Jakarta, HarianBatakpos.com – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meyakini bahwa deflasi yang telah terjadi selama lima bulan berturut-turut bukanlah sinyal negatif bagi perekonomian Indonesia. Deflasi ini, yang disebabkan oleh komponen harga bergejolak (volatile food), terutama berkaitan dengan komoditas pangan, menciptakan kondisi stabil atau bahkan penurunan harga bahan makanan di pasar.
“Deflasi lima bulan terakhir ini terutama disebabkan oleh penurunan harga pangan. Ini adalah perkembangan positif bagi daya beli masyarakat,” ujar Sri Mulyani di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, pada hari Jumat. Menurutnya, belanja masyarakat, terutama dari kelompok menengah bawah, didominasi oleh pengeluaran untuk makanan. Artinya, penurunan harga pangan di pasar dapat membantu masyarakat mendapatkan bahan makanan dengan lebih murah.
Sri Mulyani menambahkan, “Jadi, deflasi yang telah berlangsung selama lima bulan ini, yang berasal dari harga bergejolak, adalah hal yang kita harapkan dapat menciptakan stabilitas harga makanan yang lebih rendah. Ini sangat bermanfaat bagi konsumen Indonesia, khususnya bagi mereka yang berpendapatan menengah ke bawah, yang sebagian besar belanjanya untuk kebutuhan pangan.”
Di sisi lain, inflasi inti masih bertahan di atas 2 persen, yaitu sebesar 2,09 persen (year-on-year/yoy) pada bulan September, sedikit meningkat dari Agustus yang tercatat sebesar 2,02 persen. Catatan ini menunjukkan bahwa permintaan masih cukup tinggi di pasar.
Dari indikator tersebut, Sri Mulyani merasa optimis bahwa kebijakan fiskal pemerintah mengarah pada sasaran yang tepat. Salah satu peran penting Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah menyalurkan bantuan sosial (bansos) untuk mendukung perekonomian masyarakat, termasuk pemberian beras, telur, dan daging ayam, yang utamanya disalurkan kepada kelompok miskin dan rentan.
“Jadi, kami melihat kondisi ini sebagai hal yang positif. Terutama dari sisi fiskal, di mana APBN digunakan untuk menstabilkan harga pangan,” lanjutnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa perekonomian Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,12 persen (month-to-month/mtm) pada bulan September 2024. Tren deflasi ini telah berlangsung sejak Mei 2024, dengan rincian deflasi sebesar 0,03 persen pada Mei, 0,08 persen pada Juni, 0,18 persen pada Juli, dan 0,03 persen pada Agustus.
Adapun inflasi tahunan tercatat sebesar 1,84 persen (year-on-year/yoy), sementara inflasi tahun kalender mencapai 0,74 persen (year-to-date/ytd).
Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menyatakan bahwa angka deflasi yang diperoleh BPS mengacu pada Indeks Harga Konsumen (IHK), di mana faktor yang memengaruhi adalah biaya produksi hingga kondisi suplai. Dia menegaskan bahwa BPS tidak mengaitkan data deflasi dengan dugaan penurunan daya beli masyarakat.
“Kesimpulan mengenai apakah ini menunjukkan indikasi penurunan daya beli masyarakat memerlukan studi lebih lanjut. Daya beli tidak bisa hanya dinilai dari angka inflasi atau deflasi,” katanya.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan bahwa perekonomian nasional secara keseluruhan tetap bergerak dengan baik meskipun tren deflasi telah berlangsung selama lima bulan berturut-turut. Ia merujuk pada beberapa indikator ekonomi yang menunjukkan peningkatan, seperti Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dan cadangan devisa. Rupiah pun berhasil ditekan kembali ke level di bawah Rp16 ribu.
Menurut Airlangga, indikator-indikator tersebut menunjukkan bahwa perekonomian nasional masih berjalan dengan baik.
Komentar