Medan, Harianbatakpos.com, Isu mengenai gempa megathrust tengah menjadi sorotan di Indonesia. Kekhawatiran masyarakat meningkat setelah gempa berkekuatan 7,1 Skala Richter (SR) mengguncang Pulau Kyushu, Jepang, pada 8 Agustus lalu.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Daryono, memperingatkan bahwa gempa dari dua zona megathrust, yaitu Megathrust Selat Sunda dan Megathrust Mentawai-Siberut yang hanya tinggal menunggu waktu.
Menurut Daryono, kedua zona tersebut sudah lama tidak mengalami gempa, atau mengalami seismic gap, yaitu lebih dari dua abad. Umumnya, gempa besar memiliki siklus tersendiri yang dapat berlangsung hingga ratusan tahun.
Namun, BMKG belum dapat memastikan kapan gempa besar tersebut akan terjadi. Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati menjelaskan pihaknya terus membahas isu ini agar masyarakat dapat mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan terjadinya gempa megathrust di Indonesia.
“Isu megathrust sebenarnya bukan isu baru. Ini sudah lama dibicarakan. Namun, mengapa BMKG dan para ahli kembali mengingatkan, tujuannya adalah agar kita tidak hanya sekadar membahas, tetapi segera melakukan mitigasi,” kata Dwikorita, (21/9/2024).
“Tujuannya jelas adalah mitigasi, edukasi, dan kesiapsiagaan,” tambahnya.
Dwikorita menjelaskan bahwa BMKG telah melakukan berbagai langkah antisipasi terhadap ancaman megathrust. Langkah pertama adalah pemasangan sensor-sensor sistem peringatan dini tsunami (InaTEWS) yang diarahkan ke zona-zona megathrust.
“Sistem InaTEWS ini sengaja dipasang untuk menghadapi potensi gempa di zona megathrust. InaTEWS di BMKG memang dirancang untuk mitigasi gempa megathrust,” jelasnya.
Langkah kedua adalah edukasi masyarakat, baik di tingkat lokal maupun internasional. Salah satu wujudnya adalah dengan mendampingi pemerintah daerah dalam menyiapkan infrastruktur mitigasi, seperti jalur evakuasi, sistem peringatan dini, hingga shelter tsunami.
Selain itu, BMKG juga bekerja sama dengan Indian Ocean Tsunami Information Center yang berkantor di kompleks BMKG. Komunitas ini bertujuan untuk mengedukasi 25 negara di kawasan Samudra Hindia dalam menghadapi potensi gempa dan tsunami.
“Kami mengedukasi publik mengenai bagaimana untuk mempersiapkan masyarakat dan pemerintah daerah sebelum terjadinya gempa besar yang berpotensi memicu tsunami,” ujarnya.
Langkah ketiga adalah memeriksa secara berkala sistem peringatan dini tsunami yang telah dihibahkan kepada pemerintah daerah.
“Sirene tsunami seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Sirene tersebut merupakan hibah dari BNPB dan BMKG, tetapi pemeliharaannya menjadi kewajiban pemerintah daerah, sesuai dengan otonomi daerah. Kami rutin melakukan uji coba setiap tanggal 26 setiap bulannya, dan sebagian besar sirene berfungsi dengan baik, meski ada beberapa yang mengalami gangguan,” ungkapnya.
Langkah terakhir adalah penyebarluasan informasi peringatan dini. Menurut Dwikorita, agar masyarakat dapat lebih siap, harus ada penyebaran informasi yang masif, dan dalam hal ini BMKG dibantu oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Komentar