HarianBatakpos.com – Di sebuah desa yang terletak di lereng bukit yang hijau, hiduplah seorang anak bernama Awan. Namanya sesuai dengan sifatnya yang lembut dan ringan, seperti awan putih yang melayang-layang di langit biru. Awan adalah anak yang ceria dan penuh kasih, selalu siap membantu teman-temannya tanpa pamrih. Namun, di balik senyumnya yang hangat, tersembunyi luka-luka yang dalam.
Sejak awal, Awan sering menjadi sasaran perundungan di sekolahnya. Teman-teman sebayanya sering menyindirnya karena sikapnya yang terlalu baik dan sikapnya yang pendiam. Mereka mengejek Awan dengan panggilan-panggilan yang menyakitkan, mempermalukan setiap kesalahan kecil yang dilakukannya, dan membuatnya merasa seperti ia tidak layak diterima di antara mereka.
Namun, meskipun sering dihina dan disakiti, Awan tetap mencoba untuk tetap bersikap baik kepada semua orang. Ia percaya bahwa dengan kebaikan, ia bisa mengubah sikap orang-orang terhadapnya. Namun, semakin ia mencoba, semakin intens perundungan itu terjadi. Setiap hari, ia harus menghadapi ejekan dan cemoohan yang membuatnya merasa semakin terisolasi.
Tidak hanya di sekolah, perundungan juga terjadi di luar lingkungan belajarnya. Di jalanan desa, anak-anak lain sering mengejek Awan, membuang-buang mainan ke arahnya, atau bahkan menendangnya tanpa alasan yang jelas. Awan merasa seperti ia tidak memiliki tempat di dunia ini, seperti ia hanyalah sepotong debu yang diinjak-injak oleh orang lain.
Meskipun begitu, Awan terus mencari kekuatan dalam dirinya. Ia menemukan kenyamanan dalam alam, berbicara dengan pepohonan dan mendengarkan cerita angin yang lembut. Di sana, ia merasa diterima dan dicintai tanpa syarat. Awan belajar bahwa kebaikan dan kelemah-lembutan adalah kekuatan yang sejati, bahkan di tengah badai perundungan yang melanda hidupnya.
Suatu hari, ketika Awan sedang duduk di bawah pohon tua kesayangannya, ia bertemu dengan seorang kakek bijak yang sedang melewati hutan. Kakek itu memiliki mata yang penuh dengan kebijaksanaan dan kebaikan yang mendalam. Ia duduk di samping Awan dan mulai bercerita tentang arti sejati dari kekuatan.
“Anakku,” kata kakek itu dengan lembut, “kekuatan sejati bukanlah tentang kekerasan atau keangkuhan. Kekuatan sejati adalah ketika kita bisa tetap bersikap baik dan memaafkan, meskipun dunia berusaha untuk menjatuhkan kita. Kebaikanmu, Awan, adalah cahaya yang bisa menerangi gelapnya dunia ini.”
Kata-kata kakek itu menggema dalam hati Awan. Ia menyadari bahwa ia tidak sendirian dalam perjuangannya. Ada orang-orang yang mencintainya, bahkan di tengah badai perundungan yang melanda. Dengan penuh keberanian dan tekad yang baru, Awan pun kembali ke sekolahnya dengan hati yang penuh harapan.
Saat itu, sikap Awan mulai berubah. Meskipun masih dihadapkan pada ejekan dan cemoohan, ia tidak lagi merasa terpukul. Ia menghadapinya dengan kepala tegak dan senyuman di bibirnya. Ia mulai menunjukkan kepada teman-temannya bahwa kebaikan adalah kekuatan yang sejati, bukanlah tanda kelemahan.
Perlahan tapi pasti, sikap teman-teman Awan pun berubah. Mereka mulai menghargai kebaikan dan ketulusannya. Mereka menyadari bahwa Awan adalah teman yang berharga, bukanlah sasaran untuk diperlakukan dengan kasar. Perundungan pun perlahan-lahan mereda, meninggalkan jejak yang dalam dalam hidup Awan.
Dengan bantuan kekuatan dari dalam dan dukungan dari orang-orang yang mencintainya, Awan berhasil mengatasi perundungan. Ia belajar bahwa kebaikan adalah senjata yang paling ampuh dalam menghadapi kekejaman dunia. Dan meskipun badai perundungan mungkin datang dan pergi, cahaya kebaikan akan selalu bersinar terang, menerangi jalan bagi mereka yang memilih untuk percaya.
Tentang Penulis
Rizka Annisa adalah seorang perempuan yang lahir di Kertak Hanyar pada tanggal 3 Agustus 2001. Ia tinggal di Jl. Manarap Tengah, Kecamatan Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Dengan keyakinan Islam sebagai landasannya, Rizka Annisa adalah sosok yang menginspirasi dengan nilai-nilai kebaikan dan ketulusannya.
Komentar