Georgia, negeri di Kaukasus, kini tengah terguncang oleh gelombang demonstrasi massal yang menuntut penarikan sebuah rancangan undang-undang yang kontroversial, yang disebut sebagai aturan “agen asing”. Demonstrasi ini, yang dimulai sejak 17 April, telah mencapai titik klimaksnya dengan aksi keras dari aparat keamanan Georgia yang telah memicu kecaman luas dari dalam dan luar negeri.
Menurut laporan The Guardian pada Kamis (2/5/2024), para pendemo di Georgia menegaskan bahwa undang-undang yang mereka tolak sangat dipengaruhi oleh pandangan anti-demokrasi dan diduga terinspirasi oleh kebijakan Rusia. Rancangan undang-undang ini akan memaksa kelompok-kelompok yang menerima lebih dari 20% dana mereka dari luar negeri untuk mendaftar sebagai agen asing.
Pasukan keamanan Georgia telah menggunakan berbagai taktik keras termasuk meriam air, gas air mata, dan granat kejut untuk membubarkan para demonstran. Tindakan keras ini telah memicu kecaman keras dari kelompok-kelompok hak asasi manusia, dengan dilaporkannya kekerasan polisi yang terjadi, bahkan melibatkan serangan terhadap jurnalis. Dalam satu insiden yang mencuat, ketua oposisi utama Gerakan Nasional Bersatu, Levan Khabeishvili, dilaporkan menjadi korban pemukulan.
Meskipun tensi demonstrasi agak mereda dalam beberapa hari terakhir, kekerasan dan ketegangan tetap tinggi di Georgia. Demonstrasi ini terus digerakkan oleh kekhawatiran akan arah demokrasi di negara tersebut dan dampak dari undang-undang yang diprotes.
Aturan tersebut, disebut-sebut memiliki inspirasi dari Rusia, menuai kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk dari dalam negeri dan internasional. Pemerintah Georgia membela rancangan undang-undang tersebut, sementara oposisi menuduh bahwa hal ini adalah langkah mundur dari prinsip-prinsip demokrasi.
Reaksi terhadap tindakan keras kepolisian datang dari berbagai pihak di Georgia. Lembaga pengawas dan pemantau menyebutkan bahwa pasukan keamanan telah menggunakan “kekuatan yang tidak proporsional” dalam menangani protes. Asosiasi Pengacara Muda Georgia menegaskan bahwa protes damai adalah hak konstitusional yang harus dihormati.
Tanggapan dari Eropa dan Amerika Serikat juga tegas. Uni Eropa dan Amerika Serikat mengecam keras tindakan keras terhadap demonstran. Pemerintah Georgia diingatkan akan kewajibannya untuk menjaga kebebasan berkumpul secara damai, sambil menegaskan bahwa kekerasan terhadap pengunjuk rasa tidak dapat diterima.
Sementara itu, Georgia, yang masih menjadi negara kandidat Uni Eropa, dihadapkan pada potensi konsekuensi dari tindakan keras terhadap demonstran. Kritik dari UE bahkan menyoroti kemungkinan pengaruh negatif terhadap proses keanggotaan Georgia di Uni Eropa.
Sementara pemerintah Georgia berusaha untuk menegaskan kedaulatan dan kebijakannya, demonstran terus berjuang untuk mempertahankan prinsip-prinsip demokrasi yang mereka yakini. Konflik ini, yang mengekspos ketegangan antara keinginan untuk menjaga kedaulatan dan aspirasi untuk demokrasi yang lebih luas, terus menarik perhatian dunia internasional.
Komentar