Aksi Bully, Kenyamanan di Rumah, dan Peran Orangtua

AKSI 'bully' terutama di dunia pendidikan adalah persoalan yang sepertinya belum ada penyelesaian secara signifikan hingga saat ini. Tindak 'pem-bully-an' seolah jadi 'momok' menakutkan, tanpa adanya tindakan tegas yang bisa mengurangi, apalagi menghentikan.

Tidak sedikit korban 'bully' yang mengalami luka bahkan ada yang meninggal. Selain itu korban 'bully' juga mengalami 'trauma' tanpa ada solusi yang adil bagi mereka.

Ironisnya, pelaku 'bully' kebanyakan adalah usia pelajar, yang dalam sistem hukum di Indonesia masuk kateghori anak di bawah umur. Sehingga 'tangan hukum' kerap terhambat menjangkau mereka dengan alasan di bawah umur tadi.

Sungguh ironis, kalau sekolah yang merupakan 'ujung tombak' dunia pendidikan, malah menjadi tempat yang rawan bully. Padahal, sebagaimana pernah disampaikan Presiden Jokowi pada Kongres PGRI XXIII beberapa waktu lalu, sekolah harus menjadi 'safe house' atau rumah aman bagi siswa/pelajar.

Dalam kongres itu, Jokowi menjelaskan bahwa kasus 'bullying' akan mempengaruhi kualitas SDM. Padahal pada hakikatnya Indonesia memiliki kesempatan besar untuk melompat lebih tinggi menjadi negara maju. Namun kalau kasus 'bullying' malah makin marak di kalangan pelajar, maka upaya mencapai Indonesia Emas di 2045 dan menjadi negara maju akan sulit terwujud.

Apa faktor penyebab maraknya bully?

Menurut saya, salah satu faktor utama adalah medsos. Sebagaimana kita ketahui, 'bullying' bukan hanya terjadi secara langsung di dunia nyata. Tapi juga di sosial media atau dunia maya. Baik itu dengan melakukan bully melalui medsos, maupun lewat tayangan atau konten yang mempertontonkan aksi bully.

Dan tayangan atau konten dengan materi bully lah yang saya anggap paling banyak mempengaruhi, terutama untuk kalangan pelajar atau remaja. Bisa kita lihat, bagaimana konten atau film drama baik lokal maupun luar negeri, semisal Jepang, Korea, dan lainnya, kerap menyuguhkan aksi bully sebagai dagangan. Dan tayangan sejenis ini sangat bebas 'hilir mudik' di medsos tanpa ada filter.

Sedangkan bagi anak pelajar atau remaja, yang memang masih gampang terpengaruh, tontonan aksi bully itu malah bisa menjadi inspirasi untuk melakukan hal serupa. Sehingga tidak heran, aksi bully seakan menjadi momok yang terus berkembang.

Lalu bagaimana?

Dalam hal ini, sangat penting peran orangtua. Pengawasan ketat adalah salah satu hal yang bisa dilakukan untuk menjauhkan anak dari pengaruh negatif medsos. Selain pengawasan, hal lain adalah, perhatian kepada anak dan membuat rumah menjadi tempat yang nyaman.

Harus sama-sama disadari, bahwa pondasi perkembangan anak ada di rumah. Kalau anak-anak merasa nyaman dan dapat perhatian di rumah, serta diberitahu secara baik soal bagaimana bersikap, maka kemungkinan besar, dia akan tertib di luar.

Kenapa rumah harus nyaman dan perhatian...? Karena anak haruslah punya kerinduan untuk segera kembali ke rumah begitu aktivitas sekolah selesai. Sehingga dia tidak berpikir untuk melakukan hal lain, apalagi yang bersifat negatif. Dengan membayangkan rumahnya yang nyaman, maka dalam pikirannya, hal-hal negatif akan sulit berkembang.

Ingat, rumah yang nyaman bukan soal fasilitas atau bentuk fisik rumah. Tapi yang paling utama adalah suasana yang hangat dan damai penuh kasih sayang. Rumah mewah sekalipun, tidak akan nyaman, kalau penuh dengan teriakan dan piring panci berterbangan.

Soal perhatian, semua pasti paham, ini adalah kebutuhan penting bagi anak. Seorang anak butuh pengakuan dan juga ingin diapresiasi. Kalau ini tidak didapatkan di rumah, maka anak itu akan mencarinya di luar.

Sementara, apresiasi untuk hal baik di luar sana, adalah hal sulit didapat. Lebih sering perbuatan jahan yang jadi perhatian yang akhirnya berpotensi membuat anak melakukan hal negatif untuk dapat pengakuan. Tapi kalau sudah dapat apresiasi dan perhatian di rumah, maka si anak tidak butuh lagi di luar sana.

Percayalah, apresiasi dari keluargalah yang paling melekat dalam pikiran anak. Sebaliknya, cercaan dari orangtua akan melekat dalam pikirannya dan mempengaruhi kegiatannya di luar rumah.

Selain itu, sejak dini, anak memang harus ditanamkan soal akhlak, adab, dan mengenal hal baik, tentunya dengan contoh dari orangtua itu sendiri. Sungguh sia-sia apabila kita menyuruh anak tertib dan sopan, kalau kita sendiri berlaku kasar dan tidak kenal waktu bermain gadget. Kalau kita ingin anak tertib bermain gadget, maka kita harus mencontohkan, bagaimana itu tertib.

Pengawasan lainnya adalah dengan memperhatikan isi gadget anak. Memang sebaiknya juga, anak baru diberikan gadget dengan aplikasi luas pada usia 17 tahun ke atas. Kalau di bawah usia itu, mestinya isi gadgetnya dibatasi dengan menghapus aplikasi-aplikasi yang memungkinkan si anak menjelajhi dunia maya tanpa kendali. Itulah pentingnya kita bijak dalam bermedia sosial. Jangan sampai medsos atau gadget yang mengontrol hidup kita.

Lalu bagaimana dengan sekolah?

Seperti kata para ahli, sekolah adalah pusat pendidikan yang berperan mencetak, membangun SDM yang baik, baik secara fisik, skill, mental dan karakter. Sekolah pun menjadi sarana siswa untuk ditempa menjadi pribadi yang optimis, berani berkompetisi kreatif dengan inovatif. Dalam hal bully, sekolah memang tidak boleh diam dan bertanggung jawab menciptakan lingkungan sekolah yang aman bagi siswa.

Tapi adalah hal yang sia-sia, apabila kita menyerahkan penanganan anak sepenuhnya kepada guru saat sedang di sekolah. Sebagai orangtua, kita juga harus aktif mengontrol sikap dan perilaku anak di sekolah. Maka itulah pentingnya komunikasi dengan guru di sekolah.

Miris memang, saat sekolah mengundang orangtua murid untuk membahas perkembangan anak, banyak yang enggan. Sekadar mengambil rapor pun lebih banyak diwakilkan. Sehingga komunikasi orangtua dengan guru sangat minim, sekaligus menyebabkan orangtua tidak mengetahui seperti apa anaknya di sekolah.

Oleh karena itu, untuk masa depan si anak yang lebih baik, komunikasi orangtua dan guru adalah hal mutlak. Jangan kemudian hanya bisa menyesal kalau si anak berbuat jahat lalu menyalahkan orang lain.

Lalu bagaimana kalau semua ini sudah terpenuhi tapi si anak tetap berperilaku tidak baik dan melakukan bully? Maka jangan segan membantu si anak dengan membiarkannya mendekam di Lapas Anak. (***)

Baca Juga