Sebuah cerita menyentuh datang dari Bogor, di mana seorang ayah berjuang keras agar anaknya tetap bisa bersekolah meski dalam keterbatasan finansial.
Dalam era modern ini, ketika banyak yang terlena dengan kemudahan teknologi, kisah nyata ini menjadi sebuah refleksi tentang keteguhan hati dan semangat mengatasi tantangan, dilansir dari VIVA.co.id.
Dalam sebuah akun media sosial, @Encang_acca, seorang ayah mengungkapkan kepedihannya melihat anaknya yang sudah siap untuk bersekolah namun harus menahan diri karena tak memiliki ongkos.
Kisah ini menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat, mengingat betapa sulitnya untuk mengakses pendidikan bagi banyak keluarga di Indonesia.
Ayah ini bercerita bahwa jarak antara rumah mereka dengan sekolah mencapai 13 kilometer, sebuah jarak yang cukup jauh untuk anaknya untuk menempuhnya dengan berjalan kaki.
Merasa kasihan melihat anaknya harus menghadapi perjalanan yang melelahkan tersebut, ayah ini meratapi nasibnya.
Namun, yang membuat kisah ini semakin menyayat hati adalah fakta bahwa sang ayah sendiri sedang menganggur karena mengalami kecelakaan.
Kecelakaan tersebut tidak hanya menyebabkan cedera fisik, tetapi juga merenggut kemampuannya untuk bekerja. Sejak saat itu, ia terpaksa harus berhenti bekerja dan hidup dari bantuan sosial.
Dalam kondisi finansial yang sulit ini, bayang-bayang putus sekolah pun mengintai. Ia mengungkapkan bahwa uang SPP anaknya sudah menunggak selama 3 bulan, dan keadaan ini semakin diperparah dengan berhentinya usaha kecil-kecilan yang dilakukan oleh sang anak selama bulan Ramadan.
Meski begitu, sang ayah tidak menyerah begitu saja. Meskipun dirinya masih harus menjalani perawatan dan check-up bulanan akibat cedera lutut yang dideritanya, ia tetap berusaha mencari solusi agar anaknya tetap dapat bersekolah.
Hal ini tercermin dari usahanya mencari bantuan melalui media sosial, meskipun terpapar dengan berbagai macam reaksi dari netizen.
Banyak netizen memberikan tanggapannya masing-masing. Ada yang mengkritik sang ayah karena dianggap membuang-buang waktu di media sosial, ada pula yang menyalahkan atas pilihan sekolah yang jauh.
Namun, di tengah caci maki dan kritik, ada juga suara-suara yang memberikan dukungan dan doa bagi keluarga ini.
Mungkin kisah ini bisa menjadi pengingat bagi kita semua bahwa pendidikan bukanlah hak yang seharusnya dipersoalkan, melainkan sebuah kebutuhan dasar yang harus dipenuhi.
Kisah ini mengajarkan kita tentang pentingnya empati dan solidaritas dalam membantu sesama yang sedang mengalami kesulitan.
Dalam dunia yang terus berubah dan terkadang tak manusiawi ini, kisah-kisah seperti ini memang perlu diceritakan.
Semoga keluarga ini dan semua keluarga lain yang berjuang dalam keterbatasan finansial mendapatkan kekuatan dan dukungan untuk tetap bertahan.
Kita semua bisa memberikan kontribusi, sekecil apapun itu, untuk membantu mewujudkan hak atas pendidikan bagi setiap anak di negeri ini.
Komentar