Ekonom senior dan mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia, Mari Elka Pangestu, memperingatkan tentang potensi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang masih berlanjut. Kekhawatiran ini dipicu oleh kepanikan pelaku pasar keuangan terhadap serangan rudal Iran ke Israel yang terjadi pada Sabtu lalu.
Dalam sebuah wawancara dengan CNBC Indonesia pada Rabu (17/4/2024), Mari menyatakan bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar AS telah mencapai kisaran atas Rp 16.000/US$. Data dari Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia menunjukkan titik tengah nilai tukar rupiah berada di posisi Rp 16.176/US$ pada hari sebelumnya, menjadi titik terlemah pertama sejak 2020 di level atas Rp 16.000/US$.
Mari mengungkapkan bahwa ketidakpastian dalam aktivitas ekonomi global masih tinggi, terutama akibat dari semakin intensnya konflik bersenjata di berbagai belahan dunia. Konflik di Ukraina-Rusia dan Israel-Palestina telah bertambah dengan konflik baru antara Iran dan Israel. Hal ini menyebabkan investor mencari aset yang dianggap aman, seperti dolar dan obligasi AS, yang pada gilirannya memperburuk pelemahan nilai tukar rupiah.
Arus modal asing yang keluar juga menjadi faktor utama dalam melemahkan nilai tukar rupiah, dan tidak hanya Indonesia yang terkena dampaknya, tetapi juga negara-negara emerging markets lainnya. Mari memperkirakan bahwa potensi tingginya inflasi global ke depan, akibat terganggunya aktivitas perdagangan dan kenaikan harga komoditas sebagai dampak dari perang di Timur Tengah, akan memperparah situasi ini.
Selain itu, ketegangan geopolitik di Timur Tengah, khususnya di Selat Hormuz yang merupakan salah satu jalur perdagangan internasional utama, mengganggu aktivitas perdagangan global. Dampaknya, inflasi global berpotensi tetap tinggi, yang pada gilirannya mempengaruhi kebijakan suku bunga untuk meredam tekanan inflasi.
Mari juga menyatakan bahwa ketegangan di kawasan tersebut dapat mengganggu potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan, dengan ekspor dan investasi sebagai faktor pendorong pertumbuhan yang kemungkinan sulit untuk berkembang akibat ketidakpastian ekonomi yang dihasilkan dari konflik.
Dia menyarankan agar pemerintah fokus pada menjaga daya beli masyarakat di tengah situasi ini, dengan memastikan bahwa harga-harga barang kebutuhan pokok seperti beras dan pangan lain tetap terjaga agar tidak naik secara signifikan. Mari juga menekankan perlunya antisipasi terhadap gangguan potensial terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka menengah.
Dengan demikian, Mari mengindikasikan bahwa faktor pendorong pertumbuhan ekonomi ke depan harus bergantung pada konsumsi masyarakat, sementara kebijakan suku bunga acuan BI dan ruang fiskal yang terbatas dapat membatasi kemampuan pemerintah dalam memberikan stimulus perekonomian.
Komentar