MEDAN-BP: Siapapun dia terpilih jadi peminpin Sumut atau Gubernur Sumatera Utara ini, kalau kami ditanya, No comment. Kami tak banyak pandai komentar soal politik.
“Mau dibawa kemanapun Sumatera Utara ini silahkanlah”. Tak mampu mindset kami mengikuti arus orang atas itu.
Apalagi membahas informasi terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur Edi Rahmayadi dan wakilnya Rajekshah, bagi kami tak terpikir.
Sebab bagi warga buruh seperti saya ini, nasib tetap menjadi buruh, ujar Pairin (54) buruh bangunan yang berdomisili di Jalan Subur II Medan Polonia Kepada harianbatakpos, Minggu (1/7/2018) ketika diajak bincang-bincang mengenai harapan menuju masa depan dirinya.
Pasalnya pengakuan Pairin bersama Jumino (48) rekan sesama buruhnya mengatakan, berbicara masa depan sepertinya sulit buat kami.
Pairin, bagaimana mungkin masa depan yang cerah menyentuh buruh harian seperti kami ini, untuk makan secukupnyapun pas-pasan setiap hari, cetus Pairin yang mengaku punya anak 4. Laki-laki 3 orang dan satu perempuan ini.
“Bayangkanlah bang, gaji buruh kasar seperti kami hanya dapat digunakan untuk kebutuhan hidup, itupun tak cukup. Mirisnya lagi, buruh tukang bangunan ini terkadang ada, bisa juga kosong, Sehingga untuk biaya lainnya, apalagi biaya untuk sekolah anak bisa tertunda” jelasnya Pairin juga diaminkan Jumino.
“Anak kami terbilang ada yang pintar disekolah, tapi apa daya, anak saya dua orang hanya tamatan SMP saja, tutur Pairin. Kemampuan biaya sangat minim untuk membiayai anak – anak untuk sekolah lanjutan atas dan menduduki perkuliahan dipastikan tak berharap, Beginilah bang nyatanya, maka keturunan buruh tetap seperti ini. Anak yang tak bersekolah tadipun harus ikut mental buruh. Sebab tak ada pilihan lain” lanjutnya.
Sambung Jumino menimpali rekannya membahas akan masa depan, dirinya menyebut, bahwa pada hakekatnya buruh sangat sulit untuk berkembang. Tapi bukan berarti keinginan dirinya untuk menikmati kondisi ini.
Kalau rakyat seperti kami ditanya, “yah, terus terang rakyat jelatalah. Rakyat jelata tetap rakyat jelata”, ini kenyataan bang, tutur Jumino, Sesungguhnya belenggu kemiskinan ini tak kami inginkan, ujar Pairin dan Jumino.

Dua orang buruh yang pesimis untuk perubahan
Karena itu jika ada yang menyatakan, orang miskin menikmati kemiskinannya. itu nggak tepat. Hanya saja kurang mendapat perhatian dan kesempatan dari penguasa/Pemerintah. “Sama sekali tak pernah Pemerintah memberi kesempatan buat buruh kasar seperti kami, tandasnya.
Bagaimana tidak, berupaya untuk melanjutkan pendidikan buat anak-anak terkendala dengan biaya. Kalaupun anak pintar disekolah tetap membutuhkan biaya. Sebab tak ada yang gratis buat sekolah.baik itu sekolah pemerintah maupun sekolah Yayasan tentu lebih besar lagi biayanya.
Janji Tarigan cs mengatakan, juga berpikiran yang sama. Dirinya mengaku siapapun yang meminpin Sumut ini, tak ada yang serius memperhatikan nasib keluaraga buruh kasar.
Nasib kami terus seperti ini kondisi ekonominya. Tak ada yang menonjol perkembangan hidup buruh. “Orang kaya semakin meningkat kekayaannya. Apalagi orang kaya jadi penguasa.
Sedangkan orang miskin tetap miskin, kata Janji Tarigan. Sejauh ini, kata Tarigan, sejak dirinya buruh dalam puluhan tahun silam dan pimpinan Sumut silih berganti, tak pernah merasakan adanya perhatian Pemerintah di Sumut.
Anak-anak saya tetap bermental buruh, akibat tak ada kesempatan mendapatkan pekerjaan yang layak meskipun sekolahnya tammat SLTA. “Pernah juga menduduki bangku kuliah, tapi putus ditengah jalan karena kurang biaya”, kisahnya.
Sementara pengamat sosial, Dra Daina MSi, ketika dimintai batakpos pendapatnya soal kondisi buruh itu, ia berpendapat, bahwa kenyataan yang di alami para buruh memang fakta adanya.
Mengamati fenomena itu tak luput dari kesenjangan antara simiskin dan orang kaya. Para buruh sulit menyekolahkan anak-anaknya ke pendidikan lebih tinggi karena faktor minimnya biaya yang dibutuhkan.
Sehingga simiskin tetap jadi miskin. Sedangkan si kaya, berkecukupan membiayai anaknya ke pendidikan mana dia minta. “Maka si kayapun tadi terus meningkat dan semakin berkembang,” kata Diana.
Perhatikanlah buruh bangunan diatas ini, mereka berjuang hanya untuk menutupi biaya kehidupan. Sedangkan resiko jika dia jatuh dari atas bangunan /kecelakaan tak ada yang menjamin, Artinya buruh tadipun stop bekerja dan otomatis stop pula uangnya, Maka tumpuan keluarga ini pupus ditengah kemelaratan.
Bilapun ada seseorang dari keluarga tak mampu berhasil, lanjut Diana mengutarakan, itu hanya sebahagian kecil saja.
Perbandingannya jauh lebih besar, bisa dihitung angka antara 1 orang berbanding seribu orang. Anak simiskin satu orang, anak pengusaha dan penguasa berkisar 1000 orang mencicipi pendidikan tinggi, jelasnya.
Karena itu, untuk perolehan keseimbangan, ujar Diana berharap, diminta kepada Pemerintah yang akan meminpin Sumut ini kelak, supaya memprioritaskan perhatiannya mencerdaskan anak buruh. Baik buruh pabrik, buruh kasar dan buruh lainnya yang penghasilannya dibawah standart agar nasibnya bisa berubah dari mental perbudakan, harap Diana. BP1
Komentar