Medan, HarianBatakpos.com – Pemerintah Indonesia diharapkan dapat mengimplementasikan strategi kebijakan komplementer yang komprehensif berbasis bukti ilmiah untuk menurunkan angka prevalensi merokok yang semakin tinggi.
Hal ini menjadi topik penting dalam diskusi akademis, termasuk dalam acara Guest Lecture “Challenge in the Use of Evidence to Inform Policy” yang diselenggarakan oleh Universitas Indonesia.
Mantan Direktur Riset Kebijakan Penelitian dan Kerja Sama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Profesor Tikki Pangestu, menegaskan bahwa Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menurunkan prevalensi merokok, dikutip dari tribunnews.com.
Data terbaru dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa jumlah perokok aktif di Indonesia telah mencapai 70 juta orang. “Ini bukan fakta (70 juta perokok) yang dapat dibanggakan. Kita harus menurunkan jumlah perokok di Indonesia,” ujar Prof. Tikki dalam acara tersebut.
Kebijakan Komplementer yang Diperlukan
Menurut Prof. Tikki, Indonesia memerlukan kebijakan komplementer dalam bidang kesehatan yang rasional, proporsional, dan berbasis risiko.
Kebijakan tersebut harus berlandaskan bukti ilmiah, mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk ilmu pengetahuan, sumber daya, situasi politik, ekonomi, dan budaya lokal agar implementasinya tepat sasaran.
Pembuatan kebijakan juga harus mengedepankan relevansi, bahasa, dan format yang mudah dipahami oleh masyarakat.
Dengan pendekatan ini, masyarakat akan lebih teredukasi tentang bahaya merokok sekaligus diberikan kebebasan untuk memilih metode yang sesuai untuk berhenti merokok.
“Dengan demikian, kajian ilmiah menjadi bagian integral untuk mencari solusi demi mengurangi prevalensi merokok di Indonesia,” jelas Prof. Tikki.
Contoh baik dari kebijakan berbasis bukti ilmiah dapat dilihat di Jepang, yang telah berhasil menurunkan prevalensi merokok melalui pemanfaatan produk tembakau alternatif.
Hasil survei menunjukkan penurunan signifikan pada jumlah perokok pria dan wanita, mencerminkan peningkatan kesadaran akan kesehatan dan dampak dari revisi undang-undang.
Komentar