Medan-BP: Dewan Pimpinan Pusat Barisan Indonesia Bersatu, Hadi Suwito S Sos menegaskan, pemicu polemik pemilu yang bakal terjadi ditengah-tengah publik adalah konsentrasi rakyat sendiri.
Asal muasal polemik muncul dari perilaku rakyatnya yakni Pimpinan Parpol itu sendiri, kata Suwito menegaskan bahwa terkait seleksi Pimpinan Parpol bersikukuh memajukan kadernya yang salah ke KPU.
“Sudah jelas salah, kader eks koruptor disetujui Pimpinan Partai maju jadi calon anggota Legislatif. Perilaku ini kan sudah tak benar”. Artinya mau dibawa kemana negara ini, kalau mantan narapidana duduk menjadi wakil rakyat, paparnya kesal.
Dengan tegas dikatakan, ex koruptor maju jadi anggota legislatif jelas tidak layak lantaran oknum itu sudah dipalu hukum bersalah akibat perilakunya melakukan tindak pidana korupsi, tegas Suwito.
“Untuk itu, KPU dan Bawaslu harus tegas melaksanakan sesuai peraturan dan UU yang berlaku. Hendaknya jangan mau di intervensi,” tegasnya.
Suwito berlogika, calon wakil rakyat itu harus bersih diri dari tindak pidana perkara hukum. Bersih diri itu dilihat dari tertib administrasi.
“Tentu saat caleg mendaftarkan diri, kan ada berkas yang diajukan ke KPU. Nah..salah satu berkas persyaratan itu ada terlampir surat berkelakuan baik dari kepolisian. Persyaratan itu, jelas Hadi mutlak dilampirkan sicalon,” katanya.
Sederhana saja, kata aktivis yang malang melintang ini menuturkan, “orang melamar kerja baik CPNS maupun swasta diutamakan berkelakuan baik yang diterbitkan kepolisian yakni surat keterangan catatan kepolisian ( SKCK) menunjukkan jati dirinya bersih”.
“Apalagi calon wakil rakyat, yang notabenenya panutan rakyat. Bagaimana rakyat meyakini eks koruptor kalau dia tidak berkelakuan baik. Atau eks koruptor,” tuturnya.
Ketua Bawaslu diminta hati-hati memutuskan aturan. Jangan salahkan rakyat menyerang lembaganya, imbuhnya. Karena itu kita sepakat dan sangat mendukung, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih. Menolak keras mantan narapidana kasus korupsi maju menjadi calon anggota legislatif (caleg) untuk pemilu 2019.
Berbicara peraturan dan UU, lanjut Hadi mengatakan, debat KPU dengan Bawaslu sah sah saja dilakukan. Sebab lembaga ini adalah penyelenggara pemilu. Selaku pelaksana Event Organisation (EO) pemilihan umum (pemilu) tentu berbeda pendapat menganulir berbagai peraturan dan UU.
Kedua lembaga penyelenggara Pemilu ini harus menjalankan sesuai aturan dan peraturan yang diajukan legislatif. Lembaga itu hanya menerima masukan dan menjalankan tugas pokok dan fungsi peraturan yang diamanahkan penguasa.
“Hanya saja ketika mengikuti peraturan, maka prosesnya memakan waktu panjang, sehingga dapat membingungkan rakyat. Mengikuti putusan Mahkamah Agung (MA) tentu proses yang memakan waktu lama. Mereka itu EO Pemilu tak ingin dikambing hitamkan jika salah melaksanakan peraturan. Makanya selalu berupaya menunggu putusan MA,” tandasnya.
Sejatinya, kata Hadi lagi, legislatif yang masih aktif berfikir cerdas. Begitu juga para Pimpinan Partai Politik (Parpol). Legowo lah, buka mata lebar- lebar. Mau dibawa kemana negeri ini jika memberikan kesempatan kepada calon yang sudah blakc list atau eks koruptor. Inilah kesimpulan agar Pemilu tidak berpolemik panjang, pungkasnya.
Belasan koruptor
Dikutip keterangan belasan bekas koruptor kini dinyatakan lolos seleksi caleg. Sementara Bawaslu berkeras pada sikap mereka, sedangkan KPU hanya dapat menunggu putusan Mahkamah Agung atas larangan bekas koruptor menjadi caleg.
“Sejak awal sikap kami jelas, sama seperti Komisi II DPR dan pemerintah, peraturan KPU harus sesuai ketentuan undang-undang,” kata Ketua Bawaslu, Abhan, di Jakarta, Selasa (04/09).
Seberapa banyak mantan koruptor akan mencalonkan diri pada Pemilu 2019?
DPRD Kota Malang: Ketika 41 dari 46 anggota terjerat korupsi dan ditahan KPK
Berbagai parpol ‘tetap nekad’ usung bakal caleg mantan napi kasus korupsi ke KPU
Larangan KPU untuk bekas pelaku korupsi tertuang pada PKPU 17/2018. Menurut Abhan, ketentuan itu melanggar hak politik warga negara yang diatur konstitusi.
Aturan KPU itu digugat beberapa pihak ke Mahkamah Agung (MA), termasuk dua politikus yang pernah dipenjara akibat korupsi dan suap: Mohammad Taufik dan Wa Ode Nurhayati.
Taufik yang diusung Partai Gerindra lolos seleksi caleg di KPUD DKI Jakarta, sementara Wa Ode urung dicalonkan oleh Partai Amanat Nasional (PAN), yang tadinya berniat memajukannya untuk menjadi caleg DPR.
“PAN tidak melanjutkan pencalonan saya karena aturan KPU dan pakta integritas dengan Bawaslu,” kata Wa Ode.
“Kalau gugatan saya dikabulkan MA, PAN wajib memasukkan nama saya dalam daftar caleg tetap tanggal 20 September nanti,” katanya.
Ketua Bawaslu, Abhan, menyatakan lembaganya tak setuju bekas koruptor dilarang menjadi caleg.
Sikap Bawaslu membingungkan Ketua KPU, Arief Budiman. Ia mengatakan pakta integritas Bawaslu merupakan salah satu syarat partai politik mengusung caleg dalam pemilu 2019.
Pakta integritas itu berisi anjuran Bawaslu agar partai mengajukan caleg yang bersih dari catatan pidana, terutama korupsi, narkotika, dan kekerasan seksual anak, tiga perbuatan terlarang bagi caleg 2019.
“KPU sudah membuat formulir yang wajib diisi partai dan bakal calon anggota legislatif, itu bagian dari syarat pencalonan. Fakta integritas juga ada di formulir itu,” kata Arief.
“Kalau tidak menjalankan fakta integritas, maka caleg partai itu akan dinyatakan tidak memenuhi syarat,” tambah Arief.
Meski Bawaslu menyebut mantan koruptor berhak menjadi caleg, KPU menolak memasukkan nama-nama itu ke daftar caleg sementara.
KPU menerbitkan surat edaran 991/2018.
Dalam surat itu, seluruh KPU di daerah diminta menunda pelaksanaan putusan bawaslu sampai MA mengeluarkan putusan atas judicial review larangan koruptor menjadi caleg.
ClickDesakan mencabut hak politik koruptor membesar, terutama setelah mayoritas anggota DPRD Kota Malang ditetapkan menjadi tersangka kasus suap, awal September ini. Perbedaan sikap Bawaslu dan KPU ini disebut dapat mengancam integritas pemilu 2019. Setiap lembaga yang memegang kewenangan dalam pemilu seharusnya berpegang pada aturan hukum yang sama.
“Jika penyelenggara dan pengawas berbeda keputusan, dampak yang akan terasa adalah tidak adanya kepastian hukum,” kata Lucius Karus, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia.
Menurut Lucius, Bawaslu dan KPU harus melakukan mediasi untuk menyamakan persepsi soal bekas koruptor menjadi caleg.
Ia mengatakan kesamaan pemahaman dua lembaga itu vital untuk memastikan kualitas dan integritas pemilu 2019.
Pemilihan anggota legislatif akan berlangsung serentak pada 17 April 2019, bersamaan dengan pemilihan presiden. Sementara itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto, meminta polemik Bawaslu dan KPU dihentikan. Ia meminta para pihak menunggu keputusan MA.
“Sudah ada kesepakatan bahwa semua pihak meminta MA mempercepat keputusan, apakah peraturan KPU itu harus ditolak atau dibenarkan,” ujar Wiranto.
Meski berpolemik, KPU yakin tahapan pemilu 2019 tetap akan berjalan sesuai agenda.
Pada 20 September mendatang, mereka dijadwalkan menetapkan daftar caleg tetap berisi nama-nama yang akan muncul dalam surat suara. Pada 23 September hingga 13 April 2019 para caleg yang lolos syarat dijadwalkan berkampanye. Pencoblosan dijadwalkan berlangsung pada 17 April 2019 yang berbarengan dengan pemungutan suara pemilihan presiden dan wakil presiden. (BP/MM)
Komentar