SEBAGAI pribadi, saya sudah dua kali merasakan sakit hati karena Pilpres (2004 dan 2009). Namun, sekarang tidak lagi begitu pusing, meski pilihan saya 03 kalah. Karena memang saya merasa sangat wajar, siapa pun yang menyerang Jokowi akan dimusuhi oleh rakyat yang 70-80 persen itu.
Di awal kemunculan Ganjar Pranowo, saya yakin, sangat banyak yang fanatik kepadanya. Saya sendiri sampai keluar urat leher untuk membelanya dari serangan netizen Batak Kristen soal Israel. Sampai saya bikin tajuk di sebuah media.
Pun begitu dipasangkan dengan Mahfud MD, optimisme makin memuncak, walau survei sudah mulai mandeg. Pasangan komplit ini saya yakini, dan juga diyakini banyak orang, akan mencuat pada waktunya.
Bagaimana tidak komplit. Ganjar cerdas menggambarkan keceriaan. Mahfud tegas dan sangat religius, serta paham agama dengan begitu baik.
Tidak sekali dua kali kita melihat penampilan Ganjar yang memang memikat baik dari pembawaan maupun jawaban saat berhadapan dengan rakyat maupun media. Demikian pula dengan Mahfud. Jawaban-jawaban lugasnya soal agama dan hukum tidak ada yang bisa membantah. Di DPR RI, dia menunjukkan kapasitasnya.
Pokoknya memang komplit dan terbaik.
Namun kemudian lingkungan pendukung mereka sendiri merusak semuanya. Terkesan merajuk hanya karena Gibran ke sana, bukan ke sini. Mengkambinghitamkan putusan MK, yang sebenarnya mereka juga berharap dari sana.
Lalu ikutan Jokowi diserang habis-habisan entah untuk tujuan apa. Menuduh Jokowi kampanye dan berpihak, padahal mereka sebelumnya terang-terangan berharap, Jokowi akan berkampanye di pihak mereka.
Berulang kali saya berdebat dengan rekan di partai pengusung, kenapa mesti seperti itu…? Saya malah dibully dengan tuduhan pura-pura dukung Ganjar-Mahfud. Kegelisahan itu juga saya sampaikan kepada para petinggi partai yang kebetulan masih tersimpan nomor WA-nya. Bahkan ke nomor WA Ganjar Pranowo yang kebetulan ada di ‘phonebook’.
Tapi apalah pula arti seorang warga biasa. Yang ada saya dianggap sok pintar.
Kemudian, saya dan mungkin banyak orang lainnya, dengan terpaksa menjadi tidak fanatik lagi ke GP. Alasannya hanya satu, Takut sakit hati lagi kalau dukungan kalah.
Dan serangan ke Jokowi dan Gibran pun makin intens, sebagaimana terlihat di media sosoal, dan berakhir dengan kekalahan 03 di ‘quick count’.
Lalu kemudian banyak yang tidak terima.
Padahal seperti pernah saya katakan, tidak perlu ahli atau pakar politik untuk memahami kenapa Prabowo-Gibran menang.
Mereka mungkin lupa atau pura-pura lupa, bahwa Jokowi masih dianggap ‘setengah dewa; oleh mayoritas penduduk Indonesia, terutama kaum emak. Dan itu terbukti dengan tingkat kepuasan yang mencapai 70-80 persen.
Sehingga jumlah 58-59 persen versi ‘quick count’ sebenarnya bisa juga dikatakan anomali, bila melihat tingkat kepuasan kepada Jokowi, yang mencapai 70-80 persen. Mestinya perolehan suara 02, lebih dari 58-59 persen.
Semua sibuk membahas MK, MKMK, nasionalis realis, dan lainnya, yang sama sekali tidak masuk akal bagi kaum emak ‘di dapur’ sana. Mereka hanya paham bahwa Jokowi adalah penolong mereka. Maka ke mana Jokowi menunjuk, ke sana jugalah arah mata mereka memandang.
Bahkan mungkin, andai Gibran di Prabowo dan Jokowi di Ganjar, maka bisa jadi ada pertarungan sengit. Memang nggak mungkin sih, tapi seperti itulah perbandingannya yang saya yakini.
Kini semua sudah berlalu. Yang penting bagi saya pribadi, adalah tetap dengan janji untuk memilih 03, meski harus merasa telah mengkhianati Jokowi. Dan bahkan beda pilihan dengan istri dan seisi rumah.
Eh…, demokrasi katanya sedang tidak baik-baik saja…?
Ah… Mungkin itu di lingkungan mereka sajalah. Mungkin bagi mereka, beda pilihan artinya, demokrasi tidak sedang baik-baik saja. Kalau di keluarga kami, beda pilihan adalah hal biasa. Saya tetap dibuatkan makan oleh istri saya, meskipun sambil ngejek dengan menyanyikan lagu, “Oke gas…” (***)
Komentar