Samosir, harianbatakpos.com – Aktivis Geopark Toba, Dr Wilmar Eliaser Simandjorang menyatakan, pemindahan kerambah di Dabau Toba, dari Kawasan Desa Tanjung Bunga–Desa Boho ke Pantai Jungak dan Rumah Holi bukanlah solusi, melainkan pemindahan masalah baru.
“Jujur saja, terhadap dugaan terjadi kegiatan pemindahan kerambah ini bukan solusi, tapi hanya memindahkan masalah dari satu titik ke titik lain, tanpa menyentuh akar persoalan. Bulan lalu, kita lihat sendiri bagaimana Pantai Desa Tanjung Bunga menjadi keruh dan penuh lumpur, disertai dengan kematian ikan secara masif di lokasi kerambah. Itu jelas sinyal bahwa daya dukung danau sudah terlampaui,” kata Dr Wilmar Simanjorang, Selasa(16/9/2025) siang, dikutip dari International Media.
Ketika kegiatan seperti pemindahan kerambah dilakukan tanpa kajian ilmiah dan menabrak prinsip-prinsip kelestarian, maka menurutnya, itu mencederai semangat perlindungan kawasan.
“Yang ironis adalah, baru bulan lalu pemerintah menyelenggarakan ‘Toba Jou-Jou’, sebuah even budaya dan lingkungan yang sangat bagus dengan mengedepankan kearifan lokal, edukasi lingkungan, dan penghormatan terhadap alam Danau Toba. Tapi tak lama kemudian, muncul kebijakan yang justru berpotensi merusak kawasan dan menciptakan citra inkonsisten di mata publik,” ujarnya.
“Apalagi dalam waktu dekat, kita akan menyambut ‘King of The Trails’, even olahraga alam berskala internasional yang akan menjelajahi jalur-jalur hijau dan pesisir Danau Toba. Kalau ekosistem di Pantai Jungak dan Rumah Holi rusak karena pencemaran kerambah, bagaimana kita bisa mempromosikan Danau Toba sebagai destinasi eco-tourism dan adventure tourism yang berkelanjutan?’ tanya Wilmar.
Sehingga menurutnya, izin pemindahan kerambah seharusnya tidak diberikan. “Sangat tidak layak. Ini bukan hanya soal kebijakan lingkungan, tapi juga soal integritas pemerintah dalam menjalankan komitmen jangka panjang terhadap kelestarian Danau Toba,” katanya.
Dan syukur, bahwa menurut informasi yang diperoleh dari pejabat yang membidangi perikanan di Pemkab Samosir tidak ada menerbitkan izin di lokasi tersebut. Kedua lokasi pun masih di luar Zonasi Keramba yang ada di Perpres 81 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Danau Toba dan sekitarnya, yang disebut dengan Zona A4.
Menurut Wilmar, langkah yang harus dilakukan, pertama, moratorium total terhadap izin kerambah baru, khususnya di zona-zona sensitif dan dekat objek wisata.
Kedua, pemerintah harus mendampingi petani ikan untuk beralih ke sistem budidaya berbasis darat (seperti bioflok) dan ekonomi alternatif yang ramah lingkungan, seperti ekowisata, pertanian organik, atau pemanfaatan energi terbarukan.
“Ketiga, kita harus konsisten. Tidak bisa hari ini bicara pelestarian lewat kegiatan budaya seperti Toba Jou-Jou, lalu besok memberi lampu hijau pada aktivitas yang jelas-jelas merusak dan tidak berkelanjutan,” tegasnya.
Wilmar yang saat ini tinggal di Kawasan Danau Toba meminta agar semua pihak menjaga konsistensi arah pembangunan. Jangan biarkan kebijakan lingkungan tunduk pada kepentingan sesaat.
“Danau Toba adalah ‘living heritage’, bukan sekadar objek wisata. Kita sudah punya momentumnya, dari Toba Jou-Jou, program Toba Caldera UNESCO Global Geopark, hingga ‘King of the Trails’. Sekarang tinggal. kemauan dan keberanian untuk benar-benar menyelamatkan Danau Toba dari kerusakan ekologis yang terus membayangi,” tutup Wilmar. (REL)


  
                    
            
            
            
            
            
            
            
            
            
            
Komentar