Pendahuluan
Desa Ujung Bawang merupakan salah satu desa sentra tanaman cabai, berhubung potensi agroklimatnya yang mendukung pertumbuhan dan produksi tanaman. Namun, selama beberapa tahun belakangan Desa ini mengalami kemarau yang berkepanjangan.
Hal ini menjadi masalah besar bagi petani cabai yang hanya mengandalkan air hujan untuk pengairan, sehingga terjadi gagal panen cabai. Petani juga kesulitan memperoleh pupuk subsidi dari pemerintah karena terbatasnya persediaan, dan di pasaran pupuk langka serta harganya mahal. Melalui program kemitraan dengan petani, telah dilakukan penerapan teknologi dengan metode irigasi tetes dari sumber mata air yang berada dekat lahan petani kemudian mengalirkannya ke lahan dengan sistem kontrol.
Selanjutnya dilakukan pelatihan pengolahan limbah kulit ceri kopi menjadi kompos. Kegiatan ini memberikan dampak positif kepada petani mitra, yaitu: petani tidak kesulitan lagi untuk mengairi tanamannya; petani tidak tergantung pada pupuk subsidi maupun pupuk yang dibeli dari luar; dan peningkatan pengetahuan dan keterampilan tentang pengolahan limbah menjadi kompos. Kompos yang dihasilkan memenuhi beberapa kriteria SNI 19-7030- 2004.
Penelitian menunjukkan bahwa penerapan teknologi memberikan penurunan biaya produksi sebesar 39,05% dan peningkatan pendapatan sebesar 12,4% dari petani yang belum memanfaatkan teknologi. Walaupun produksi yang diperoleh lebih rendah dari petani yang belum memanfaatkan teknologi (2,93%), hal ini disebabkan lahan baru pertama sekali ditanam cabai.
Desa Ujung Bawang yang terletak di Kecamatan Dolok Silau Kabupaten Simalungun merupakan salah satu sentra tanaman cabai merah. Pada Desa Ujung Bawang ini belum ada irigasi disebabkan topografi tanah yang tidak datar tapi topografi tanah miring, dengan ketinggian tempat 1000-1350 m dpl. Sumber air untuk mengairi lahan hanya berasal dari air hujan, sehingga apabila terjadi musim kemarau panjang, maka banyak tanaman yang dibudidayakan petani mengalami kematian dan gagal panen, sehingga berdampak terhadap pendapatan petani. Seperti yang terjadi pada bulan Juni hingga awal Agustus 2018 kemarau panjang, hujan tidak turun selama lebih dua bulan, menyebabkan sebagian besar petani cabai mengalami gagal panen dan berdampak pada tingginya harga cabai.
Produksi cabai merah di Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun adalah sebesar 1.208 ton untuk luasan penanaman cabai sebesar 83 ha [1]. Produksi cabai merah di Kecamatan Dolok Silau ini adalah 14,5 ton/ha masih dibawah produksi nasional yang mencapai 20 ton/ha. Produksi cabai di Desa Ujung Bawang kurang lebih 400 gram/tanaman yang seharusnya mencapai 1 kg/tanaman. Hasil kajian perbaikan teknologi menunjukkan capaian produksi cabai merah dapat mencapai 20 ton/ha [2]. Beberapa faktor penyebab rendahnya produksi tanaman cabai yaitu : tanaman kekurangan air pada musim kemarau, penggunaan bahan agrokimia yang tinggi untuk pupuk dan pestisida, tidak tersedianya bibit yang berkualitas di tingkat petani dan tingkat serangan hama dan penyakit yang cukup tinggi.
Dampak yang ditimbulkan kuantitas dan kualitas sayuran rendah/kurang sehat, biaya produksi tinggi, resiko gagal panen cukup tinggi. Petani di Desa Ujung Bawang sangat tergantung kepada pupuk subsidi dari Pemerintah, namun karena jumlahnya terbatas maka petani membeli pupuk di toko- toko pertanian. Ketergantungan petani pada pupuk kimia, menyebabkan harga pupuk dipasaran menjadi mahal dan ketersediaannya tidak selalu ada saat diperlukan petani. Keadaan ini menyebabkan petani tidak memupuk tanamannya. Cabai (Capsicum annum L.) merupakan komoditi hortikultura penting.
Komentar