Harianbatakpos.com , JAKARTA – Insiden mengejutkan terjadi ketika seorang anggota Detasemen Khusus Antiteror (Densus 88) tertangkap saat memata-matai Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus)
Kejaksaan Agung RI, Febrie Adriansyah. Peristiwa ini terjadi di sebuah restoran Prancis di kawasan Cipete, Jakarta Selatan, pada Minggu malam, 19 Mei 2024, antara pukul 20.00 hingga 21.00 WIB.
Pada malam itu, Febrie Adriansyah sedang menikmati makan malam di ruangan VIP lantai dua restoran tersebut. Tak disangka, dua orang yang diduga anggota Densus 88 juga hadir di restoran yang sama.
Mereka datang dengan mengenakan pakaian kasual dan masker yang menutupi wajah mereka, mungkin untuk menyamarkan identitas. Keduanya memilih makan di lantai dua dengan alasan ingin merokok, padahal lantai tersebut juga ditempati oleh Febrie.
Ketegangan meningkat ketika salah satu dari mereka mulai merekam aktivitas Febrie secara diam-diam. Aksi ini tidak luput dari perhatian polisi militer yang mengawal Febrie.
Merasa curiga, polisi militer segera merangkul salah satu anggota Densus tersebut, sementara satu orang lainnya berhasil melarikan diri. Lebih mengejutkan lagi, ternyata ada anggota Densus lainnya yang memantau kegiatan Febrie dari luar restoran, dilansir dari Inilah.com.
Setelah insiden ini, Febrie Adriansyah segera melapor kepada Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri untuk meminta klarifikasi. Selain itu, Febrie juga berkomunikasi dengan Jaksa Agung ST Burhanuddin, yang kemudian menghubungkan dirinya dengan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Penangkapan anggota Densus 88 ini menimbulkan berbagai spekulasi dan pertanyaan tentang motif di balik aksi mata-mata tersebut. Beberapa pihak menduga bahwa ini merupakan bagian dari operasi internal yang tidak terkoordinasi dengan baik.
Hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi dari pihak Kepolisian maupun Kejaksaan terkait tujuan dan alasan spesifik mengapa anggota Densus 88 tersebut memantau Febrie Adriansyah.
Peristiwa ini juga mengungkapkan beberapa celah dalam koordinasi antar lembaga penegak hukum di Indonesia. Kejadian ini seharusnya bisa menjadi momentum bagi para pemangku kepentingan untuk memperkuat sinergi dan transparansi antar lembaga, demi menjaga integritas dan profesionalisme dalam penegakan hukum.
Masyarakat tentu berharap bahwa peristiwa ini dapat diselesaikan dengan baik dan tidak menimbulkan polemik berkepanjangan. Diharapkan pula agar ada penjelasan yang jelas dan transparan dari pihak terkait, baik dari Kepolisian maupun Kejaksaan, agar publik mendapatkan gambaran yang utuh mengenai insiden ini.
Selain itu, insiden ini juga menunjukkan pentingnya pengawasan internal yang ketat dalam tubuh lembaga penegak hukum. Pengawasan yang lemah dapat menyebabkan terjadinya tindakan yang tidak semestinya dan merugikan berbagai pihak. Dengan adanya kasus ini, diharapkan masing-masing lembaga dapat melakukan evaluasi dan perbaikan sistem pengawasan mereka.
Dalam konteks yang lebih luas, peristiwa ini menjadi pengingat bahwa integritas dan profesionalisme harus dijunjung tinggi oleh setiap aparat penegak hukum. Setiap tindakan yang diambil harus berdasarkan hukum dan etika yang berlaku, bukan karena kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Kesimpulannya, penangkapan anggota Densus 88 saat memata-matai Jampidsus Kejagung adalah insiden yang perlu ditangani dengan serius dan transparan.
Langkah-langkah perbaikan dan peningkatan koordinasi antar lembaga penegak hukum harus segera diambil agar kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang. Masyarakat menantikan hasil investigasi yang jelas dan tindakan tegas terhadap siapapun yang terbukti melanggar aturan dan etika penegakan hukum.
Komentar