Opini
Beranda » Berita » Anak perempuan berkaki Katak

Anak perempuan berkaki Katak

Anak perempuan berkaki Katak
Anak perempuan berkaki Katak

Aku tidak takut mati

Karena aku sudah lama mati, sejak dulu.

 

Cara Menghitung Matematika dengan Baik dan Benar, 90+6= 96 Bukan 99!

HarianBatakpos.com – Sudah sejak lama di tahun 2002, ketika aku merebut senyum di wajah Sitis. Padahal kami sering main bersama. Ia mahir bermain engklek, kakinya melompat-lompat bergerak lincah menabrak tanah. Kotak demi kotak berhasil ia lewati dengan gampang. Kini giliranku melempar gaco, satu kali lemparan aku salah membidik kotak. Sitis tertawa girang, giginya yang ompong terpampang. Coki-coki yang dari tadi diseruputnya tumpah keluar, kemudian bibirnya basah oleh cokelat. Ia pun mulai melempar gaconya lagi dan selalu tepat sasaran. Aku terpana melihat ia melompat melewati kotak-kotak, ia gesit mirip Katak. Rambut emas gelombangnya juga goyang-goyang menampar udara. Saat bermain engklek Sitis seakan punya banyak nyawa, ia tak pernah ragu dalam membidik serta melempar gaco. Sama seperti saat ia tak ragu menjadikanku kawannya, ia punya banyak nyawa. Sebab aku adalah iblis.

Hari itu ialah awal penerimaan murid baru sekolah dasar. Saat seorang pria tua berpakaian necis sedang berkhotbah di hadapan kami, Mami sibuk menceramahiku. Oleh karena aku tengah susah payah menangkap  katak yang meloncat di depanku. Dari dulu aku memang penasaran dengan binatang itu. Ia bisa hidup bebas di air maupun di darat. Dalam lubang sumur atau rerumputan, Katak bebas memilih kemana akan pergi. Kulitnya sungguh cantik. Aku ingin merasakan kakinya yang lengket menggerayangi tanganku. “Katak binatang tolol, ia akan memberimu penyakit,’ kata Mami. Sebelum Mami mengomel Katak itu sudah meloncat dari genggaman tanganku.

Lalu ia menjauh menghampiri kursi lainnya. Seorang anak perempuan menangkapnya. Ia meringis seraya memamerkan hasil tangkapannya. Si Katak menggeliat di antara jemari kumalnya. Anak perempuan itu baru saja melahap biskuit stroberi. Sisa remahan serta selai masih menempel di sela-sela jarinya. Aku tak tahan melihat si Katak tersiksa berada di sana. “Hei jangan kau sentuh makhluk eksotis itu!” aku ingin berteriak. Namun malah senyum tulus terpasang di wajahku.

Anak perempuan itu mengira  aku tersenyum untuknya. Kemudian ia menghampiriku sembari membawa si Katak yang dibekap di antara jemarinya. Sitis Zubaeda, aku mengeja huruf pada bet kemejanya di dada. Sejak taman kanak-kanak aku sudah bisa membaca. Sebab Mami secara manual selalu mengajariku dengan metode ikan mati. Ketika ia mendelik seperti ikan mati berarti aku harus berhasil membaca satu kalimat. Sampai suatu ketika aku gagal, Mami mendelik sejadi-jadinya.

Seni Flexing Kekuasaan

Aku takut bola matanya melompat keluar. Nanti Mami tak akan bisa menangis lagi, apalagi saat Papi memukuli wajahnya. Hari itu sudah beberapa kali Mami mendelik? Sekali lagi ketika Sitis mengulurkan Katak malang  itu ke mukaku. Aku menatap si Katak dengan malu-malu berbanding terbalik dengan Sitis yang cengengesan. “Ini temanmu, aku dan dia,” ucapnya sambil berusaha menjabat tanganku.

Semenjak itu kami berteman. Sitis selalu nampak riang, bahkan ketika bu Guru memilihkan tempat duduknya berada di sebelahku. Mulanya tidak terasa janggal kami duduk bersebelahan, namun setelah naik ke kelas empat suara cie-cie mulai ribut dari anak perempuan lainnya. Gadis-gadis penggosip mengejek kami karena beberapa bulan belakangan mereka mulai rajin nonton sinetron. Kisah aneh percintaan pemuda-pemudi di bangku sekolah dasar, yang mulanya keduanya bermusuhan pada akhirnya jadi teman lalu berakhir jadi pacar. Sungguh sangat berbeda dengan kami, aku menganggap Sitis lebih dari itu. Ia seorang guru.

Yang mengajariku cara bermain engklek ketika anak laki-laki lainnya menjadikanku penggembira di permainan sepak bola. Kata Mami sepak bola hanya untuk anak kampung. Harum bau minyak bayi yang ditaburkan ke seluruh badanku bisa kapan saja lumer berganti menjadi keringat busuk. Lalu parahnya kakimu bisa kapan saja patah bukan karena berebut bola yang dimasukkan ke gawang melainkan karena adu jotos. Menggunakan asumsinya Mami benar-benar melarangku.

Padahal laki-laki harus bisa main bola. Sepakbola merupakan olahraga dimana setiap orang saling percaya sekaligus bersenang-senang dan merebut kemenangan. Namun sebagian anak laki-laki di kelas tidak mempercayaiku sebab aku tak mahir bermain sepakbola. Mereka mengajakku, secara terpaksa setelah pak Guru penjaskes mengiming-ngiminginya dengan nilai menarik.

“Anak mami main engklek lagi,” sindir Antang. Bocah laki-laki gempal yang loyal karena dua kali pernah tinggal kelas. Ia paling tua baik dari usia maupun bentuk badan sehingga anak laki-laki di kelas patuh terhadapnya. Antang kapten sepakbola kelas, ia jago menggocek. Terakhir kali yang ia gocek ialah kepala Kipli, di suatu pagi saat merampok uang jajannya. Tak ada yang berani melawan Antang, khusus bagi anak laki-laki lebih baik menjadi sekutunya dari pada harus adu pukul melawannya. Kecuali Sitis, anak perempuan yang paling Antang benci. Sebab suatu hari Sitis pernah memergoki Antang sedang asik memainkan alat kelaminnya di kelas saat jam istirahat. Sejak itu Sitis selalu menatapnya jijik, lebih menjijikkan dari kotoran ayam di jalan. Tapi Antang tak bisa melawan, ia takut aibnya terbongkar. Terlebih-lebih jika pengikutnya tahu.

“Iya aku menemani si bule gosong,” kataku. Antang terpingkal-pingkal. Bukan karena ucapanku lucu melainkan ia senang orang yang paling dekat dengan Sitis menghinanya. Antang menghadiahiku dengan pujian. Aku mengatakannya spontan sebab semua paham kalau Sitis memiliki rambut emas kusam serta kulit agak legam karena sering terbakar sinar Matahari. Namun Alih-alih Sitis marah, ia tetap cengengesan seperti biasa. Tiba-tiba aku merasa tidak lega, tak pernah terlintas dalam benakku bahwa aku akan berhenti menjadi manusia.

Dari detik itu setiap Antang muncul aku selalu menghina Sitis menggunakan sindiran maupun kata-kata kasar yang sering kudengar dari Papi saat menghajar Mami. Setelahnya Antang akan terpingkal, tidak hanya ia tapi juga para pengikutnya. Lambat laun semua anak laki-laki di kelas pun ikut-ikutan menghina Sitis. Aku sendiri yang memulainya. Terdapat rasa senang yang ganjil seolah-olah hinaan yang mereka lontarkan terhadap Sitis membuatku semakin nampak terlihat. Seperti penyerang di permainan sepak bola, aku menjadi bagian dari mereka.

Sementara Sitis tetap cengengesan. Ia tak pernah membalasku. Hingga di Sabtu pagi Antang mengujiku agar membuat Sitis menangis. Jika berhasil ia akan menawariku posisi penyerang. Aku setuju, menjadi penyerang menjadikanmu dihormati. Kemudian pas jam kosong aku memulainya lagi. Namun kali ini berbeda, Sitis nampak lebih tenang dari biasanya. Satu dua tiga kali hinaan ku lontarkan ia tak bergeming. Di sisi lain para pengikut Antang sudah ribut-ribut di belakang.

Dari kericuhan tersebut samar-samar kudengar suara Antang menggema: lebih kencang, kencang! Aku semakin bersemangat oleh dorongan gelap, muncul hasrat menakutkan dari aliran darahku. Tinggi serta mendidih, melaju kencang sampai ke kepalan tangan. Lalu dalam sekejap mataku buram. Aku tak bisa melihat apa-apa. Sepintas hanya bisa kuterawang bayangan seorang anak laki-laki buruk rupa sedang mencetak gol ke gawang lawan. Sudut bibirku terangkat, aku tersenyum hingga terbahak-bahak mirip orang gila. Setelah bayangan itu pudar aku melihat sosok Sitis sedang terkapar di lantai. Ia meringis kesakitan sembari memegangi bagian perutnya.

Ia begitu anggun dan cantik bagaikan seekor Katak. Matanya telah padam, genangan air meluncur dari sana. Sitis menatapku, terakhir kalinya sebab di hari Senin ia tak pernah datang lagi.


Tentang Penulis

Vieki, lahir di kota marmer Tulungagung bertahun-tahun lalu, adalah seorang penikmat jus buah yang setia. Ia bukan penggemar kopi, melainkan lebih memilih segarnya jus buah. Sebagai seorang fiksionis sastra, Vieki memiliki obsesi dalam membentuk karakter yang unik dan nyeleneh di dalam karyanya.

Waktu luangnya dihabiskan dengan mengisi halaman-halaman kosong dengan corat-coret puisi yang penuh makna. Beberapa karya puisinya bisa ditemui di akun Instagram-nya @viekimulyo. Dengan kreativitas dan ketertarikannya pada dunia sastra, Vieki adalah sosok yang selalu menginspirasi melalui tulisannya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Postingan Terpopuler

BatakPos TV

Kominfo Padang Sidempuan

Kominfo Padang Sidempuan