Medan, harianbatakpos.com – Laporan kasus penyerobotan lahan sejak tahun 2015 silam hingga 2025 di Polda Sumut kembali mencuat. Dimana lahan yang diduga di serobot berada di Jalan Sei Belutu, Gang Keluarga, Kota Medan.
Dedy Mauridz Simanjuntak, selaku pelapor perkara LP:1286/X/2015/SPKT “I” di Polda Sumut, begitu sabar mencari keadilan saat itu, meskipun hampir putus asa. Kepada sejumlah wartawan, Dedy mengatakan ia tak akan menyerah mencari secercah keadilan di negeri ini.
Ada dua pihak yang dilaporkannya saat itu diantaranya B dan K, satu terlapor berinisial K sudah dijadikan tersangka setelah 7 tahun berjalan.
Setelah itu kedua belah pihak berdamai. Satu lagi, berinisial B kasus pidananya ditutup karena meninggal dunia.
Tak henti disitu, Dedy kembali membuat LP baru terhadap ahli waris B yang menguasai lahan berinisial WK, Nomor LP/B/1311/IV/2022/SPKT/Polrestabes Medan/Polda Sumut, tertanggal 21 April 2022 diatas objek yang sama.
Proses terus berjalan, 12 Desember 2025 oleh Wassidik Polda Sumut melakukan gelar perkara khusus.
Dedy pun menanggapi beberapa poin dari gelar perkara khusus tersebut agar lebih obyektif dan seimbang.
”Beberapa pernyataan dari terlapor (WK) dan pimpinan gelar yang sangat perlu diklarifikasi untuk merekontruksi persoalan dari kasus yang dilaporkannya, agar lebih mudah mengambil kesimpulan hasil gelar perkara khusus ini dengan obyektif dan seimbang,” kata Dedy Mauridz, Senin (15/12/2025).
Kata Dedy, melalui Pengaduan Masyarakat (Dumas) nya tanggal 21 Oktober 2025 telah terkonfirmasi dan terbukti ketika dilakukan gelar perkara banyak fakta-fakta baru yang harus disingkapkan.
Saat gelar perkara khusus, penyelidik maupun terlapor tidak memegang bukti
kepemilikan dari tanah yang saat ini dikuasai terlapor.
WK selaku terlapor dalam keterangan sebelumnya pada penyidik menyatakan, bahwa surat jual beli tanah masih dipegang oleh pamannya.
Ketika pamannya hadir dalam gelar tanggal 12 Desember 2025 justru pamannya menyampaikan bahwa surat jual beli tanah itu masih dipegang oleh adiknya di Jakarta.
”Artinya sejak di mulainya penyelidikan dalam laporan polisi yang saya buat tahun 2022 hingga saat ini, bukti kepemilikan tidak pernah bisa diperlihatkan terlapor WK dan diduga tidak juga ada dengan penyelidik,” ujar Dedy heran.
Selain itu, juga terungkap fakta yang kontradiktif antara data resmi dari BPN Kota Medan dengan pernyataan penyelidik. Dimana penyelidik mengakui bahwa belum pernah mendapatkan keterangan resmi dari BPN Kota Medan selaku pihak paling berwenang terhadap dokumen Agraria.
”Padahal dalam SP2HP No.B/2505/2023/Ditreskrimum disebutkan penyelidik akan melakukan klarifikasi dengan BPN Kota Medan, dan setelah itu melakukan gelar perkara. Jadi ada tahap yang belum dilaksanakan yaitu melakukan interogasi kepada pihak BPN Kota Medan,” ungkap Dedy.
Pengakuan Dedy, semua data dari BPN Kota Medan yang dipaparkan penyelidik dalam gelar perkara yang diakui penyelidik sebagai hasil klarifikasi BPN Kota Medan secara khusus Berita Acara Pengukuran Ulang (BAPU), kemudian SHM milik pelapor (607) dan SHM milik Mangatas Silalahi (608) adalah alat bukti yang diserahkan pelapor kepada penyelidik.
”Inilah yang menjadi keberatan dari saya bahwa kepolisian selaku penyelidik diduga telah menyampaikan keterangan tidak benar kepada pelapor, dimana penyelidik mengatakan tanah yang menjadi objek sengketa telah dibaliknamakan atas nama B, padahal fakta sebenarnya masih atas nama Mangatas Silalahi,” ujarnya menjelaskan.
Oleh karena itu, Dedy menilai bahwa penyelidik telah melampaui kewenangan, mengatakan tanah tersebut milik B, padahal BPN Kota Medan tidak menyatakan demikian. Dan menjadikan pengakuan pelapor tanpa menunjukkan alat bukti yang sah sebagai fakta hukum yang menjadi dasar untuk menutup kasus ini.
”Itulah landasan saya menyatakan, penyelidik terlalu prematur untuk menghentikan kasus ini. Sementara, bukti otentik untuk membuat kasus ini semakin terang belum berhasil dikumpulkan dan tidak memenuhi asas legalitas sehingga penghentian penyelidikan menjadi cacat yuridis,” tegasnya.
Fakta lain, turut disingkapkan Dedy, soal adanya 1 surat yang dibawa terlapor saat gelar perkara, yaitu kesepakatan dibawah tangan antara Sihar Simanjuntak dengan yang bernama Salamah (pemilik tanah sebelum Sihar Simanjuntak dalam SHM No. 607).
Dalam kesepakatan itu, Dedy menyatakan bahwa tanah yang dibeli telah berkurang untuk pelebaran jalan. Sihar Simanjuntak tentu mempercayai keterangan Salamah selaku pemilik tanah SHM No.607 (penjual), karena tujuannya kepentingan bersama yang dibutuhkan negara.
”Setelah ada plank lelang tanah milik Mangatas Silalahi (SHM No.608), keterangan luas tanah yang dilelang 26,5 m x 13,5 m, Sihar Simanjuntak menjadi curiga karena ada kejanggalan. Kemudian ia berinisiatif untuk melakukan pengukuran sendiri tanah miliknya (SHM No. 607) dan milik Mangatas Silalahi (SHM No.608) sampai ke ujung Jalan Sei Belutu Gang Keluarga,” ujarnya.
Jadi didapatinya tanah berkurang 2,7 meter, sementara tanah yang hendak dilelang kelebihan 2,7 meter.
Untuk mendapatkan hasil pengukuran yang lebih pasti, Sihar Simanjuntak membuat surat permohonan pengukuran ulang tahun 2011 ke BPN Kota Medan, dan Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan agar mendapatkan bukti akurat dari institusi berwenang.
Kemudian, juru ukur dari BPN Kota Medan turun ke lapangan untuk melakukan pengukuran ulang, namun tidak mengeluarkan Berita Acara Pengukuran Ulang (BAPU) meskipun Sihar Simanjuntak sudah meminta berkali kali.
Setelah Sihar meninggal dunia tahun 2013, ahli waris yaitu pelapor melakukan upaya agar BPN Kota Medan mengeluarkan Berita Acara Pengukuran Ulang.
”Akhirnya Berita Acara Pengukuran Ulang (BAPU) dikeluarkan 4 tahun kemudian yaitu tahun 2015 dengan kesimpulan, berdasarkan penunjuk batas dilapangan sesuai bis kuning bidang tanah tidak dikuasai oleh pemohon seluas 110 m². Yang kemudian saya jadikan bukti untuk membuat LP pertama No. STTLP/1286/X/2015/SPKT “I’ Tanggal 26 Oktober 2015,” tukasnya.
Belakangan didapati fakta, mengapa BAPU sulit dikeluarkan, karena ada
persoalan hukum yaitu telah terbit sertifikat yang menimpa sertifikat Sihar
Simanjuntak yang di lakukan istri K (terlapor 2 dalam Laporan Polisi No.STTLP/1286/X/2015/SPKT “I’ Tanggal 26 Oktober 2015.
“Jadi kasus terlapor K mengakui kesalahan dan minta berdamai, sementara B, kasusnya dihentikan karena telah meninggal dunia. Akhirnya sengketa batas ini di selesaikan dengan cara penataan batas oleh BPN Kota Medan,” tuturnya.
Namun anehnya, WK keluarga B malah mencoba menguasai objek yang sama sehingga dilaporkan ke Polda Sumut.
“Patut untuk di catat bahwa inti kasus antara K dan WK adalah sama, dalam satu objek tanah yang sama, dengan alat bukti yang sama yang saya sampaikan. Namun mendapat perlakuan hukum yang berbeda antara Polrestabes Medan dan Polda Sumut. Polrestabes bisa menetapkan K sebagai tersangka, sedangkan Polda Sumut malah menghentikan penyelidik perkara terlapornya WK,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Dedy juga menyanggah pernyataan paman dari terlapor, dia mengatakan, keadaan lahan yang dibeli sudah ada bangunan.
“Yang sebenarnya pada saat lahan milik Mangatas Silalahi di sita Bank BPDSU, tanah tersebut berupa lahan kosong yang dipergunakan sebagai gudang karena seorang kontraktor. Dan keterangan mengenai lahan tersebut adalah lahan kosong tertera dalam SHM 608,” ucapnya.
kemudian, Dedy juga menegaskan bahwa setelah lahan dikuasai keluarga B, mereka membangun lahan dengan 2 tahap, yaitu tahap pertama membangun beberapa kamar kost sesuai luas tanah di sertifikat Mangatas Silalahi. Sebelah kiri yang berbatasan dengan lahan milik istri K.
”Artinya 2,75 m x 13, 5 m, sisanya dibiarkan sekian lama dan tidak dibangun apapun, karena patut diduga mereka menyadari ada keraguan untuk membangun di atas tanah itu mengingat alas haknya tidak ada,” kata Dedy.
Lanjutnya, ketika keluarga B memulai pembangunan tahap dua, Dedy memberitahukan ke orangtuanya (Sihar Simanjuntak), menyampaikan terlapor sudah berani membangun diatas tanah miliknya. Lalu, orang tuanya datang ke Medan dan keberatan kepada keluarga B, namun diabaikan dan tetap melanjutkan pembangunan di atas lahan tersebut.
Dedy juga menyanggah pernyataan paman terlapor menyatakan bangunan sudah ada sejak dibeli. Buktinya, sudah ada laporan Dedy ke Ombudsman RI dan Dinas Tata Ruang bahwa ada bangunan yang dibangun tanpa izin dan melebihi sertifikat.
Selain itu, pada saat lahan digunakan Mangatas Silalahi untuk gudang peralatan, sementara saat itu keluarga WK mempergunakan lahan sebagai rumah kost dan ruko tempat berjualan, keterangan paman terlapor berbeda.
”Paman terlapor kerap memberikan pernyataan kontradiktif. Ia menyatakan setelah B meninggal dunia, barulah terjadi kasus ini. Hal itu terbantahkan dengan adanya LP No.STTLP/1286/X/2015/SPKT “I’ tanggal 26 Oktober 2015. Artinya banyak keterangan yang disampaikan pihak terlapor yang tidak sesuai fakta dan patut menjadi catatan,” tuturnya.
Dedy menegaskan, dalam proses jual beli antara keluarga B dengan Mangatas Silalahi dan Bank BPDSU bersama Notaris tentu sudah disampaikan tentang luas tanah yang dijual kepada keluarga B adalah yang disita oleh Bank BPDSU seluas 26,5 m x 13, 5 m. Sedangkan tanah seluas 2, 7 m x 13, 5 m diduga tidak ada alas hak yang sah.
Dedy menyebut bahwa proses pembangunan rumah kost 2 tahap oleh keluarga B (tahap 1 sesuai luas tanah sertifikat No 608 a.n Mangatas Silalahi dan tahap 2 diduga di atas lahan 22, 75 x 15 tanpa alas hak) dilakukan keluarga B.
“Ini menjadi indikasi kuat bahwa dengan sadar mereka menguasai lahan secara melawan hukum. Dan itu bukan hanya persoalan administrasi belaka,” tegasnya.
Pasca meninggalnya B, penguasaan lahan, dilanjutkan oleh WK (terlapor). Dia juga aktif mengelola lahan, bukan hanya menerima uang sewa seperti yang dijelaskan saat gelar perkara.
“Tidak ada pihak lain yang mengelola lahan tersebut selain WK,” Tambah Dedy.
Dedy meminta agar kasus ini dibuka kembali dan melakukan pendalaman. Penyelidik harus sesuai Pasal 6 ayat 1 UU RI No.51 Prp Tahun 1960, yaitu larangan penguasaan lahan yang berhak atau kuasanya yang sah.
Kepolisian juga harus melakukan konfirmasi ulang ke BPN Kota Medan tentang siapa sebenarnya yang memiliki hak atas lahan yang saat ini menjadi objek sengketa.
”Saya berharap agar proses hukum ini dilakukan secara transparan dan adil, tanpa memihak kepada siapapun juga,” terangnya.
Terpisah, Kasubbid Penmas, Bidang Humas Polda Sumut, AKBP Siti Rohani ketika dikonfirmasi mengatakan akan mempelajari dahulu perkara ini.
“Saya pelajari dahuluya, nanti saya pertanyakan kepada tim penyelidik atau penyidik yang menangani perkara ini,” terangnya.(BP7)


Komentar