Jakarta, harianbatakpos.com – Pemerintah bersama Badan Pusat Statistik (BPS) sedang menyusun ulang metode penghitungan garis kemiskinan nasional setelah munculnya kritik dari sejumlah ekonom dan penyesuaian standar internasional dari Bank Dunia. Langkah ini dinilai mendesak karena metode lama yang digunakan sejak 1976 dianggap tidak lagi relevan menggambarkan kondisi ekonomi rakyat saat ini.
Revisi indikator kemiskinan Indonesia ini muncul setelah Bank Dunia memperbarui standar garis kemiskinan global dari PPP 2017 menjadi PPP 2021. Akibatnya, angka penduduk miskin Indonesia melonjak dari 60,3 persen menjadi 68,25 persen. Sementara itu, versi BPS per September 2024 hanya mencatat angka 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menilai indikator kemiskinan milik BPS sudah usang. Ia memperingatkan bahwa jika data ini tidak segera diperbarui, maka jumlah warga miskin bisa tidak tercatat secara akurat. “BPS harus menggandeng akademisi independen dan lembaga internasional untuk melakukan revisi. Kalau tidak, data kemiskinan bisa salah sasaran dan bansos jadi tidak tepat,” ujarnya dikutip dari Kompas.com, Rabu (11/6/2025).
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, turut mengkritisi bahwa garis kemiskinan BPS terlalu rendah. “Dengan standar rendah, pemerintah terlihat seolah berhasil menurunkan kemiskinan padahal belum tentu sesuai kenyataan,” katanya. Ia menyebutkan, hal ini berbahaya karena menciptakan rasa puas diri dan membuat pemerintah tidak sepenuhnya serius dalam memberantas kemiskinan.
Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Arief Anshory Yusuf, mengonfirmasi bahwa pemerintah dan BPS sedang memfinalisasi metodologi penghitungan yang baru. “Harapannya, kita segera memiliki acuan yang mencerminkan realitas. Indikator lama bisa menyesatkan kebijakan publik dan menciptakan ilusi kemajuan,” jelas Arief.
Meski proses revisi masih berjalan, pemerintah tetap menggunakan standar lama dalam penyaluran bantuan sosial (bansos). Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyatakan bahwa pemerintah masih merujuk pada standar BPS. “Kita ikut standar BPS,” katanya di Jakarta.
Namun begitu, sejumlah ekonom menuntut agar data baru segera disahkan agar penyaluran bansos tepat sasaran dan benar-benar menyentuh masyarakat miskin yang membutuhkan. Penyempurnaan indikator garis kemiskinan ini dinilai penting demi keadilan dan efektivitas kebijakan penanggulangan kemiskinan nasional.
Ikuti saluran harianbatakpos.com di WhatsApp: https://whatsapp.com/channel/0029VbAbrS01dAwCFrhIIz05
Komentar