HarianBatakpos.com – Kemajuan teknologi dan kehidupan masyarakat yang semakin kompleks menjadi dinamika yang tak terpecahkan akhir-akhir ini. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mengakibatkan terjadinya pergeseran nilai, baik yang bersifat positif maupun negatif. Masalah yang menjadi trending topik tak bisa dipungkiri bahwa dampak negatif dari iptek semakin terlihat jelas salah satunya adalah merosotnya nilai-nilai moralitas dan akhlak masyarakat. Kehidupan manusia diwarnai dengan gaya kehidupan yang serba modern, baik cara berpakaian , cara makan, cara berbicara, kebebasan belanja, pilihan hiburan, tata busana dan sebagainya. Fenomena inilah yang semakin meresahkan di masyarakat sehingga menimbulkan merebaknya penyakit di masyarakat antara lain, pencurian, minuman keras, narkoba, seks bebas dan ujaran kebencian atau lebih dikenal dengan istilah bullying.
Pembahasan tentang bullying tidak terbatas pada satu perspektif, melainkan melibatkan pandangan dari berbagai kalangan. Bully menjadi masalah yang sangat krusial yang terjadi akhir-akhir ini dan sangat menyita perhatian banyak orang, menyentuh hampir setiap orang, keluarga, sekolah, bisnis maupun masyarakat demikian pula usia, gender, agama, ras dan status ekonomi. Bully dapat terjadi dalam bentuk kekerasan fisik, verbal. Dan yang sedang marak terjadi saat ini sekolah mendominasi sebagai tempat terjadinya bully? Ada apa dengan sekolah? Bukankah selama ini sekolah lebih dikenal dengan identitasnya sebagai wadah perubahan karakter?
Ternyata banyak hal yang terjadi di kalangan pelajar akhir-akhir ini. Perilaku sekelompok pelajar yang berulang kali melakukan penindasan terhadap orang-orang tertentu. Sekelompok pelajar itu sering menamakan dirinya sirkel, Sirkel adalah nama lain dari Circle istilah gaul yang sering digunakan anak zaman now akhir-akhir ini. Dan sirkel-sirkel ini terdiri dari beberapa kepentingan. Mereka inilah yang berkuasa atas orang-orang lemah di sekelilingnya. Kelompok ini sering melakukan intimidasi tanpa sebab, menebarkan rumor atau mencoba untuk membuat orang lain (temannya) bahkan gurunya menolak seseorang, menghina temannya, menggunakan nama panggilan yang kurang baik dan yang paling fatal kelompok ini sanggup menjadikan gurunya menjadi bahan gunjingan di kelompoknya. Ternyata inilah masalah yang dihadapi sekolah saat ini. Bagaimana seharusnya fungsi sekolah untuk masalah besar ini ? Jika dibiarkan berlarut-larut maka akan banyak orang yang tersakiti dan terintimidasi dan dapat berakibat fatal bagi kehidupannya di masa yang akan datang.
Untuk menyelamatkan generasi ini selain peran keluarga dan teman, maka yang sangat diperlukan adalah integritas guru dan seorang pendidik di sekolah. Ciptakan budaya yang nyaman, menyenangkan dan jadikan sekolah sebagai wadah untuk menjadikan peserta didik menjadi pribadi yang berbudi pekerti, yang memiliki disiplin, dan jadikan peserta didik menjadi pribadi yang tak tertandingi baik dari sikap, perilaku maupun ilmu pengetahuan. Kembalikan marwah seorang guru. Jadilah pendidik yang digugu dan ditiru. Ditiru bukan dari style yang dikenakan, namun sosoknya harus dikembalikan ke takhtanya semula. Yang pertama sebagai pengajar, yaitu merencanakan dan melaksanakan program yang telah disusun dan mengadakan penilaian setelah program itu dilakukan. Guru diharapkan memiliki pengetauan yang luas tentang disiplin ilmu yang diampu untuk ditransfer kepada peserta didik. Dan yang paling utama peran guru adalah menjadi seorang pendidik, guru mengarahkan pada tingkat kedewasaan yang berkepribadian, fungsi inilah yang paling utama yaitu membimbing dan mengarahkan peserta didik agar berakhlak mulia dan berpikir cerdas. Guru sebagai figur teladan memiliki kontribusi paling hakiki untuk peserta didik. Sekolah bukan tentang seberapa bagus bangunannya, namun seberapa baik out putnya. Jadi, jadikan sekolah sebagai tempat mengembangkan bakat, menempah peserta didik menjadi pribadi yang berakhlak, menjadi aset yang berharga dan dapat bersaing, bukan hanya sebagai objek pencapaian pretise yang mengangkat derajat almamaternya saja namun kembalikan fungsinya dengan benar menjadi wadah bagi pelajar untuk memulihkan jati dirinya, menjadikan peserta didik menjadi pribadi yang berakhlak mulia, menjadikan peserta didik menjadi aset yang berkualitas dan berintegritas.
Untuk menciptakan situasi itu, kontribusi gurulah sebagai alternatif yang paling baik untuk memberantas bully di sekolah. Hadirlah untuk peserta didik kapanpun dan dimanapun. Jadikan mereka menjadi bagian penting dari kehidupanmu, ajarkan mereka dengan pengalaman yang dapat membantu mereka untuk membingkai masa depannya. Dengarkan setiap masalahnya, berikan solusi pemecahannya. Tetap menjadi orangtua kedua bagi mereka yang mencintai mereka tanpa batas. Zaman boleh canggih, perubahan di segala bidang terjadi dengan sangat signifikan. Strategi dan metode boleh bervariasi, paradigma tentang pendidikan sangat kompleks dan terdepan, banyak hal yang ditawarkan menjadikan semua proses berjalan dengan sangat instan. Namun untuk mengubah karakter tidak ada kata yang instan itu. Tetap dikoridor bahwa setiap guru harus memiliki kompetensi handal baik itu kompetendi pedagofis, kompetesi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi professional.
Jadikan sekolah sebagai salah satu wadah akademis yang mengamati dinamika bullying dan bagaimana korban merespons serta mendorong penyelidikan lebih mendalam tentang bullying ini. Sehingga nantinya sekolah menjadi satu-satunya wadah yang fokus pada pendidikan emosional dan pengembangan sosial, di sekolah mereka akan mendapatkan bagaimana cara memupuk empati dan kesadaran yang tinggi tentang dampak psikologis dari tindakan merendahkan dan membantu mengurangi insiden bullying. Di sekolah guru harus mampu menjadi figur yang mengajarkan tentang nilai-nilai seperti empati, toleransi, kerjasama, budaya positif dan menghargai indahnya keberagaman. Hal inilah yang harus ditanamkan dan diajarkan guru untuk mengatasi masalah bullying.
Tentang Penulis
Lisna Melva Sitanggang, seorang perempuan yang berasal dari Provinsi Sumatera Utara, adalah seorang individu yang merasa terpanggil untuk turut serta dalam lomba menulis yang diadakan oleh Harian Batakpos dengan tema “Surat untuk Bullying”.
Melva memiliki keyakinan yang kuat akan pentingnya menyuarakan pesan-pesan positif dan mengatasi masalah sosial, termasuk bullying. Sebagai warga Sumatera Utara, ia merasa tanggung jawab untuk turut serta dalam upaya memerangi bullying dan memberikan dukungan kepada korban-korban yang terkena dampaknya.
Komentar