Jakarta-BP: Salah satu pasal yang digunakan polisi untuk menersangkakan Ferdinand Hutahaean adalah pasal yang mengatur soal kebohongan yang bikin onar. Cuitan Ferdinand soal ‘Allahmu lemah’ dinilai polisi sebagai berita bohong. Lantas, bagaimana cara membuktikan bahwa ‘Allahmu lemah’ adalah suatu kebohongan?
Bila Allah tidak lemah, maka cuitan Ferdinand adalah bohong. Selama ini, perkara soal Tuhan adalah perkara keimanan, tinggal urusan percaya saja bahwa Allah adalah Maha Perkasa, tidak perlu pembuktian hukum. Tapi dalam kasus Ferdinand, ‘Allahmu lemah’ dinilai bohong dan Ferdinand terancam dihukum penjara sedasawarsa. Sebenarnya, Ferdinand disangka dua pasal ini:
UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana
Pasal 14
(1) Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setingi-tingginya sepuluh tahun.
(2) Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun
UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
Pasal 28
(2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Pasal 45A
(2) Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
Pasal 14 ayat (1) UU tentang Peraturan Hukum Pidana yang dikenakan ke Ferdinand punya ancaman hukuman lebih berat, yakni 10 tahun penjara. Namun yang jadi masalah, bagaimana cara penegak hukum membuktikan bahwa ‘Allahmu lemah’ adalah pemberitahuan bohong? Mari simak dulu cuitan asli Ferdinand Hutahaean yang bermasalah itu:
“Kasihan sekali Allahmu ternyata lemah, harus dibela. Kalau aku sih Allahku luar biasa, maha segalanya, Dialah pembelaku selalu dan Allahku tak perlu dibela,” cuit Ferdinand pada 4 Januari 2022.
Soal pembuktian hukum
Untuk membuktikan bahwa cuitan tersebut adalah bohong, maka penegak hukum perlu membuktikan bahwa ‘Allahmu ternyata kuat’ atau semacamnya yang berkebalikan dengan cuitan Ferdinand. Tentu saja membuktikan ini bisa menjadi pekerjaan yang absurd karena selama ini masalah ketuhanan berada dalam ranah keimanan, bukan pembuktian positivistik. Sebagaimana diketahui, pembuktian keberadaan Tuhan bahkan sudah menjadi pembahasan klasik tak berujung. Bagaimana pandangan ahli hukum?
Dosen hukum pidana dari Universitas Binus, Vidya Prahassacitta, mencoba menelaah problem ‘pembuktian hukum soal Tuhan’ yang muncul dari perkara Ferdinand Hutahaean itu. Terlebih dahulu, dia membedakan pemahaman mengenai ‘pemberitahuan bohong’ dan ‘hoax’. Untuk kasus Ferdinand, karena pasal yang digunakan untuk menersangkakan dia adalah Pasal 14 UU Peraturan Hukum Pidana, maka istilah yang digunakan adalah ‘pemberitahuan bohong’.
“Berita/pemberitahuan/kabar bohong harus menimbulkan bahaya / kerugian yang jelas dan nyata di dalam masyarakat (keonaran). Hoax merupakan konten yang mengandung hal-hal yang tidak benar tetapi belum tentu menimbulkan bahaya tau kerugian yang menggangu ketertiban umum,” tutur Vidya Prahassacitta kepada detikcom, Rabu (12/1/2022).
Nabi dan rasul dipercaya bisa berbicara kepada Allah. Namun, tentu orang-orang di ruang sidang tidak punya kemampuan seperti para nabi dan rasul untuk berbicara ke Allah untuk mendapatkan klarifikasi langsung dari Allah apakah cuitan Ferdinand sesuai fakta atau tidak. Masalah ini bisa sangat musykil.
“Dalam berita/pemberitahuan/kabar bohong memang harus dibuktikan apakah pernyataan tersebut sesuai fakta atau tidak dan apakah dapat membuat misleading (salah paham) bagi orang yang menerima pesan tersebut,” kata Vidya.
Vidya Prahassacitta, Dosen Hukum Pidana, Jurusan Business Law Fakultas Humaniora, Universitas Binus (Dok Vidya P)
Dalam Pasal 14 ayat 1 dan 2 UU Hukum Pidana yang disangkakan ke Ferdinand, ada dua unsur yang termuat yakni unsur ‘bohong’ dan unsur ‘keonaran’. Menurut Vidya, dua unsur itu harus sama-sama dibuktikan. Penegak hukum tidak bisa hanya memilih salah satu saja, misalnya memilih unsur ‘bohong’ saja atau unsur ‘keonaran’ saja, karena dua unsur itu ada dalam satu pasal dan ayat secara bersama-sama.
“Pada prinsipnya, semua unsur pasal harus dibuktikan. ‘Bohong’ itu harus dibuktikan dalam ukuran yang objektif dalam ukuran masyarakat banyak,” kata Vidya.
Dia memperkirakan, pembuktian soal kebohongan ‘Allahmu lemah’ akan dilakukan via penafsiran. Model pembuktian seperti itu bakal seperti debat akademik mengenai interpretasi terhadap Allah/Tuhan.
“Pembuktian kebenaran suatu berita sangat-sangat tergantung dari kebenaran dari pihak siapa yang akan dikedepankan. Karena, setiap kelompok memiliki pandangan yang benar tentang apa yang dianggap sebagai kebenaran. Tentu kalau masyarakat muslim di Indonesia akan sulit menerima pandangan bahwa Allah lemah karena dalam pandangan Allah Maha Besar,” kata Vidya.
Bisa jadi, pembuktian kebenaran via opini masyarakat adalah opini dengan nilai kebenaran yang tidak bersifat absolut. Dalam Pasal 184 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dijelaskan bahwa hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Namun menurut Vidya, pembuktian yang juga perlu dilakukan adalah pembuktian apakah Ferdinand membuat pernyataan yang menyebabkan keonaran atau tidak, apakah ada dampaknya atau tidak.
“Yang harus diperhatikan hakim adalah apakah pernyataan dari Ferdinand tersebut menimbulkan bahaya/kerugian yang jelas dan nyata, dalam hal ini bukan sekedar pro-kontra saja. Bahaya tersebut harus mengarah pada perbuatan orang lain yang melawan hukum seperti terjadi penyerangan,” kata Vidya.
Vidya berpendapat, pernyataan Ferdinand lewat Twitter itu bukanlah berita/pemberitahuan bohong seperti yang disebut di Pasal 14 UU Peraturan Hukum Pidana. Cuitan itu lebih tepat dikatakan sebagai pendapat pribadi Ferdinand tentang Allah.
“Akan tetetapi memang pernyataan tersebut kurang pasa dalam ukuran masyarakat Indonesia,” kata Vidya.
Pakar hukum dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, memandang proses hukum kasus Ferdinand Hutahaean ini masih berjalan. Soal bagaimana membuktikan apakah cuitan Ferdinand soal ‘Allahmu lemah’ bohong atau tidak, itu patut disimak terlebih dahulu.
“Ya kita belum tahu arahnya polisi, apakah penyebaran berita bohong atau padahal soal yang lain. Kita lihat perkembangannya,” kata Abdul Fickar Hadjar, dimintai pandangan oleh detikcom secara terpisah.
Abdul Fickar Hadjar (Ari Saputra/detikcom)
Kata polisi
Sebelumnya, polisi menilai cuitan Ferdinand Hutahaean soal ‘Allahmu lemah’ adalah berita bohong, dan begitulah menurut pasal yang disangkakan ke Ferdinand. Meski begitu, proses hukum masih berjalan.
“Jadi cuitan itu harus lengkap ya. Apa yang dikatakan oleh saudara FH (Ferdinand Hutahaean) dalam cuitan dengan menggunakan akunnya sendiri itulah alat buktinya. Jadi teman-teman baca sendiri, dengar sendiri, itulah berita bohongnya,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Ahmad Ramadhan, saat ditemui di kantornya, Jakarta Selatan, Selasa (11/1/2022).
Soal pembuktian mengenai ketuhanan, polisi menjelaskan bahwa hal itu bisa dikroscek ke pendapat masyarakat. Apabila masyarakat berpendapat bahwa cuitan Ferdinand salah, maka Ferdinand bersalah.
“Kalau ada yang mengatakan (cuitan Ferdinand) itu benar, berarti itu tidak bohong. Kalau orang mengatakan itu tidak benar, itu adalah berita bohong,” tutur Brigjen Ahmad Ramadhan.(DTK)
Komentar