Daerah Nasional Politik Sejarah
Beranda » Berita » Sejarah Perjanjian Giyanti: Latar Belakang, Isi Perjanjian dan Dampaknya

Sejarah Perjanjian Giyanti: Latar Belakang, Isi Perjanjian dan Dampaknya

Sumber: kompas.com, detik.com

Salah satu peristiwa penting dalam catatan sejarah Indonesia adalah Perjanjian Giyanti. Perjanjian ini mencerminkan upaya menciptakan perdamaian di tengah-tengah keberagaman dan perbedaan suku dan budaya di Nusantara. Perjanjian Giyanti adalah peristiwa bersejarah yang menandai pecahnya Mataram Islam.

 

Latar Belakang Terjadinya Perjanjian Giyanti

Perjanjian Giyanti terjadi pada tahun 1755 di Giyanti, Jawa Tengah, dalam konteks kekacauan politik yang melibatkan perebutan kekuasaan di antara penguasa-penguasa lokal. Pada saat itu, Mataram Islam, kerajaan Jawa yang kuat, mengalami kemerosotan kekuasaan.

Mentan Temukan Pupuk Palsu Rugikan Petani Rp3,2 Triliun

 

Perebutan kekuasaan antara pewaris trah Mataram, yaitu Pakubuwono III dan Pangeran Mangkubumi, menjadi pemicu terjadinya Perjanjian Giyanti. Akhirnya terjadi Perjanjian Giyanti, yakni perjanjian antara VOC dengan pihak Kerajaan Mataram Islam yang diwakili oleh Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi.

 

Isi Perjanjian Giyanti

Perjanjian Giyanti memuat sejumlah ketentuan yang ditujukan untuk mengakhiri konflik dan membagi kekuasaan antara Pakubuwono III dan Pangeran Mangkubumi. Beberapa poin kunci dari perjanjian tersebut antara lain adalah:

Kapolres Tanjung Balai dan Tapsel Resmi Berganti

 

  • Pangeran Mangkubumi diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwono Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifattullah dengan separuh dari kerajaan Mataram, dan hak kekuasan diwariskan secara turun-temurun.
  • Senantiasa diusahakan kerja sama antara rakyat yang berada di bawah kekuasaan VOC dengan rakyat kesultanan.
  • Sebelum Pepatih Dalem dan para Bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-masing, mereka harus melakukan sumpah setia pada VOC di tangan Gubernur.
  • Sri Sultan tidak akan mengangkat atau memberhentikan Pepatih Dalem dan Bupati sebelum mendapatkan persetujuan dari VOC.
  • Sri Sultan akan mengampuni Bupati yang memihak VOC dalam peperangan.
  • Sri Sultan tidak akan menuntut haknya atas Pulau Madura dan daerah-daerah pesisir yang telah diserahkan oleh Sri Sunan Pakubuwana II kepada VOC dalam kontraknya tertanggal 18 Mei 1746. Sebaliknya, VOC akan memberi ganti rugi kepada Sri Sultan sebesar 10.000 real tiap tahunnya.
  • Sri Sultan akan memberi bantuan kepada Sri Sunan Pakubuwana III sewaktu-waktu jika diperlukan.
  • Sri Sultan berjanji akan menjual bahan-bahan makanan dengan harga tertentu kepada VOC.
  • Sultan berjanji akan menaati segala macam perjanjian yang pernah diadakan antara penguasa Mataram terdahulu dengan VOC, khususnya perjanjian-perjanjian yang dilakukan pada tahun 1705, 1733, 1743, 1746, dan 1749.

Dampak Perjanjian Giyanti

Perjanjian Giyanti memiliki dampak yang signifikan terhadap perkembangan politik dan sosial di Nusantara. Beberapa dampak utama perjanjian tersebut antara lain:

 

1.     Pembentukan Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta

Perjanjian Giyanti menjadi landasan bagi pembentukan dua kerajaan baru, yaitu Kesultanan Surakarta yang dipimpin oleh Pakubuwono III dan Kesultanan Yogyakarta yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi. Kedua kerajaan ini bertahan dan berkembang hingga era kemerdekaan Indonesia.

 

2.     Stabilitas Politik

Perjanjian Giyanti mengakhiri pertikaian antara Pakubuwono III dan Pangeran Mangkubumi, menciptakan stabilitas politik dalam jangka waktu tertentu. Meskipun demikian, stabilitas ini tidak berlangsung selamanya, dan konflik internal masih terus muncul di kemudian hari.

 

3.     Pentingnya Diplomasi dan Kesepakatan

Perjanjian Giyanti memberikan contoh pentingnya diplomasi dan kesepakatan dalam menyelesaikan konflik. Ini menunjukkan bahwa perdamaian dapat dicapai melalui negosiasi dan kompromi, meskipun sifatnya bersifat sementara.

 

Perjanjian Giyanti bukan hanya sebuah dokumen sejarah, tetapi juga sebuah cermin dari keberagaman dan kompleksitas politik di Nusantara pada masa itu. Sebagai bagian dari perjalanan panjang Indonesia, peristiwa ini mengajarkan kita pentingnya dialog, toleransi, dan perdamaian dalam mengelola keragaman budaya dan politik yang menjadi ciri khas bangsa ini.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *