Dalam era kontemporer yang semakin terjerat dalam jerat “self-love” atau cinta pada diri sendiri, muncul sebuah fenomena yang menarik perhatian: ketika self-love berubah menjadi self-delusion. Obsesi akan diri sendiri tidak lagi terlihat sebagai bentuk pemuliaan diri yang sehat, tetapi sebagai penyakit yang merusak kesejahteraan mental dan sosial seseorang. Dalam kritik yang tajam terhadap budaya “me-first”, kita harus mengajukan pertanyaan yang sulit: apakah kita benar-benar mencintai diri kita sendiri, ataukah kita tenggelam dalam ilusi tentang siapa kita sebenarnya?
Pada dasarnya, self-love adalah konsep yang positif. Ini adalah bentuk penghargaan terhadap diri sendiri, penerimaan akan kelebihan dan kekurangan, dan komitmen untuk merawat kebutuhan diri kita sendiri. Namun, ketika self-love berubah menjadi self-delusion, kita mulai melampaui batas-batas yang sehat. Kita menjadi terobsesi dengan citra diri kita sendiri, kebutuhan kita sendiri, dan kebahagiaan kita sendiri tanpa memperhitungkan dampaknya pada orang lain atau pada kita sendiri.
Mungkin tampak ironis bahwa dalam usaha untuk mencintai diri sendiri, kita sebenarnya bisa kehilangan diri kita sendiri. Obsesi akan diri sendiri dapat membuat kita terpinggirkan dari dunia di sekitar kita. Kita mungkin merasa terisolasi, tidak mampu membentuk hubungan yang bermakna dengan orang lain karena fokus kita yang terlalu kuat pada diri sendiri. Seiring waktu, kita mungkin menemukan bahwa kesenangan jangka pendek dari memuji diri sendiri tidak dapat menggantikan kebahagiaan yang sejati dan berkelanjutan yang datang dari hubungan yang sehat dengan orang lain.
Di dunia yang didominasi oleh media sosial, self-delusion semakin mudah terjadi. Kita menghabiskan begitu banyak waktu untuk memperbaiki dan memoles citra kita di platform-platform tersebut, menciptakan versi ideal dari diri kita yang seringkali jauh dari kenyataan. Kita menyembunyikan ketidaksempurnaan kita di balik filter dan caption yang cerdik, mencoba meyakinkan dunia (dan diri sendiri) bahwa kita hidup dalam dunia yang sempurna dan tanpa cela. Namun, di balik layar, kita mungkin merasa lebih tidak aman dan tidak puas daripada sebelumnya.
Dalam budaya yang menekankan pentingnya kesuksesan dan prestasi pribadi, self-delusion dapat menjadi jebakan yang mematikan. Kita mungkin mulai percaya bahwa kita benar-benar istimewa dan tidak tergantikan, bahwa aturan yang berlaku untuk orang lain tidak berlaku untuk kita. Kita mungkin mulai mengabaikan tanggung jawab sosial dan moral kita karena kita merasa bahwa kita di atas segalanya. Namun, pada akhirnya, kita akan menemukan bahwa tidak ada yang di atas hukum, dan kita tidak akan bisa melarikan diri dari konsekuensi dari tindakan kita sendiri.
Bahkan dalam hubungan pribadi, self-delusion dapat menyebabkan kerusakan yang parah. Kita mungkin mulai melihat pasangan kita sebagai perpanjangan dari diri kita sendiri, sebagai alat untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan kita sendiri. Kita mungkin mulai menuntut perhatian dan pengakuan tanpa memberikan apa pun yang sepadan sebagai imbalannya. Pada akhirnya, kita mungkin merusak hubungan kita sendiri karena kita tidak bisa melihat melebihi batas diri kita sendiri.
Bagaimanapun, tidaklah mudah untuk keluar dari jerat self-delusion. Kita harus belajar untuk memperbaiki diri kita sendiri dan memperhatikan kebutuhan orang lain. Kita harus belajar untuk menghargai kelebihan dan kekurangan kita tanpa melupakan bahwa kita bukanlah satu-satunya orang di dunia ini. Kita harus belajar untuk membangun hubungan yang bermakna dengan orang lain, memahami bahwa kebahagiaan sejati tidak dapat ditemukan dalam kesendirian.
Dalam akhirnya, self-love yang sejati adalah tentang menerima diri kita sendiri sebagaimana adanya, tanpa harus menutupi ketidaksempurnaan kita di balik lapisan-lapisan ilusi. Itu tentang menghargai keunikan kita dan kemampuan kita untuk tumbuh dan berkembang sebagai individu. Itu tentang menghormati dan memahami orang lain, bahkan ketika itu berarti mengorbankan kepentingan diri kita sendiri. Dan di dunia yang semakin terjerat dalam jaringan self-delusion, mungkin saatnya kita mengingatkan diri kita sendiri akan pentingnya memiliki hati yang rendah hati dan pemahaman yang dalam tentang tempat kita dalam dunia ini.
Okta Wulandari, seorang mahasiswa Ilmu Pemerintahan di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Musi Rawas. Selain mengejar pendidikan tingginya, Okta juga aktif dalam dunia seni tari tradisional dan kreasi.
Prestasinya di bidang tari sangat mengesankan, di antaranya meraih Juara 2 dalam Lomba Tari Daerah Islami tingkat Provinsi Sumsel, Juara 1 dalam Lomba Tari Kreasi Tradisi tingkat Provinsi Sumsel, serta Juara Harapan 1 dalam Lomba Tari Kreasi Tradisi yang sama. Tidak hanya itu, Okta juga berhasil meraih Juara 1 dalam Lomba Tari Kreasi Festival Gendang Melayu tingkat Kota Lubuklinggau.
Komentar