Sinar matahari terlihat menerobos di sela-sela gorden pada sebuah kamar, perlahan sepasang mata mengernyit tatkala terpapar oleh sinar matahari yang mengintip tersebut.
Brukk!
Keduanya terjatuh, terduduk di ambang pintu. Naina sedikit merasa kesakitan karena lengannya terbentur bibir pintu. Ketika ia ingin berdiri, sebuah tangan terulur di depannya.
“Ayo, aku bantu,” suara itu terdengar dari laki-laki yang baru saja mereka bertabrakan. Mendengar suara tersebut, Naina terdiam, kedua pipinya memerah dibalik maskernya. Laki-laki itu kemudian berjongkok di depannya sembari memiringkan kepala, menatap Naina sambil tersenyum.
“Hei, kamu tidak apa-apa?” tanya laki-laki itu, pandangannya beralih ke lengan Naina yang terluka. Tanpa menunggu jawaban, ia meraih lengan Naina.
“Maaf ya, ayo kita ke UKS. Biar aku bantu mengobatinya…”
Naina menatap wajah murid itu dengan bingung. Ia menyadari bahwa yang sedang ada di hadapannya saat ini bukanlah murid dari sekolahnya. Akan tetapi, laki-laki itu mengenakan seragam sekolah yang sama dengannya.
“K-kamu murid b-baru ya?” tanya Naina ragu.
Laki-laki itu tersenyum mendengar pertanyaan Naina. “Aku jawab di UKS ya… yuk.”
Ia kemudian membantu Naina berdiri dan membawanya menuju UKS. Sambil mengobati luka kecil di lengan Naina, laki-laki itu membuka pembicaraan.
“Aku murid pindahan, dan masuk ke kelas yang akan kamu masuki tadi. Namaku Arfan, kalau namamu siapa?” tanyanya sambil tersenyum.
Naina masih memakai maskernya ketika menjawab, “O-oh…, Murid pindahan ya?… Namaku Naina.”
“Nama yang cantik,” puji Arfan yang sudah selesai mengobati lengan Naina. Ia berjalan menuju pintu keluar, kemudian menoleh sambil tersenyum.
“Bisa mulai belajar sekarang? Saya datang kemari untuk belajar dan menuntut ilmu, bukan untuk mencela orang!” Ucapan tegas Arfan berhasil membuat semua murid mengubah raut wajah mereka yang tadinya masih cengar-cengir menjadi masam, dan dengan sedikit malu, sang guru pun memulai pelajarannya.
Jam istirahat pun tiba. Para murid berhamburan keluar dari kelas dan bergegas menuju kantin, sedangkan Naina masih duduk di bangkunya bersiap memakai kembali maskernya. Namun sebuah tangan menahan tangan Naina yang memegangi masker, membuatnya tak jadi memakai maskernya kembali.
“Jangan dipakai lagi, itu tidak perlu,” kata Arfan.
Mendengar ucapan Arfan, Naina merasa sedang dihina. Ia pun menepis tangan Arfan dari tangannya, kemudian sedikit mendongak menatap Arfan.
“Kenapa? Agar kalian semua bisa lebih leluasa menertawakan ku? Aku tidak pernah mengganggu siapapun dan tidak pernah menyakiti siapapun. Aku hanya jelek, lalu di mana salahku!?” Naina bertanya setengah memekik sambil menahan tangisannya.
Mendengar kata-kata Naina membuat Arfan terdiam sejenak, kemudian menarik kursi di samping bangkunya lalu duduk menghadapnya.
“Kamu cantik,” ucap Arfan.
Ucapan Arfan berhasil membuat Naina kembali terdiam.
“Manusia terlahir dengan jenis wajahnya masing-masing, tidak ada manusia yang jelek di dunia ini. Hanya saja, terkadang ada banyak manusia yang tidak tahu cara memandang dimana letak kecantikan maupun ketampanan seseorang. Itu bukan salahmu ataupun salah mereka. Ini hanya tentang bagaimana cara pandang seseorang pada orang lain. Mereka tidak berhak menilai seseorang hanya dengan melihat sisi yang mereka anggap buruk di mata mereka, dan kamu juga tidak perlu mendengarkan mereka yang tidak tahu cara melihat kecantikanmu. Berhentilah merasa insecure, percaya dirilah, dan tunjukkan pada mereka bagaimana seharusnya mereka melihat kecantikanmu.”
Arfan menjelaskan secara panjang lebar pada Naina, membuatnya tak kuasa menahan air matanya yang kini sudah mengalir di kedua pipinya.
“Para gadis di sekolah ini juga cantik karena makeup, kamu juga bisa menandingi kecantikan mereka jika kamu menggunakan makeup. Tapi kamu tidak melakukannya. Ku rasa itu juga tidak terlalu dibutuhkan karena kamu sudah cantik secara alami.”
Lanjutnya lagi sambil tersenyum, membuat Naina ikut tersenyum.
“Ini pertama kalinya ada orang yang mau berbicara dengan tutur kata yang lembut dan begitu tulus menatapku. Kamu juga tidak ikut menghinaku, tapi malah menenangkan ku. Terima kasih, Arfan.”
Ucap Naina sambil tersenyum, dan dibalas senyuman yang tak kalah manis dari Arfan untuknya.
“Mau ke kantin bersama? Dan ayo berteman, Naina.”
Adegan terlukis dengan indah. Naina dan Arfan beranjak dari tempat duduk mereka, dibalas dengan anggukan bahagia dari Naina yang tidak lagi memakai masker. Mereka berdua mulai berteman dan makan bersama di kantin. Meskipun Naina mengatakan bahwa dirinya tidak punya uang, Arfan dengan baik hati mentraktirnya.
Gadis yang dulunya merasa tak berharga dan insecure dengan wajahnya yang dianggap jelek, kini tersenyum lebih sering. Sejak berteman dengan Arfan, ia menemukan seseorang yang melihat kecantikan yang sebenarnya dalam dirinya. Mereka belajar bersama, berjalan-jalan, bahkan berbelanja bersama. Bahkan ayah Naina pun terkejut melihat perubahan drastis pada putrinya yang kini lebih peduli dengan penampilan dan mampu berdandan.
Naina benar-benar berubah menjadi lebih percaya diri, hanya karena dorongan dari satu teman. Teman-teman dan guru-guru di sekolah yang dulu sering menghina Naina, kini tak berani lagi berkata apa-apa karena melihat transformasi Naina yang lebih percaya diri.
Pada suatu siang setelah jam pelajaran selesai, Arfan dan Naina duduk di kursi dekat lapangan, menonton para murid bermain sepak bola sambil menikmati ice cream.
“Terima kasih, Arfan,” ucap Naina sambil tersenyum, menatapnya dengan penuh rasa syukur.
“Terima kasih? Untuk apa?” tanya Arfan dengan sedikit bingung.
“Untuk semuanya. Selama ini aku selalu mengutuk diriku karena hinaan semua orang padaku, bahkan aku juga ikut menghina diriku sendiri. Aku frustasi, aku ketakutan. Tapi kamu sudah mengubah cara berpikirku, memberikan obat bagi hatiku yang terluka parah selama ini dengan kebaikan dan ketulusanmu. Sekarang aku sudah bisa lebih mencintai diriku sendiri, aku mulai percaya diri, dan bahkan ketika menatap cermin, aku tidak lagi mengatakan ‘aku jelek’, tapi aku mengatakan ‘aku cantik’,” ucap Naina dengan tulus.
Arfan kembali tersenyum mendengar kata-kata Naina, lalu meletakkan tangannya di atas kepala Naina.
“Love yourself,” jawab Arfan sambil tersenyum.
“Heum, I love myself,” balas Naina sambil tersenyum, menguatkan kepercayaan dirinya yang baru ditemukan.
Selesai~
Komentar