Jakarta-BP: Mahkamah Agung (MA) kembali menolak peninjauan kembali (PK) yang diajukan mantan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam. PK ini adalah PK kedua dalam kasus suap izin pertambangan dengan kerugian negara mencapai Rp 4,3 triliun.
“Tolak,” demikian bunyi putusan PK yang dilansir website MA, Kamis (23/12/2021).
Duduk sebagai ketua majelis Andi Samsan Nganro dengan anggota Sofyan Sitompul dan Ansori. Adapun sebagai panitera pengganti Marui Tumpal Sirait dan diputus pada Rabu (22/12) kemarin.
Eks Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam didampingi tim kuasa hukum membacakan berkas memori peninjauan kembali, di Pengadilan Tipikor, Jakarta. (Ari Saputra/detikcom)
Kasus bermula pada Oktober 2016. Nur Alam dijadikan tersangka terkait suap dan gratifikasi sejumlah perizinan tambang. Ia lalu menggugat KPK melalui praperadilan terkait penetapannya sebagai tersangka. Hasilnya, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak gugatan itu.
Pada 5 Juli 2017, KPK menahan Nur Alam. Singkat cerita, Nur Alam dihukum 12 tahun penjara oleh PN Jakpus. Di Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta, hukuman dinaikkan menjadi 15 tahun penjara. Hak politik Nur Alam juga dicabut.
Tapi pada Desember 2018, hukuman Nur Alam disunat MA menjadi 12 tahun penjara. MA beralasan Nur Alam hanya terbukti melanggar Pasal 12B UU Tipikor soal gratifikasi. Adapun Pasal 3 UU Tipikor tentang memperkaya diri tidak terbukti.
Tidak tinggal diam, Nur Alam kemudian mengajukan PK, tapi kandas.
“Bahwa berdasarkan keterangan para saksi, keterangan ahli, dan keterangan Terdakwa dihubungkan dengan barang-barang bukti yang satu sama lain saling mendukung, diperoleh fakta Pemohon yang menjabat Gubernur Sulawesi Tenggara telah menyalahgunakan wewenang dalam penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) eksplorasi dan persetujuan peningkatan izin usaha pertambangan eksplorasi menjadi izin usaha pertambangan operasi produksi kepada PT Anugrah Harisma Barakah (PT AHB) hingga terbitnya kontrak karya yang menghasilkan tambang mineral,” demikian pertimbangan majelis PK yang diketuai Suhadi.
“Atas penyalahgunaan wewenang Pemohon, negara telah dirugikan ±Rp4.325.130.590.137,” sambung majelis PK yang beranggotakan M Askin dan Eddy Army.
Majelis PK juga menyatakan perbuatan Nur Alam memenuhi unsur-unsur dakwaan kedua Pasal 12 B UU No 20 Tahun 2001 juncto UU Nomor 31 Tahun 1999.
“Yaitu Pemohon telah menerima uang dalam bentuk USD dari Richcorp International Ltd sejumlah USD 2.499.900 yang dikonversikan dalam bentuk rupiah sejumlah Rp 22.329.106.800,” ujar majelis.
Dalam putusan itu, hakim agung M Askin memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion), yaitu menurutnya hubungan Nur Alam dengan Richcorp Internasional Ltd adalah hubungan keperdataan. Nur Alam telah mengembalikan uang Rp 40 miliar kepada Richcorp Internasional Ltd. Oleh sebab itu, menurut M Askin, permohonan PK Nur Alam layak dikabulkan. Tapi suara M Askin kalah dengan Suhadi dan Eddy Army.(DTK)
Komentar