Manusia itu menarik sebab Tuhan menciptakannya secara beragam dengan keunikannya masing-masing. Ketika lahir dan dibawa ke panggung besar ini manusia tak dapat memilih ingin menjadi seperti apa atau ditempatkan dimana. Namun setiap manusia dibekali oleh nasib serta pemikiran. Nasib untuk menjalani hidup dan pemikiran untuk bertahan hidup. Nasib merupakan kertas undian yang diberikan oleh Tuhan sehingga terdapat beberapa hal yang tak dapat diubah. Sementara pemikiran suatu hal yang dapat kita tempa.
Semakin banyak manusia menyerap sesuatu baik itu ilmu atau pengalaman maka semakin tangguh pula pemikirannya. Demikian pula pemikiran tentang diri sendiri. Menurut saya menerima diri sendiri sekaligus mencintainya adalah bagian dari perjalanan pendewasaaan diri. Tentunya terdapat proses panjang untuk berjalan menuju ke sana. Sehingga pemikiran dituntut bekerja keras agar cara pandang kita berubah.
Banyak pula jalan terjal yang harus dilalui seorang manusia/individu dalam mencintai dirinya. Apalagi di era sekarang dimana akses memperoleh informasi jauh lebih gampang. Media sosial digunakan sebagai wadah untuk menentukan standar. Adakalanya sering kali kita merasa iri dengan kelebihan serta pencapaian orang lain yang ditampilkan di media sosial. Seolah-olah kebahagiaan selalu tampak dari mata orang lain. Hal demikianlah yang mendorong kita menjadi abu-abu. Terlalu gusar melihat keberhasilan orang lain menciptakan kurangnya rasa percaya diri. Lalu benih-benih untuk mengerdilkan diri sendiri mucul sehingga timbul prasangka kalau kita bukanlah apa-apa (hanya sebatas remahan di toples biskuit) sebab mengira orang lain sudah mampu mencapai keberhasilan serta mendapatkan apa yang mereka inginkan sedangkan diri sendiri belum mampu.
Jika kita menganggap kehidupan merupakan sebuah perlombaan yang wajib dimenangkan maka diri sendiri juga harus sadar tentang segala resikonya. Memang baik memiliki motivasi untuk melampaui orang lain namun akan menjadi bumerang jika terlalu berambisi kemudian terjebak ke dalamnya. Mengejar terus tanpa henti sampai tiba-tiba lupa dengan apa yang sebenarnya kita inginkan (Hal yang benar-benar membuat seorang individu itu senang serta nyaman). Setelahnya ketika keinginan tidak dapat diwujudkan bisa saja seorang individu berlarut-larut dalam kesedihan. Lalu merasa dirinya tak berguna dan pada akhirnya berujung membenci dirinya sendiri. Tuhan menciptakan manusia dengan jalan serta keunikannya masing-masing sebagaimana kita juga perlu memahami keunikan itu dalam diri kita sendiri. Seandainya manusia dapat mengenal dirinya sendiri maka dunia akan menjadi tempat yang lebih menarik. Oleh karena setiap orang akan fokus dengan potensi yang dimilikinya (tidak mengacu ke standar orang lain) sehingga lahir keberagaman tanpa memandang satu macam hal sebagai standar atau tolak ukur keberhasilan.
Pengharapan yang berlebihan dari orang-orang di sekitar juga dapat menjadi sumber pemicu seorang individu mengurangi rasa cinta terhadap dirinya sendiri, apalagi jika tidak mampu memenuhinya. Perasaan hampa serta kosong kapan saja bisa menghampiri. Hidup dengan banyak pembanding memanglah tidak enak. Terlebih-lebih jika orang-orang di sekitar bahkan yang kita cintai ialah pelakunya. Mereka menjadi pembanding antara kita dengan orang lain secara terang-terangan maupun tidak. Jika hal demikian sering terjadi maka lambat laun timbul rasa muak entah untuk diri sendiri dan orang sekitar. Kemudian seakan kita melihat banyak pengkhianat, yang menyisihkan kita dari panggung ini. Sehingga akhirnya kita yang merasa tak berguna memilih cara untuk menghilang. Pergi meninggalkan kepungan sosial yang menurut kita menjerat. Hilangnya kita dari kehidupan sosial malah akan mempercepat rasa frustasi. Keberadaan kita seperti tak berarti apa-apa mirip rumput ilalang. Tentunya bagi orang lain dan lebih menakutkannya bagi diri sendiri. Tiap hari kita akan dihadapkan oleh kehidupan yang monoton, begini-gini saja dengan ditemani oleh kesunyian.
Cita-cita merupakan kepingan dari tujuan manusia hidup. Sehingga mereka rela mati-matian berjuang mewujudkannya. Ada keberhasilan tapi tak sedikit pula yang mendapatkan kegagalan. Kegagalan dalam meraih cita-cita melahirkan keterpurukan. Kadang kala ramai di pikiran apakah kurangnya usaha dari diri sendiri dibanding orang lain sehingga kita gagal untuk mencapainya. Dengan diselimuti rasa kecewa, kita menduga serta bertanya-tanya. Jika tetap saja menelan kepahitan meskipun sudah mencoba, berkorban bahkan susah payah berusaha maka kebencian terhadap kondisi serta diri sendiri juga semakin kuat. Oleh karenanya sebagian orang merasa berhak membenci dirinya sendiri. Akibat luka serta kecewa.
Sejatinya mencintai diri sendiri bukan pasrah begitu saja menerima segala sesuatu yang sudah ada diberikan ke dalam diri. Melainkan mencintai diri sendiri ialah upaya untuk mengenal diri sendiri secara lebih jauh, luas serta mendalam. Sehingga jika seorang individu berikhtiar mengenal dirinya maka seiring berjalannya waktu ia akan sampai di titik mengetahui kelemahan maupun kelebihan di dalam dirinya.
Kemudian secara lapang dada menerima kelemahan itu sebagai bahan wawas diri dan mengatasinya menggunakan kelebihan yang dimilikinya. Memang jalannya tidaklah mudah serta panjang. Mencintai diri sendiri ibarat terjun ke medan perang. Mengutip kata-kata Buya Hamka: “Cinta itu perang, yakni perang yang hebat dalam rohani manusia. Jika ia menang akan didapati orang yang tulus ikhlas, luas pikiran, sabar dan tenang hati. Jika ia kalah, akan didapati orang yang putus asa, sesat, lemah hati, kecil perasaan dan bahkan kadang-kadang hilang kepercayaan pada diri sendiri.”
Maka dari itu penting untuk dapat melaluinya. Meskipun pada kenyataannya proses menerima diri sendiri seperti berjalan di ujung tebing yang curam, teramat susah serta meresahkan. Namun selalu kuatkanlah diri agar terus bertahan. Jangan sekali-kali meremehkan atau berburuk sangka terhadap diri sendiri. Usahakan setiap kali bersabar dengan segala hal yang tidak diinginkan dan sabar menahan diri meraih hal yang diinginkan. Setiap orang pasti memiliki kelebihan, sekecil apapun walaupun potensi dalam diri itu tidak berguna bagi sebagian orang banyak. Jangan lunturkan semangat, tetaplah pupuk dan gali. Gunakan potensi itu sebagai senjata untuk membangkitkan api semangat dalam menjalani hidup. Ketika seorang gigih berjuang tanpa batasan, suatu saat pasti akan ada yang melihatnya.
Cintai dirimu seperti kau tengah belajar menerima segala hal yang diberikan oleh kehidupan. Meskipun sulit rasanya seakan-akan darah kita mengering. Tetaplah tegak berjalan sampai menemukan kunci kebahagian dalam hati yang mampu bersyukur.
Vieki, lahir di kota marmer Tulungagung bertahun-tahun lalu, adalah seorang penikmat jus buah yang setia. Ia bukan penggemar kopi, melainkan lebih memilih segarnya jus buah. Sebagai seorang fiksionis sastra, Vieki memiliki obsesi dalam membentuk karakter yang unik dan nyeleneh di dalam karyanya.
Waktu luangnya dihabiskan dengan mengisi halaman-halaman kosong dengan corat-coret puisi yang penuh makna. Beberapa karya puisinya bisa ditemui di akun Instagram-nya @viekimulyo. Dengan kreativitas dan ketertarikannya pada dunia sastra, Vieki adalah sosok yang selalu menginspirasi melalui tulisannya.
Komentar