Jakarta, HarianBatakpos.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) meragukan klaim bahwa dana suap untuk mempengaruhi vonis lepas kasus korupsi izin CPO berasal dari kantong pribadi anggota tim legal PT Wilmar Group, Muhammad Syafei (MSY). Meski MSY menyatakan uang miliaran rupiah itu dikeluarkan dari dana pribadinya, Kejagung menilai pernyataan tersebut tidak masuk akal.
“Pertanyaannya tetap sama, dari mana sumber dana suapnya? Kalau benar dari MSY, konteksnya apa? Apa kepentingannya pribadi dalam kasus perusahaan sebesar itu?” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar di Jakarta, Jumat (9/5/2025).
Kejagung menilai tidak logis bila pegawai legal perusahaan bisa mengeluarkan dana hingga Rp60 miliar untuk menyuap hakim tanpa keterkaitan langsung dengan korporasi. Apalagi, kasus ini jelas menyangkut permasalahan korporasi, bukan urusan pribadi.
“Kalau bukan hubungan personal, bagaimana mungkin dia mengeluarkan uang sebanyak itu? Bahkan kalau hubungan personal pun jumlahnya sangat janggal,” tambah Harli.
Kejagung masih membuka peluang pengembangan lebih lanjut dalam kasus suap hakim ini. Semua keterangan yang disampaikan oleh tersangka Muhammad Syafei akan diuji dalam persidangan mendatang dan disandingkan dengan bukti penyidikan.
“Itulah yang akan kita gali dalam persidangan, apakah benar uang itu dari dia sendiri, atau ada keterlibatan pihak lain di baliknya,” tegas Harli.
Dalam kasus suap yang menyeret sejumlah pejabat peradilan ini, Kejagung telah menetapkan delapan orang tersangka. Mereka terdiri dari hakim Djuyamto, hakim Agam Syarif Baharudin, hakim Ali Muhtarom, serta Muhammad Arif Nuryanta yang kini menjabat Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).
Lima tersangka lainnya adalah Wahyu Gunawan, panitera muda Perdata PN Jakarta Utara; Marcel Santoso dan Ariyanto Bakri, keduanya advokat; serta Muhammad Syafei, anggota tim legal PT Wilmar Group.
Sejumlah lokasi juga telah digeledah oleh penyidik Kejagung dan ditemukan berbagai barang bukti suap, termasuk uang tunai dalam mata uang Dolar Amerika Serikat (USD) dan Dolar Singapura (SGD), serta puluhan unit kendaraan mewah yang diduga hasil dari tindak pidana korupsi.
Komentar