Internasional

Kemiskinan: Kisah Warga Venezuela Hidup dengan Rp18.000 per Bulan

Foto: BBC/OSWER DIAZ MIRELES

Sistem kolaps

Di Venezuela, seperti di banyak negara lain, sistem pensiun didanai oleh karyawan-karyawan yang beberapa persen dari gajinya dipotong untuk membayar gaji para pensiunan.

Tetapi banyak pekerja, terutama yang berkualifikasi tinggi, telah meninggalkan negara itu.

Puluhan WNI Terjebak di Israel, Bandara Ditutup Imbas Serangan Balasan Iran

Upah keseluruhan di negara itu rendah dan banyak orang yang bekerja pada sektor informal, yang berarti mereka tidak memberikan kontribusi apa pun.

Beban pensiun 4,5 juta rakyat Venezuela sebagian besar ditanggung negara. Tapi secara matematika, itu tidak memungkinkan.

Minyak adalah sumber utama pendapatan negara: US$9 dari setiap US$10 yang masuk ke dalam perekonomian negara itu. Namun produksi minyak telah turun tajam sejak 2017.

Selain pemerintah yang miskin dengan sedikit sumber pendapatan, inflasi Venezuela termasuk yang tertinggi di dunia, hal yang mendatangkan malapetaka pada nilai mata uang nasional negara itu.

Perang Iran-Israel Terancam Meluas, Dunia Panik Jika Amerika dan Negara Teluk Turut Terlibat

Selama tiga tahun terakhir, Bank Sentral telah memperketat pasokan dolar AS, yang dipandang oleh banyak orang Venezuela sebagai perlindungan aman bagi uang mereka.

Akibatnya, mata uang AS meroket sementara bolivar anjlok, bersama merosotnya nilai uang pensiun.

Bagi kebanyakan orang lanjut usia, kualitas hidup mereka menukik tajam, membuat mereka berada dalam situasi yang lebih rentan.

Hidup dengan keterbatasan

Karena penurunan nilai bolivar, uang pensiun Norma hanya bernilai US$1,30 (Rp 18.500) per bulan.

Ia mendapatkan bentuk bonus lain yang diberikan oleh pemerintah dalam upaya untuk meringankan dampak kemerosotan ekonomi.

Ketika semua penghasilannya ditambahkan, dia memiliki sekitar US$5 (Rp 70.000) sebulan, cukup untuk membeli satu kilo daging.

Tapi prioritas utama Norma bukanlah daging, tapi pil penurun tekanan darah yang harus diminumnya setiap hari.

Obat itu biasanya dipasok oleh negara melalui Farmapatria, jaringan apotek pemasok obat-obatan dasar bagi masyarakat.

Tetapi dia tidak selalu mendapatkan pil tepat waktu, itulah sebabnya dia menabung.

“Saya menabung sedikit dari yang mereka berikan sehingga saya dapat membeli obat-obatan saat saya membutuhkan. Saya tidak mampu membeli satu kotak utuh, tetapi setidaknya saya dapat membeli setengah kotak, yang berisi 20 pil”.

Norma mengatakan para dokter telah memberitahunya bahwa dia harus memastikan tekanannya terkendali untuk meminimalkan risiko stroke.

“Saya bersyukur saya hampir tak pernah tak memiliki pil. Kadang anak saya berkorban sedikit dan membelikan saya sedikit obat. Ketika saya tidak meminum obat, saya tidak bisa tidur karena saya takut.”

Untuk mencapai Farmapatria, Norma harus berjalan sekitar 1,5 km ke stasiun metro terdekat. Lereng curam menuruni bukit itu adalah perjalanan berbahaya.

Dia berjalan dengan tongkatnya di trotoar yang tidak rata dan berlubang, melewati pedagang kaki lima dan tong sampah.

Dalam perjalanan pulang, ia berulang kali berhenti untuk beristirahat.

Dalam perjalanan kereta, ia melewati tiga perhentian. Kereta itu gratis untuk orang seusianya.

“Saya perlu berjalan. Jika saya tinggal di rumah, saya akan sakit dan hanya berbaring di tempat tidur dan saya tidak menginginkannya. Terkadang kaki saya sakit karena belum lama ini saya terjatuh dan pergelangan kaki saya terkilir. Sedikit bengkak, tapi saya tetap berjalan,” kata Norma.

Sangat sedikit makanan

Norma bergantung pada makanan yang dibagikan pemerintah kepada mereka yang berpenghasilan rendah.

“Kotak makanan itu datang setiap satu setengah bulan. Yang terakhir isinya dua kilo beras, dua bungkus tepung untuk membuat arepas [roti pokok Venezuela], dua kilo pasta, beberapa bungkus chickpeadan kopi. Kali itu, mereka tidak memberikan gula,” kata Norma.

Makanan itu tidak cukup dan Norma mengatakan dia sering merasa “pusing”.

“Hari ini saya makan roti tepung, kopi, dan telur yang diberikan seseorang untuk sarapan saya. Untuk makan siang, saya makan kacang polong dan nasi, dan kacang polong lagi untuk makan malam.”

“Sudah lama sekali sejak saya tidak makan daging, ayam, susu; saya tidak pernah mengira saya akan kelaparan di usia tua. Bukan hanya saya yang mengalami ini, banyak orang di lingkungan ini yang mengalami situasi yang sama,” tambahnya.

Norma mengatakan putranya tidak dapat membantunya sekarang.

“Dia berusia 25 tahun, telah menikah dan memiliki dua anak. Dia mendapatkan upah minimum di sebuah restoran, tapi pekerjaan itu berakhir akibat pandemi. Kini, dia membuat kue bersama istrinya untuk memenuhi kebutuhan.”

Laman: 1 2 3

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Postingan Terpopuler

BatakPos TV

Kominfo Padang Sidempuan

Kominfo Padang Sidempuan