Peristiwa
Beranda » Berita » Film Vina Sebelum 7 Hari Menuai Kontroversi; Antara Etika, Hukum, dan Edukasi

Film Vina Sebelum 7 Hari Menuai Kontroversi; Antara Etika, Hukum, dan Edukasi

Harianbatakpos.com , JAKARTA – Film “Vina: Sebelum 7 Hari” telah menjadi perbincangan hangat dalam beberapa hari terakhir. Film ini didasarkan pada kisah nyata kasus pembunuhan Vina di Cirebon pada tahun 2016 dan menuai pro dan kontra di kalangan publik.

 

Beberapa pihak menuduh bahwa film yang dirilis pada tanggal 8 Mei 2024 ini mengeksploitasi tragedi yang menimpa Vina Dewi Arsita, yang mengalami pemerkosaan dan pembunuhan secara beramai-ramai.

Tangis Pemuda yang Akan Jalani Masa Pendidikan Polri, Sedih Tinggalkan Nenek Sendiri di Rumah

 

Penggambaran dalam film ini, yang disutradarai oleh Anggy Umbara dengan naskah yang ditulis oleh Bounty Umbara dan Dirmawan Hatta, dianggap tidak bermoral dan melanggar etika oleh para kritikus.

 

Namun, film ini berhasil lolos sensor dari Lembaga Sensor Film (LSF) dengan klasifikasi penonton D17, yang berarti untuk penonton berusia 17 tahun ke atas. Selain itu, dalam waktu sembilan hari sejak penayangannya, film ini telah sukses dengan jumlah penonton mencapai 3,5 juta orang) , seperti dilansir dari Cnnindonesia.com.

Gempa Dahsyat Rusia Picu Tsunami dan Kerusakan Bangunan di Kepulauan Kuril

 

Di sisi lain, bagi mereka yang mendukung film ini, “Vina: Sebelum 7 Hari” dianggap sebagai pesan pengingat bahwa kasus Vina belum selesai dan masih ada pelaku dan dalang di balik kejadian tersebut yang masih bebas.

 

Situasi yang dihadapi oleh film “Vina: Sebelum 7 Hari” sangat rumit dan kompleks, menurut Hikmat Darmawan, seorang pengamat perfilman dan budaya populer.

 

Hikmat berpendapat bahwa film “Vina: Sebelum 7 Hari” tidak melanggar hukum dan telah memenuhi persyaratan sensor dari LSF sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film dan Permendikbud Nomor 14 Tahun 2019.

 

Namun, Hikmat juga menyatakan bahwa tidak melanggar hukum belum tentu berarti tidak melanggar etika. Masalah etika ini menjadi rumit karena sifatnya yang subjektif. Dalam industri yang sehat, asosiasi profesi seharusnya menegakkan etika profesi tersebut.

 

Produser film ini, Dheeraj Kalwani alias K.K. Dheeraj, juga mengklaim bahwa mereka telah berkonsultasi dengan keluarga Vina sejak tahap produksi hingga penayangan film, termasuk mengenai konten yang terkandung dalam cerita.

 

Menurut Ketua LSF, Rommy Fibri Hardiyanto, film “Vina: Sebelum 7 Hari” dinyatakan lulus sensor karena penggambaran kekerasan tidak ditonjolkan secara gamblang dan dianggap sesuai dengan kriteria film untuk penonton berusia 17 tahun ke atas.

 

Namun, persoalan etika ini menjadi rumit karena bersifat subjektif. Terlebih lagi, pendekatan terhadap konten film ini menjadi masalah yang kompleks.

 

Hikmat berpendapat bahwa edukasi adalah solusi konkret yang dapat dilakukan. Peningkatan literasi dan sosialisasi mengenai budaya menonton film sesuai dengan klasifikasi usia menjadi penting. Situasi ini menjadi sumbu dari semua permasalahan, tetapi belum terselesaikan.

 

Hikmat juga menekankan bahwa tanggung jawab ada pada berbagai pihak, termasuk orang tua dan media, untuk mendidik masyarakat mengenai klasifikasi film dan budaya menonton yang sesuai. Pendidikan mengenai pemahaman terhadap film dan konten yang muncul dalam hiburan juga perlu ditingkatkan.

 

Namun, bukan berarti produser dan sutradara bebas dari tanggung jawab. Mereka perlu bertanggung jawab atas karya yang mereka sajikan kepada publik.

 

Mariana Amiruddin, Komisioner Komnas Perempuan, juga menyampaikan bahwa film yang didasarkan pada kisah nyata seharusnya memberikan pelajaran, empati, dan tanggung jawab terhadap korban. Sineas sebagai kreator film memiliki peran penting dalam menerjemahkan kisah nyata menjadi gagasan dan adegan dalam layar.

 

Selain itu, Mariana juga menekankan pentingnya keragaman film yang beredar di layar lebar. Keragaman produk film menjadi krusial untuk mencegah dominasi film yang kontroversial.

 

Hikmat juga meyakini bahwa dengan adanya pilihan film yang beragam, peluang dominasi film yang kontroversial akan semakin kecil. Keragaman minat masyarakat dalam menonton film perlu ditingkatkan, sehingga produser tidak hanya fokus pada satu jenis film yang kontroversial.

 

Dalam situasi ini, edukasi menjadi urgensi yang paling tepat untuk dilaksanakan, bukanlah memberikan kekuasaan lebih pada lembaga sensor untuk menentukan nasib penayangan sebuah film seperti pada masa lalu.

 

Dalam kesimpulannya, tanggung jawab pembuat film adalah hal yang penting. Mereka perlu terbuka terhadap kritik setelah film dirilis dan siap menerima koreksi terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam film mereka.

 

Dalam hal ini, edukasi dan tanggung jawab adalah kunci untuk mengatasi permasalahan yang muncul dalam film “Vina: Sebelum 7 Hari” dan film-film lainnya.

 

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *