Medan, Harianbatakpos.com – Suatu sore di sebuah kafe di Jalan Medan–Binjai, saya berbincang dengan seorang sahabat Kristiani, Alexius. Obrolan ringan tentang kehidupan beralih menjadi diskusi serius: bagaimana agama, sains, dan filsafat berbicara tentang penciptaan semesta.
Kitab Suci dan Sains
Alexius mengutip Kitab Kejadian pasal 1 tentang Allah yang menciptakan langit dan bumi. Saya menambahkan bahwa Al-Qur’an juga menyebut penciptaan alam dalam enam masa (QS. Al-A‘rāf: 54). Keduanya tidak memberi detail teknis bagaimana semesta terbentuk.
Di titik itulah sains memberi penjelasan. Teori Big Bang menyebut semesta lahir dari ledakan besar sekitar 13,8 miliar tahun lalu, sementara bumi terbentuk 4,5 miliar tahun lalu. Evolusi kemudian menjelaskan bagaimana kehidupan berkembang hingga muncul manusia modern sekitar 300 ribu tahun silam.
Beberapa ulama progresif menafsirkan kisah Adam dalam Al-Qur’an bukan sekadar individu pertama, melainkan simbol manusia yang mencapai kesadaran moral. Tafsir ini berusaha menjembatani wahyu dan ilmu pengetahuan.
Perspektif Filsafat
Diskusi kemudian bergeser pada filsafat. Para filsuf Muslim seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina banyak mengembangkan teori emanasi Plotinus: bahwa segala realitas mengalir bertingkat dari Yang Esa menuju wujud-wujud yang lebih rendah.
Namun filsafat juga melahirkan pandangan skeptis. Jika Tuhan bisa ada dengan sendirinya, mengapa alam tidak bisa ada tanpa Tuhan? Bahkan fisika kuantum menyebut partikel bisa muncul dari “ketiadaan” melalui fluktuasi di ruang hampa.
Perdebatan Firman
Sejarah agama-agama besar juga mencatat perdebatan klasik. Dalam Kristen, Konsili Nikea (325 M) menegaskan Yesus adalah Firman yang azali, bagian dari Trinitas. Namun kelompok Arian menilai Yesus hanyalah makhluk.
Dalam Islam, perdebatan serupa muncul mengenai Al-Qur’an: mayoritas Sunni meyakini ia qadim (azali), sementara Mu‘tazilah menilainya sebagai makhluk. Bedanya, dalam Kristen firman dipahami sebagai pribadi (Yesus), sementara dalam Islam sebagai wahyu (Al-Qur’an).
Narasi Kitab Suci
Banyak kisah dalam Al-Qur’an juga ditemukan dalam tradisi Biblikal maupun teks apokrif. Misalnya, bayi Isa yang berbicara dalam buaian (QS. Maryam: 29–30) mirip dengan kisah dalam Injil Kanak-Kanak Thomas.
Namun ada pula perbedaan. Kisah Ibrahim dibakar api (QS. Al-Anbiyā’: 68–69) tidak ditemukan dalam Perjanjian Lama, melainkan mirip dengan cerita tiga pemuda Ibrani dalam Kitab Daniel. Perbedaan ini menunjukkan narasi kitab suci lahir dari interaksi lintas tradisi, baik dari teks resmi maupun tradisi lisan.
Menimbang Kembali
Apakah perbedaan itu melemahkan klaim wahyu? Bagi umat Islam, Al-Qur’an diyakini sebagai koreksi atas narasi sebelumnya. Sebaliknya, umat Kristiani meyakini Alkitab sebagai yang asli karena lebih dahulu ada. Dari kacamata historis, jelas bahwa kitab-kitab suci tumbuh dalam ruang sejarah yang sarat pertukaran gagasan.
Pada akhirnya, agama, sains, dan filsafat berbicara dengan bahasanya masing-masing. Agama memberi makna, filsafat menyediakan kerangka logika, dan sains menyodorkan bukti empiris. Pertemuan ketiganya justru mengajarkan kerendahan hati: bahwa pencarian tentang asal-usul dan tujuan hidup manusia tidak akan pernah berhenti pada satu jawaban tunggal.
Komentar