Medan, HarianBatakpos.com – Berdasarkan hasil Survei Nasional tahun 2022, 34,51 persen peserta didik berpotensi mengalami kekerasan seksual. Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) tahun 2021 menunjukkan bahwa 20 persen anak laki-laki dan 25,4 persen anak perempuan usia 13-17 tahun pernah mengalami kekerasan. Angka ini menjadi alarm bagi semua pihak, mengingat kekerasan di lingkungan pendidikan semakin meningkat.
Data dari Forum Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat bahwa selama Januari-September 2024, terdapat 36 kasus kekerasan di satuan pendidikan. Survei SNPHAR tahun 2018 menyebutkan satu dari tiga anak usia 13-17 tahun di Indonesia pernah mengalami paling tidak satu jenis kekerasan dalam hidup mereka. “41 persen siswa di Indonesia menurut survei PISA 2018 pernah mengalami perundungan setidaknya beberapa kali dalam satu bulan,” ungkap laporan tersebut, dilansir dari Kompas.com.
Sebanyak 24,4 persen peserta didik berpotensi mengalami insiden perundungan di satuan pendidikan dalam satu tahun. Ironisnya, 63 persen korban dan saksi mata kekerasan di lingkungan kampus tidak melaporkan kejadian tersebut. Dalam konteks ini, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menekankan pentingnya komitmen negara untuk memenuhi hak-hak perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan.
Komitmen ini juga didukung oleh kerjasama antara Kepolisian Republik Indonesia dan UNDP Indonesia, dengan peluncuran modul Pelatihan Penanganan Kekerasan Berbasis Gender di Ranah Elektronik. Menteri PPPA, Arifah Fauzi, menegaskan bahwa kemajuan teknologi harus diimbangi dengan upaya menangani Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO).
Menyikapi fakta-fakta ini, langkah strategis sangat diperlukan untuk melindungi anak dan remaja dari kekerasan, baik fisik maupun psikologis. Upaya kolaboratif antara pemerintah, institusi pendidikan, dan masyarakat menjadi kunci untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung perkembangan anak.
Komentar