Opini
Beranda » Berita » Bertemu Diriku Sendiri

Bertemu Diriku Sendiri

Bertemu Diriku Sendiri
Bertemu Diriku Sendiri

Kedua bola mataku berusaha agar tetap menatap lurus ke depan, memberanikan menatap satu persatu wajah orang-orang di depanku. Namun, semakin ku upayakan, semakin keras pula bola mataku otomatis menunduk, seperti seekor burung yang kembali ke sarangnya yang nyaman, menatap sepasang sepatu yang menjadi tempat paling aman setiap kali keraguan menyergap.

“Kita satu kelompokkan? Zara?” Seorang wanita menghampiriku dari belakang, menepuk lembut pundakku sembari tersenyum hangat. Tapi seperti biasanya, orang-orang itu berhenti tersenyum dan fokus pada yang lain setelah menatap wajahku.

Melihat wajah mereka berbalik ke arah yang lain, seperti melihat kincir putar yang terus berputar tanpa henti, aku merasa terasing, terlempar ke sudut yang gelap dalam permainan kehidupan ini. Ketika keheningan menyelimuti, aku hanya bisa mendengar denyutan hati yang semakin keras, menandakan kesendirian yang semakin dalam.

Reformasi Kepolisian Republik Indonesia

Lihat? Aku sudah merencanakannya sejak pagi ini, tersenyum hangat kemudian merespon semua sapaan dan obrolan yang akan datang. Tapi wajah-wajah itu, semua itu membuatku takut. Orang-orang menemuiku dengan senyum manis mereka, tapi aku tidak bisa. Mata mereka seolah mengatakan bahwa kamu bisa berbuat apa untukku ke depannya?.

Pandanganku kembali menyapu seisi kelas, semua orang sibuk berbincang dan melemparkan candaan. Apakah semudah itu ? aku berusaha keras untuk kembali memulai obrolan dengan wanita tadi. Tapi, aku terlambat, semua orang sudah mulai berkelompok, seakan sudah menemukan siapa dan apa yang akan menjadi sandaran untuk ke depannya. Terulang lagi, aku berdiri canggung, menatap semua orang yang terlihat sudah sangat akrab. Hanya aku, yang berdiri sendirian.

“Kamu Zara kan? Mau makan siang dimana?” seorang wanita bertanya padaku setelah terlihat mengobrol banyak dengan beberapa orang lainnya.

Dia menyebut namaku? Bahkan dia ingat namaku? Wanita ini, aku rasa dia akan jadi teman yang baik.

Yos Tarigan, SH,MH: Pembaruan KUHAP Krusial, APH Dapat Kehilangan Dasar Hukum Penahanan dan Proses Hukum Lainnya

“Aku belum tahu, kamu?” tanyaku hati-hati. Aku rasa ini akan jadi kesempatanku kan?

“Makan bareng anak-anak mau gak?katanya ada tempat makan enak daerah sini,” sarannya dengan lembut.

Dengan cepat aku mengiyakan permintaan itu. Benar, ini kesempatan yang tidak boleh terlewat.

Aku kembali canggung, rupanya yang dimaksud anak-anak adalah mereka. Orang-orang yang sejak awal menatapku dengan aneh.

Aku kembali diam. Bianca, wanita yang mengajaku juga asyik dengan obrolan yang sepertinya sudah mereka obrolkan sejak tadi di kelas. Dua orang di depanku juga asyik membicarakan sesuatu yang tidak kupahami. Berkali kali aku mengutuk diriku, bukan seperti ini rencananya.

Apa aku tidak terlihat dalam pandangan mereka? Apakah aku sangat berbeda sampai orang-orang bahkan tidak melirik kearahku sekalipun.

Aku harus menyembunyikan kecanggungan ini, setidaknya untuk saat ini agar orang-orang tidak semakin memandangku aneh. Aku mulai mengaduk minumanku, meminumnya sedikit sambil memainkan ponsel di tanganku.

“Kamu gak pesen makan?” Bianca menanyaiku. Matanya menatap ke arah meja di depanku, hanya ada minuman milikku.

“Tadikan aku pesen ayam bakar, belum dateng kok,” jawabku jujur.

Bianca menaikkan suaranya, berusaha bertanya pada teman-teman yang lain.

“Ini Cuma Zara yang belum dateng makanannya?Wahyu! tadi kamu tulis ayam bakar kan satu?”

Lelaki yang merasa dipanggil oleh Bianca menggeleng yakin. “Tadi kan kamu bilangnya ayam geprek doang.”

“Eh masa sih? Zara tadi kamu gak ngomong pesananmu ya?” tanya Bianca yang kali ini tertuju padaku. Bukan hanya dia, tapi semua anak kelas menatapku juga.

Aku mengamati setiap mata itu, tatapan yang paling aku takuti, semua orang menatap kearahku dengan tatapan kasihan dan aneh.

“Aku sudah bilang kamu tadi,” ucapku pelan mencoba tidak menjadi pusat perhatian.

Tapi aku gagal, semua memandangku dengan tatapan kasihan. Aku gagal, kali ini bahkan  perasaan itu tiba-tiba saja datang. Dadaku terasa sesak, semakin aku berusaha menatap wajah mereka satu persatu, rasa sesaknya semakin kuat. Aku bahkan sudah tidak bisa melanjutkan bicaraku.

“Ya sudah, aku gak usah sudah. Tadi aku sudah makan,” jawabku cepat, mencoba memutus pandangan mereka kearahku.

“Ya sudah kalo sudah pada selesai, cabut ke kelas selanjutnya.” Bianca memelopori, serentak mereka semua mengiyakan dan pergi, meninggalkanku yang masih duduk menenangkan diri dari tatapan mereka.

Bagaimana perasaanku? Aku merasa direndahkan, tidak ada yang mendukungku, bahkan tidak ada yang mengajakku. Sejak awal aku memang tidak terlihatkan?

Aku tinggal sendirian, jauh dari tempat kelahiranku, jauh dari kedua orangtuaku. Aku pikir di kota ini, aku akan punya kehidupan yang baru. Kehidupan mahasiswa yang kudambakan, tapi pada akhirnya aku kembali kan? Kembali melanggar sesuatu yang yang telah aku larang.

Aku menutup pintu kamar mandi, kubiarkan air kran menyala dengan deras, tidak peduli nantinya bak itu akan terus penuh. Aku duduk bersandar ke sudut dinding kamar mandi, menatap kosong ke arah kran air yang menyala. Satu persatu air mata itu keluar dari ujung mataku. Dadaku terasa sesak, rasanya semakin sesak setiap aku memukul keras kearah dadaku. Tangisku semakin pecah, berteriak sambil mengamuk, sesekali ku redam tangisanku dengan menggigit keras lenganku.

Pandangan mataku masih kosong, kuambil benda tajam yang sudah tergeletak di depan mataku. Aku rasa angka tujuh akan cukup bukan? Tujuh sayatan saja, hanya itu. Aku menghukum diriku sendiri, karena terlalu lemah, tidak berguna. Untuk apa aku hidup jika pada akhirnya aku hanya melihat diriku menjadi seperti ini?

Perlahan kugoreskan benda tajam itu ke pergelangan tangan milikku. Tidak ada rasa sakit, tapi entah mengapa aku merasa puas, puas karena bisa menghukum diriku sendiri. Cairan merah itu mulai timbul, mengalir dengan tenang seiring dengan tangisanku yang mulai memelan. Aroma darah menyeruak masuk ke dalam lubang hidungku. Aku sudah terbiasa, terbiasa dengan aroma ini, aroma yang menenangkan, seolah sesuatu di dalam diriku ini sedang memohon ampun, memohon ampun karena telah menjalani hidup yang sangat menyedihkan.

Kubiarkan darahku bercampur dengan air mengalir yang mulai tersedot ke dalam saluran pembuangan air. Berharap diriku yang paling buruk ikut hanyut dan menghilang ke bagian terbawah dan tergelap yang tak terlihat. Aku merasa lega, seolah ini satu-satunya cara aku bisa memeluk diriku sendiri, seolah aku sedang berbisik pada diriku sendiri dan mengatakan “Sekali lagi kamu bersikap seperti pecundang, aku tidak akan segan membuatmu terus merasa sakit.”

—–

Seperti itu cerita yang kuceritakan kepada seorang wanita di sampingku. Sejujurnya aku sedikit ragu menceritakan masa-masa itu. Namun, melihat Fara, membuatku teringat dengan diriku dulu.

Fara terdiam di sampingku sambil menundukkan kepalanya. Terlihat kedua tangannya saling tertaut ragu. Walaupun sempat aku melihat raut wajahnya yang terkejut. Aku tahu, siapapun yang mendengar ceritaku ini, pasti akan sangat terkejut. Dan baru saja, dia orang pertama yang kuceritakan tentang ini.

“Tapi di mataku, kamu gak kelihatan kasihan.” Fara membuka suara.

Aku menghela nafas pelan. Rupanya dulu aku juga orang yang anti kritik dan skeptis tentang sesuatu yang positif.

“Kamu sering ngira, orang lihat kamu kayak gimana?”

“Mungkin karena aku introvert, jadi mereka ngelihat aku sendirian dan kasihan sama aku. Mereka juga kelihatan ragu kalau bicara sama aku. Giliran aku berusaha mulai bicara, mereka gak nanggepin dan seolah aku nggak ada.”

“Aku juga introvert, Far.”

Fara menoleh kearahku, seolah sedang menganalisa wajahku apakah aku sedang berbohong untuk menenangkan dirinya.

“Gak mungkin, kamu punya banyak teman dan kelihatan asyik.”

“Setelah sering nyakitin diri sendiri, aku mulai mencoba buat gak peduli sama hal lain selain aku. Kamu udah coba?” tanyaku pada Fara.

“Udah, justru dengan gak peduli, katanya itu bakal ngurangin beban kita. Tapi buatku sama saja. Aku  ngerasa sakit setiap kali diabaikan.”

Aku tersenyum, dulu aku juga seperti itu. Merasa tidak ada yang peduli pdaku, seolah-olah aku memang ditakdirkan untuk hidup sendiri.

“Kamu hebat, Far.”

Fara menoleh kearahku, sekali lagi memastikan apakah itu benar-benar hal yang kukatakan.

“Kamu masih bisa bertahan di tengah banyaknya kekacauan di pikiranmu. Kamu gak pernah ada niat untuk nyakitin diri sendiri. Jadi nantinya, kamu bakal sembuh cepat dan bahagia lebih lama.”

Aku melihat Fara menatapku, matanya mulai nampak sedikit cerah. Rupanya benar, ada orang yang sangat membutuhkan terhadap validasi. Dan Fara salah satunya.

“Kamu tahu kenapa aku punya banyak teman, main sama siapapun dan kelihatan ceria sekaligus juga sebenernya aku memang bahagia? Padahal pada dasarnya kita sama, kita mirip.” Aku bertanya sambil tersenyum.

Fara hanya diam.

“Itu caranya. Terima diri kamu sendiri, terima kalau kamu memang introvert, terima kekurangan kamu sendiri. Lihat siapa yang selalu ada buat kamu setiap kamu nangis, sedih, atau sakit.”

“Itu diri kamu. Mau gimanapun perlakuan orang lain sama kamu, Cuma diri kamu yang selalu ada, kan, Far?”

“Kamu udah sering nyakitin diri kamu dengan kalimat-kalimat yang menyakitkan, malu sama diri kamu sendiri.”

“Tapi lihat, sampai sekarang yang masih ada buat kamu, ya diri kamu.”

Aku menghela nafas panjang, mulai melihat ada sedikit harapan dari mata Fara.

“Sampai sekarang  masih ada orang yang ngelihat aku aneh, kasihan, bahkan benci. Tapi semua itu gak mempan. Kita berhak untuk nerima atau nolak perlakuan orang lain ke kita.”

“Tapi aku takut diabaikan lagi.”

“Percaya sama aku, Far. Mereka gak sepenting itu.”

Aku berdiri, meletakkan kedua tanganku di pinggang.

“Aku siap nyapa kamu setiap  ketemu,” kataku mantap.

Fara mendelik.

“Kita temenkan? udah sewajarnya aku nyapa kamu,” ucapku tersenyum.

Fara tersenyum lega, aku juga ikut tersenyum bangga. Rasanya bahagia setiap melihat orang lain tersenyum karena diriku, dan setelah ini mungkin akan menjadi bagian hidupku juga. Mencoba untuk menemukan orang sepertiku dulu, dan membantunya menjadi diriku yang sekarang.

Saya memiliki hobi menulis, menonton film, dan membaca buku. Saya sangat menyukai bidang tulis-menulis semenjak SMP, saya juga pernah mencoba menulis di aplikasi wattpad dan bergabung dengan grup para penulis. Selain itu saya sudah beberapa kali mengikuti lomba karya tulis cerpen dan esai yang diadakan di beberapa platform sosial media. Saya juga pernah mengikuti lomba menulis cerpen antologi dan akhirnya diterbitkan menjadi sebuah buku. Karena hobi saya membaca buku, saya memiliki akun Instagram yang khusus saya kelola sebagai tempat mereview buku sekaligus melatih saya dalam bidang kepenulisan.

 

 

 

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *