Jakarta-BP: Industri rokok Indonesia tahun ini kembali membuktikan kedigdayannya mengubah orientasi kebijakan cukai pemerintah, dari “mengendalikan tembakau” menjadi “membantu pertumbuhan industri tembakau.”
Sebagaimana diberitakan Jumat lalu, industri rokok lolos dari disinsentif yang hendak diterapkan pemerintah, menyusul pengumuman Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menyatakan tidak akan menaikkan cukai produk tembakau.
“Pemerintah dan Presiden mempertimbangkan aspek ke ekonomi kita dan kegiatan bisnis dan investasi. Tentunya banyak faktor yang diperhatikan,” ujar Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Askolani di tayangan “Closing Bell” CNBC Indonesia TV, pada Jumat (2/11/2018).
Tarif cukai hasil tembakau sebelumnya ditargetkan rata-rata sebesar 10,04%, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Perlu dicatat angka cukai yang hendak diberlakukan pada 2018 ini lebih kecil dari yang diterapkan pada 2017 sebesar 10,5%.
Bagi Indonesia, kebijakan cukai adalah satu-satunya instrumen pengendalian tembakau, setelah Presiden Joko Widodo mengekor pendahulunya yakni Susilo Bambang Yudhoyono dengan menjadikan Indonesia sebagai 1 dari 15 negara dunia yang tak meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
FCTC adalah perjanjian untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif konsumsi dan paparan rokok. Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia yang menolak meratifikasi perjanjian itu, sebarisan dengan beberapa negara lainnya termasuk “negara gagal” seperti Somalia dan Sudan Selatan.
Dengan memilih menjauh dari pergaulan dunia di FCTC, Indonesia dinisbatkan oleh Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) menjadi negara dengan jumlah perokok terbesar ketiga dunia setelah China dan India, dengan jumlah perokok sebesar 36,3% dari populasi atau 94 juta orang.
Artinya, satu dari tiga orang Indonesia adalah perokok, menjadi pasar besar bagi industri rokok. Tidak heran, pembatalan kenaikan cukai rokok disambut lonjakan harga saham tiga emiten rokok yakni PT HM Sampoerna Tbk (sebesar 4,1%), PT Gudang Garam Tbk (6,6%), dan PT Wismilak Inti Makmur Tbk (2,7%).
Kenaikan harga saham produsen rokok tersebut menunjukkan sinyal bahwa investor di bursa saham optimistis keuntungan emiten rokok bakal melesat dengan tidak adanya kenaikan tarif cukai tahun ini.
Maklum saja, kontribusi industri tembakau sejauh ini menyumbang lebih dari 96% dari total penerimaan negara dari pos cukai, menjadi satu-satunya pos industri dengan sumbangan dominan terhadap negara. Karenanya, “keberanian” pemerintah tidak menaikkan tarif cukai menjadi kabar positif.
Rokok: Barang Elastis yang Cenderung Inelastis
Namun, kinerja tiga perusahaan rokok besar yang tercatat di bursa nasional tidak banyak terpukul, meski volume produksi rokok mereka menurun. Ini terlihat dari kenaikan penjualan setahun terakhir di tiga perusahaan emiten rokok
Penjualan HM Sampoerna menguat 9,2% menjadi Rp 83,3 triliun dari Rp 76,3 triliun (2016) menyusul kenaikan harga jual rata-rata per batang sebesar 8,4% untuk SKT (sigaret kretek tangan) dan 7,1% untuk SKM (sigaret kretek mesin). Hal ini terjadi meski volume penjualan rokoknya turun 4% menjadi 101,3 miliar batang (dari 105,5 miliar batang).
Sementara itu, pendapatan Gudang Garam naik 3,8% menjadi Rp 99,1 triliun dari Rp95,5 triliun (2016) berkat kenaikan harga jual rokok dan naiknya volume penjualan rokok sebesar 2% menjadi 78,7 miliar batang. Margin kotornya sedikit melemah menjadi 19,2% pada kuartal III-2018, dibandingkan dengan 22% (kuartal III-2017). Margin bersih sedikit melemah dari 10,8% ke 9%.
Dari situ, terlihat bahwa di tengah kenaikan harga rokok, konsumsi masyarakat tidak banyak terganggu sehingga penjualan kedua raksasa rokok itu juga tidak banyak terpukul. Ini sejalan dengan temuan WHO yang menyebutkan bahwa permintaan rokok cenderung inelastis.
“Relatively inelastic demand,” demikian tulis WHO merujuk pada produk tembakau, terutama rokok, dalam laporannya yang berjudul “The Demand for Cigarettes and Other Tobacco Products.” Laporan itu disusun dengan formula penghitungan koefisien elastisitas barang yang jamak dipakai.
Menurut Anne-Marie Perucic, Ekonom WHO yang menyusun laporan tersebut, teori permintaan bisa diaplikasikan untuk produk tembakau, tetapi dengan keunikan khusus karena adanya sifat ketergantungan (adiktif) yang diciptakan oleh produk tersebut terhadap konsumennya.
“Konsumsi menurun ketika harga naik, tapi karena nature (sifat alamiah) adiktif produk tembakau, permintaan pun menjadi kurang sensitif terhadap perubahan harga,” tulisnya dalam laporan yang dirilis pada 2012 dan hingga kini menjadi acuan kebijakan pengendalian rokok dunia.
WHO merekomendasikan kenaikan pajak dan cukai rokok dalam besaran signifikan guna mengerem pertumbuhan industri rokok yang-menurut Kementerian Kesehatan-menyebabkan kerugian ekonomi Indonesia sebesar Rp 596,6 triliun (2015), empat kali lebih besar dari penerimaan cukai rokok periode tersebut.
Namun jelang tahun politik 2019, pemerintah memilih untuk tak menaikkan cukai rokok alias mengenakan tarif yang sama seperti tahun lalu. Kapan terakhir kali pemerintah tak menaikkan tarif cukai rokok? Pada 2014, yang juga merupakan tahun politik.
Komentar