi isyarat dengan menyenggol bahu Liya, Akira menjelaskan lebih lanjut, “Kalo dia bakal ngasih banyak nasehat dan support lewat omongan ke elo.”
Akira berlari dengan nafas terengah-engah, mata cermatnya memeriksa keramaian di lokasi yang dituju. Terdengar derap kaki yang semakin cepat, kekhawatirannya menggeliat dalam dirinya, berharap semua pikiran buruknya hanya ilusi. Namun, betapa terkejutnya dia melihat apa yang terjadi. Keadaan yang selama ini dia takutkan, kini menjadi kenyataan. Kedua matanya membelalak, tak mampu menyembunyikan kekagetannya. Kaki-kakinya tiba-tiba terasa lemah, sulit untuk bergerak, dan dia terdiam.
Trotoar yang seharusnya menjadi tempat berlalu lalang para mahasiswa pagi ini, sekarang tampak kosong dan sepi. Garis kuning polisi masih terpasang kuat disana, orang orang semakin ramai mengerubungi trotoar itu. Siapapun bisa melihat bekas darah yang masih menempel walaupun sudah dibersihkan. Kini, tanah itu hanya menjadi saksi bisu atas kejadian tragis yang telah terjadi di sana. Polisi telah melakukan evakuasi terhadap korban sejak malam tadi, dan area itu terlihat sunyi tanpa tanda-tanda aktivitas apa pun. Sebab kematian sudah ditemukan, dan polisi telah mengalihkan kasus itu ke tim forensik untuk penyelidikan lebih lanjut.
Gavin berdiri diantara kerumunan, memandangi tanah kosong itu. Suara bisikan-bisikan terdengar di sekitarnya, tercampur antara rasa kasihan dan kecaman. Orang-orang berbicara dengan nada yang terasa begitu berat di telinganya, mengomentari situasi yang telah terjadi.
Tidak, bukan ini yang seharusnya terjadi.
Gavin terus memandang tanah yang kosong. Dia merenung, memikirkan tentang semua yang telah terjadi, kehilangan yang begitu besar, dan pertanyaan yang terus mengganggunya. Matanya menatap ke arah yang kosong.
“Seharusnya gue gak ninggalin, lo.”
Mungkinkah segalanya akan berbeda jika ia melakukan sesuatu yang berbeda di saat itu?
PESAN AMANAT
Gavin, gavin adalah orang yang paling merasa bersalah. Dia bukan hanya sekedar teman, dia memiliki ikatan darah yang bahkan tidak diketahui semua orang, dia tidak hanya mengetahui kekacauan yang terjadi di kampus, namun dia juga menjadi saksi kekacauan keyra di rumahnya. Dia bahkan memilih untuk tidak melihat, memilih untuk berpegang pada loyalitas pertemanan sampahnya. Mengesampingkan rasa egonya hanya demi gelar bukan pengkhianat dalam hubungan pertemanan, dia memilih membuang rasa kekeluargaannya dengan ganti kehilangan salah satunya.
Tentang Penulis
Ni Daun Naimah adalah seorang mahasiswa semester 4 yang lahir di Karanganyar pada tanggal 10 Juni 2002. Saat ini, ia tinggal di Sukoharjo, Jawa Tengah. Ni Daun Naimah merupakan lulusan dari Universitas Raden Mas Said Surakarta.
Dikenal sebagai seorang pecinta tulis-menulis sejak masa SMP, Ni Daun Naimah memiliki beragam hobi, termasuk menulis, menonton film, dan membaca buku. Ketertarikannya pada bidang tulis-menulis telah mengantarkannya untuk aktif menulis di berbagai platform, termasuk Wattpad dan grup para penulis. Selain itu, ia juga sering mengikuti lomba karya tulis cerpen dan esai di berbagai platform media sosial.
Prestasi menonjol Ni Daun Naimah terjadi ketika karyanya dalam lomba menulis cerpen antologi berhasil diterbitkan menjadi sebuah buku. Karena kegemarannya dalam membaca buku, Ni Daun Naimah juga aktif dalam mengelola akun Instagram pribadinya, di mana ia memberikan review tentang buku-buku yang ia baca. Hal ini tidak hanya menjadi hobi, tetapi juga melatihnya dalam bidang kepenulisan.
Anda dapat menghubungi Ni Daun Naimah melalui email di nidaanaimah@gmail.com atau melalui nomor telepon 085647328497.
Komentar