“Hei, ayo gambar lagi yang bagus, dia terlihat sangat bagus dengan mukanya itu,” ujar seorang anak laki-laki sambil tertawa terbahak-bahak.
“Mohon berhenti, teman-teman, sudah…” pohon anak perempuan yang wajahnya sangat kotor penuh dengan coretan-coretan spidol.
“Kau siapa berani menyuruh kami berhenti, huh? Tugasmu hanya menikmatinya, dasar orang miskin!” bentak anak perempuan yang memegang spidol permanen di tangannya. Tanpa menghiraukan isak tangis teman sekelasnya, mereka kembali melanjutkan aktivitas keji mereka.
Ketika di dalam kelas, hampir semua teman sekelasnya menatap dirinya dengan tatapan kebencian yang amat sangat. Ada pula yang melemparinya dengan gumpalan dari sobekan kertas, namun anak perempuan itu hanya merunduk diam tanpa membela dirinya. Guru pun memasuki kelas, dan seketika suasana menjadi hening. Anak itu merasa sedikit lega, dan akhirnya mengikuti pelajaran dari guru meskipun ada saja yang berusaha menjahilinya.
Setibanya di rumah, Lia. Nama anak perempuan yang menjadi korban bullying itu memasuki rumahnya, sang ibu menoleh dan memandangi anaknya itu.
“Kenapa mukamu begitu, Lia?” tanya sang ibu yang kemudian Lia menyembunyikan wajahnya menggunakan tangan.
“Bukan apa-apa kok, bu, tadi hanya main di sekolah dengan teman-teman,” jawab Lia yang membohongi ibunya, dan diberi anggukan oleh sang ibu yang mempercayai ucapannya.
Malam harinya, Lia mendapat tugas kelompok dengan teman sekelasnya. Namun teman-teman yang satu kelompok dengannya itu semuanya adalah yang suka mem-bully-nya, hingga Lia merasa sedikit takut ketika berjalan menuju ke rumah Dinda. Sesampainya Lia di rumah Dinda, ia terkejut karena melihat teman-temannya itu sudah berdiri di depan pagar sambil membawa balok di masing-masing tangannya.
“Teman-teman, kenapa kalian semua membawa balok? Kurasa tugas kelompok kita mengerjakan mata pelajaran matematika, ayo kita masuk saja dan belajar,” Lia berusaha mencairkan suasana dan mengajak mereka semua masuk ke dalam rumah, namun mereka menolak dan berjalan perlahan ke arah Lia sembari memukul-mukul balok kayu tersebut dengan pelan ke telapak tangan mereka masing-masing. Melihat pergerakan aneh tersebut, Lia perlahan mundur menjauhi mereka, hingga pada akhirnya mereka semakin mendekat dan membuat Lia melarikan diri ke halaman samping rumah Dinda.
Dinda, Jordi, Romi, Ari, dan Alma mengejarnya ke halaman samping rumah. Ketika sampai di sana, mereka melihat Lia yang sudah sangat ketakutan dengan air mata yang bercucuran di pipinya.
“Kok lari sih, Lia? Kita mau mengajak main loh, ayo sini kita main,” ujar Alma sambil tersenyum menyeringai, melihat senyuman aneh itu membuat Lia semakin ketakutan dan mundur menjauhi mereka.
“Tolong kasihanilah aku, ku mohon hentikan, jangan sakiti aku lagi, aku mohon…” Lia memohon dan merintih, ia begitu ketakutan malam itu. Namun mereka semua tidak mau mendengarkan permohonan Lia dan terus mendekat sembari membawa balok kayu, hingga pada akhirnya kaki Lia menginjak pisau pemotong rumput dan terjatuh. Ia melihatnya kemudian mengambil pisau pemotong rumput tersebut dan mengarahkannya ke arah teman-temannya, kemudian berkata sambil menangis.
“Jangan mendekat!”
Melihat hal tersebut, membuat Alma angkat bicara dengan tatapan jijiknya terhadap Lia.
“Kau mau membunuh kami dengan pisau itu, huh? Kau benar-benar seorang monster jelek yang menyeramkan, Lia, kau mau membunuh teman-temanmu sendiri yang hanya ingin mengajakmu bermain.”
Lia menggelengkan kepalanya saat mendengar ucapan Alma yang penuh dengan kebohongan kemudian mengarahkan mata pisau tersebut ke lehernya, kemudian…
“AAAARRGGKKHH!!!” Suara jeritan Dinda menggema kemana-mana, bahkan Jordi harus bergegas menutup mulut Dinda agar tidak terdengar oleh warga maupun orang tua mereka di rumah. Sementara itu, Romi menghampiri tubuh Lia yang sudah tergeletak di tanah lalu memeriksanya.
“Bagaimana, Rom?” tanya Jordi.
“Dia sudah mati, dia mati, mati!” jawab Romi yang kemudian mundur dengan wajah ketakutan, sementara yang lain menjadi panik.
“Kita bawa dia ke sawah, biarkan para petani yang menemukannya dan menganggap dia sudah bunuh diri di sawah, jadi kita aman,” ujar Alma dengan santai, kemudian disetujui oleh yang lain. Mereka pun membawa mayat Lia ke sawah dan meninggalkan mayatnya di sana, namun Alma dan teman-temannya mulai merasa terganggu karena kematian Lia.
Keesokan harinya, Alma dan teman-temannya mendengar kabar dari pihak masjid bahwa Lia sudah tiada. Orang tua mereka masing-masing mengajak mereka untuk melayat ke rumah orang tua Lia, dengan perasaan cemas mereka semua pun ikut pergi ke rumah Lia untuk melayat.
Setibanya di sana, tiba-tiba saja Ari menjerit histeris hingga membuat keempat temannya terkejut dan gemetaran.
“JANGAN!!!”
Melihat tingkah aneh Ari, para warga menjadi bingung namun berusaha menenangkan Ari. Namun tak lama setelah Ari, Jordi juga ikut menjerit histeris sampai berlari keluar dari rumah Lia dan akhirnya menabrak tiang listrik dan pingsan. Melihat kedua temannya yang ketakutan, Alma mulai gelisah sementara Dinda sudah sangat panik. Namun para warga menyuruh semua orang agar tenang, Ari yang dipegangi oleh beberapa bapak-bapak dan ketiga temannya masih duduk di dekat mayat Lia yang belum dimandikan.
Tiba-tiba…Ada angin yang sangat kencang tiba-tiba masuk dari jendela hingga membuat kain yang menutupi wajah Lia terbuka, Alma dan Dinda yang tak sengaja menatap wajah Lia terkejut karena melihat mata Lia yang terbuka lebar menatap mereka dengan tampilan raut wajah yang seram.
“KYAAAAAAAA!!!”
Kedua mereka sontak menjerit bersamaan, melihat hal aneh tersebut kepala desa duduk di dekat mereka kemudian bertanya.
“Apa kalian mengetahui bagaimana Lia bisa bunuh diri di sawah?”
Mendengar pertanyaan tersebut, Romi mundur ke sudut rumah sembari menutupi kedua telinganya dengan tangan dan menangis ketakutan.
“Tolong maafkan kami Lia, seharusnya kami tidak selalu menjahilimu dan menakutimu semalam sampai kau bunuh diri. Tolong biarkan kami hidup tenang Lia, lepaskan kami…”
Romi merintih dengan suara bergetar, semua orang kini mengetahui kisah sebenarnya hingga tragedi bunuh diri Lia bisa sampai terjadi. Lia dimakamkan dengan layak, sementara kelima pem-bully-nya itu diberikan sanksi berupa belajar di rumah dan tidak boleh bersekolah hingga mereka tamat SD.
“Jika kau membuli seseorang hanya karena dirinya orang miskin atau pun jelek, sebaiknya jangan melakukan hal-hal yang berlebihan. Kau boleh tidak menyukainya, tapi tidak untuk membulinya karena alasan itu. Mental seseorang itu tidaklah sama, kau tidak akan pernah tahu seberapa sulitnya seseorang menjalani hidupnya. Dan seberapa kacau mentalnya karena ulahmu, jadi jangan memilih-milih teman dan jika tidak suka maka lebih baik diabaikan daripada membulinya!”
Tentang Penulis
Ichi Talia Sapar adalah seorang individu yang aktif dan bersemangat, lahir untuk menginspirasi dan menghadirkan keceriaan. Dengan alamat di Mengkalang Jambu, Kubu Raya, dia menjelajahi dunia dengan rasa ingin tahu yang tak terbatas. Melalui alamat surelnya di ichipark07@gmail.com, ia membuka pintu untuk terhubung dengan dunia luar dan mengekspresikan keunikannya.
Komentar