Ekonom terkemuka dari Bank Permata, Josua Pardede, mengungkapkan keprihatinannya terhadap potensi meningkatnya aliran modal keluar dari pasar saham dan obligasi Indonesia menyusul eskalasi konflik antara Iran dan Israel. Dalam wawancara dengan ANTARA di Jakarta hari ini, Josua menyatakan bahwa ketegangan di Timur Tengah telah meningkatkan ketidakpastian global, mendorong investor untuk menarik dana dari aset-aset berisiko tinggi, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
“Konflik di Timur Tengah telah meningkatkan ketidakpastian geopolitik secara global, yang berdampak pada investor untuk menarik dana dari aset-aset berisiko tinggi, terutama dari negara-negara berkembang seperti Indonesia,” kata Josua.
Josua, yang juga menjabat sebagai Kepala Ekonom Bank Permata, menjelaskan bahwa ketidakpastian geopolitik di Timur Tengah mendorong pelaku pasar untuk mencari perlindungan pada aset-aset safe haven, seperti dolar AS. Hal ini berpotensi menyebabkan melemahnya mata uang negara-negara lain, terutama di negara berkembang seperti Indonesia.
Peningkatan ketegangan antara Iran dan Israel telah menciptakan sentimen negatif di pasar keuangan global. Indeks dolar AS, sebagai salah satu indikator penting, telah melonjak ke kisaran 106 sebagai respons terhadap eskalasi konflik ini. Hal ini memberikan dampak buruk bagi nilai tukar rupiah, terutama di tengah pengaruh yang sangat dirasakan dari pergerakan inflasi Amerika Serikat dan kebijakan moneter The Fed.
“Rupiah diprediksi akan terus terdepresiasi jika konflik ini berlanjut,” tambah Josua.
Pernyataan ini datang seiring dengan perhatian yang semakin meningkat dari pemerintah Indonesia terhadap stabilitas keuangan di tengah ketegangan geopolitik. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, sebelumnya telah menyoroti urgensi menjaga stabilitas keuangan dalam mengantisipasi dampak konflik Iran-Israel terhadap nilai tukar mata uang dan pasar modal.
“Dalam pasar keuangan, kami melihat indeks dolar AS menguat terhadap berbagai mata uang, sehingga pemerintah perlu menjaga stabilitas pasar keuangan,” kata Airlangga Hartarto dalam pernyataannya di Jakarta.
Selain faktor konflik Iran-Israel, penguatan indeks dolar AS juga dipengaruhi oleh tingginya tingkat pengembalian obligasi dan suku bunga yang masih dipegang oleh bank sentral AS. Hal ini memunculkan kebijakan “higher for longer” yang turut mempengaruhi pasar keuangan global.
Airlangga menegaskan bahwa pihaknya terus berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia untuk mengurangi dampak negatif yang mungkin ditimbulkan oleh konflik Iran-Israel terhadap sektor keuangan dan pasar modal domestik.
Berita ini mencerminkan kekhawatiran dan tindakan yang diambil oleh pemangku kepentingan ekonomi Indonesia dalam menghadapi tantangan yang timbul akibat ketegangan geopolitik di tingkat global.
Komentar