Medan-BP: Kematian Ayi Irmawan, warga Jalan Pejuang, Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura), Provinsi Sumatera Utara (Sumut) yang tewas di Medan dengan luka lebam masih menimbulkan teka teki.
Meski sudah berjalan hampir dua tahun, kematian pria yang sempat kuliah di salah satu perguruan tinggi di Kota Medan ini belum juga terungkap penyebabnya. Akibatnya, orang tua korban menyebut Polrestabes Medan tidak atau belum menerapkan Presisi atau Prediktif, Responsibilitas, Transparan dan berkeadilan yang dicanangkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
“Saya yakin bahwa Polrestabes Medan belum menerapkan Presisi seperti yang dicanangkan oleh Bapak Kapolri, kenapa? Karena sampai sekarang kasus kematian anak saya yang awalnya ditemukan sekarat di kamas kos temannya belum juga terungkap. Keadilan tidak ada saya terima,” kata orang tua Ayi, bernama Irmaliana Harianja kepada harianbatakpos,com, Selasa 9 Maret 2021.
Selain itu, tidak Presisinya Polrestabes Medan menangani kematian anaknya juga terjadi dari terbitnya dua surat tanda terima laporan polisi atau STTLP di hari dan tanggal yang sama tepatnya Rabu 27 Maret 2019. Ada bernomor 290/III/2019 Restabes Medan dan bernomor 690.
Dikatakan Irma, sebelum meninggal dunia dirumah sakit. Ayi dalam keadaan sekarat di kamar kos milik Nia yang merupakan teman satu kuliahnya di Jalan Karya Wisata, Kecamatan Medan Johor tepatnya dibelakang toko lontong Almira.
Ketika ditemukan sekarat, didalam kamar kos itu ada Aldi dan Ade Fitriani dan sepeda motor Vario. Ayi ditemukan sekarat dikamar kos Nia tepatnya Senin 11 Maret 2019 dan meninggal dunia Selasa 12 Maret 2019.
Setelah menyelesaikan prosesi pemakaman dan lainnya, ibunda korban membuat laporan ke Mapolrestabes Medan, yang berada di Jalan HM Said, Kecamatan Medan Timur tepatnya Rabu 27 Maret 2019 sesuai dengan surat tanda terima laporan polisi atau STTLP 290/III/2019 Restabes Medan.
“Surat laporan polisi bernomor 290 dan ada 690. Ini sangat aneh. Surat itu dikeluar seseuai isinya sama tanggal dan tahunnya,” kata Irmaliana.
Dalam surat bernomor 290 diakui Irma bahwa itulah yang benar. Karena surat itu sudah bertandatangan dan berstempel Polrestabes Medan. Sedangkan nomor 690 tidak ada tanda tangan dan stempel.
“Nomor 290 itu sudah sah dan sudah saya tandatangani. Saya tidak mengakui adanya surat nomor 690. Saya meminta polisi profesional dalam menangani kasus ini,” kata Irma.
Menurut dia, dalam surat bernomor 690 terdapat keringanan kasus kematian anaknya. Sedangkan bernomor 290 itu tegas berbunyi penganiayaan berat atau penganiayaan yang mengakibatkan meninggal dunia.
“Kalau dalam surat 690 bunyinya penganiayaan yang mengakibatkan meninggal dunia. Ini sangat aneh. Saya meminta Kapolrestabes Medan melalui Kasatreskrim profesional dalam mengungkap kematian anak saya ini,” terangnya.
Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasatreskrim) Polrestabes Medan, Komisaris Polisi Martuasa Hermindo Tobing melaly Kepala Unit Pidana Umum (Pidum) Iptu Yunan ketika dikonfirmasi awak media perihal dua STTLP itu mengaku bahwa laporan itu sudah benar adanya.
“Jadi, surat laporan yang kami terima 690 bukan 290. Kami masih terus melanjutkan perkara ini,” kata Yunan.
Menurut dia, nomor 290 dan 690 tidak ada perbedaan. Itu hanya kesalahan penomoran.
“Kalau nomor STTLP tanyakan ke sentra pelayanan kepolisian terpadu (SPKT) saja langsung, karena mereka yang kasih nomor. Yang kami tangani cuma 1 STTLP yang nomor 690,” tuturnya.(BP/Reza)
Komentar