HarianBatakpos.com – “Dasar anak tidak berguna! Bisanya hanya bikin malu! Lihat atas kelakuanmu. Saya harus mengeluarkan uang dengan jumlah yang besar!! Apa susahnya tinggal sekolah duduk diam dan belajar. Tidak usah membuat keributan! Sekarang keluar dari rumah ini! Saya tidak mau mempunyai anak sepertimu! Dan jangan anggap saya sebagai ayahmu!! Bereskan barang-barangmu lalu keluar dari sini!!”
Deg
Kirana menatap ayahnya dengan pandangan sendu, lalu beralih menatap kakak laki-lakinya, dengan tatapan memohon meminta bantuan. Dengan gerakan pelan, Laki-laki itu menggelengkan kepalanya. Air mata kian merembes semakin banyak. Tak ada harapan untuk ia tetap berada di rumah ini. Perlahan, ia mulai menggerakkan kakinya menuju kamar. Membereskan pakaiannya, lalu keluar dari rumah itu.
Gerbang rumah sudah di tutup oleh satpam. Kirana menatap rumah itu lamat-lamat. Kenangan saat berada di sana berputar di kepalanya. Ia menangis dalam diam dengan ribuan rasa sesak di dadanya. Kakinya berjalan meninggalkan rumah masa kecilnya. Ntah kemana ia akan pergi. Biarkan kaki itu melangkah semaunya.
Angin malam terasa begitu menusuk kulitnya. Langit semakin gelap, tak lama rintikan air berjatuhan dan semakin lama kian bertambah. Kirana panik ia menatap sekitar, gak jauh dari tempat ia berdiri ada sebuah halte. Ia segera berlari kesana, malam ini benar-benar membuatnya kacau. Cairan bening kembali keluar dari matanya.
Tak terasa hujan sudah reda, ntah sudah berapa lama ia duduk kedinginan disana. Samar-samar ia mendengar suara seseorang yang sedang berbicara. Kirana menghapus air matanya dan beralih menatap sekeliling, sepi dan gelap. Hanya ada cahaya dari lampu jalanan. Suara-suara itu kian mendekat. Hingga menampilkan 3 orang pria yang begitu menyeramkan. Kirana membelalakkan matanya panik. Bagaimana ini.
“Hai cantik, sendiri aja nih. Dingin-dingin gini enaknya di angetin. Ya nggak” ujar pria berkepala botak dengan tato di lehernya. Teman-temannya yang lain hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. Pria berkepala botak itu menyeringai. “Ikut kita yuk, kita main-main sebentar, biar kita angetin.”
Kirana panik, ia menggelengkan kepalanya ribut. “ nggak, nggak mau! Jangan. Hikss, pergi!”
Ketiga pria berbadan besar itu mulai mendekatinya dan mencoba memegang kirana. Mereka tidak perduli, dengan tangisan dan permohonan gadis itu.
“NGGAK! TOLOONGG!!! Hikss TOLOOOOOONG!! JANGAN APA-APAKAN AKU. KAK ALAAAANNN, TOLONGIN KIRANA. AYAAHHH, hikss, tolongin Kirana! TEPASIIN!!!! JANGAN BAWA KIRANA.”
“Heh, diam lah gadis kecil. Menurut saja, kita mainnya pelan-pelan kok.” Kirana semakin memberontak air matanya mengalir dengan deras. Tak henti-hentinya ia mengucapkan permohonan meminta bantuan di dalam hatinya. Ia benar-benar merasa takut.
Plaak
Salah satu dari mereka menampar Kirana. “DIAM DAN NIKMATI! JANGAN MEMBERONTAK!!”
Kirana menggelengkan kepalanya, pria botak itu mulai merobek bajunya. Ia tak berdaya, kedua tangannya di pegang erat oleh pria lainnya. Kirana menjerit histeris saat tubuhnya mulai di sentuh.
Bughh
Bughh
Dugghh
Agghhh
Suara pukulan, ringkisan, dan erangan begitu mengerikan. Ketiga pria tadi terlibat dalam keributan itu dan di lawan oleh satu laki-laki remaja. Pertarungan yang sangat mengerikan, ketiga pria itu berlari kalang kabut karena kekalahan yang mereka dapatkan.
Laki-laki remaja itu berjalan mendekati Kirana, Kirana semakin panik ia takut jika laki-laki ini melakukan hal yang sama, ia menundukkan kepalanya takut. “Kamu nggak papa?” tanyanya lembut.
Kirana menganggukkan kepalanya tapi juga menggelengkan kepalanya. Ia tak baik-baik saja. Ia merasa sangat kotor sekarang. Terdengar suara helaan nafas.
“Nggak usah takut. Saya nggak akan macem-macem, kamu mau kemana, biar saya antar?” tak ada jawaban. “Ini sudah larut malam. Kamu ikut saya ke rumah aja ya? Besok baru saya antar. Tenang dirumah saya nggak tinggal sendiri kok, ada adik perempuan saya juga. Mau kan? Saya nggak bisa biarin kamu sendiri di sini.” Kirana mengangguk sebagai respon. Setelah mendapat persetujuan, remaja tadi membawanya kerumah.
Kirana menatap rumah sederhana di depannya, sederhana tapi bersih dan terlihat begitu nyaman. Sebuah tangan besar menggenggam jari-jarinya yang dingin. Ia menatap sang pemilik. Ternyata Remaja tadi. Ia menuntun Kirana memasuki rumahnya.
“Abang. Kok baru pulang. Ehh, Abang kenapa, kok pipinya lebam?! Ihh, sini-sini biar Nana obatin,” ucapan bernada manja itu berganti menjadi rasa khawatir.
“ssstt, dek. Abang nggak papa kok. Ini, bantu dia ya, bawa ke kamar kamu. Temenin dia, Abang mau bersih-bersih dulu.” Remaja yang di panggil Abang itu mulai berjalan menuju ruangan. Mungkin, itu kamarnya.
Nana menatap gadis yang di bawa pulang Abangnya, sedari tadi gadis itu hanya menundukkan kepalanya dan terus memeluk tas yang ia bawa. Nana merasa familiar dengan gadis di depannya.
“Hei, kamu kenapa nunduk terus, ayo ke kamar.” Nana mengulurkan tangannya. Lalu ia tersenyum karena gadis itu mau menerima uluran tangan darinya. Mereka berjalan memasuki kamar milik Nana.
Kirana tidak tau apa yang harus ia lakukan di sini, ia merasa malu dan takut. Sebab, gadis yang bernama Nana, adalah orang yang sama dengan orang yang ia bully habis-habisan di sekolah. Ia takut, jika Nana mengadukan hal itu kepada Abangnya. Lalu ia akan di usir kembali.
Nana sudah kembali menatapnya setelah menutup pintu. “kamu, mau mandi? Biar aku masakkan air. Baju kamu basah. Pasti dingin kan? Di luar hujannya benar-benar deras. Sini tasnya biar aku bawakan.”
Bahkan, setelah gadis itu ia perlakukan begitu buruknya, dia masih berbicara dengan lembut dan tak segan-segan menawarkannya bantuan. Rasa bersalah kian menyelimuti hatinya.
Melihat tak ada respon, Nana mencoba mengambil tas yang ada di pelukannya. Betapa kagetnya ia saat melihat baju gadis itu robek. Kirana pun sama kagetnya. Ia mencoba menutup bagian dadanya. Ia kembali menangis mengingat kejadian itu. Kejadian dimana kesuciannya hampir di renggut. Mendengar isakan itu, Nana mendekapnya, mencoba menenangkan Kirana.
Dekapan itu kian melonggar karena Nana mulai membuat jarak antara mereka. Ia menyembunyikan beberapa helai rambut yang menutupi wajah Kirana, dengan senyuman Nana terus menatapnya teduh.
“Jangan sedih lagi. Di sini ada aku sama Abang Rei, kamu bakal baik-baik aja. Kita bakal jagain kamu.” Suara lembut itu kembali terdengar.
“Makasih,” jawabnya lirih. Nana mengangguk.
“Sekarang, kamu mandi. Biar aku masakkan air hangat. Setelah itu kita istirahat.”
“Dasar miskin!”
“Mati aja lo”
“Bodoh!!”
“Anak tolol kayak lo nggak cocok sekolah di sini.”
“Miskin, bau!”
“Lo hidup di dunia cuma bikin malu aja!”
“Sok banget, lo jadi manusia. Miskin ya miskin aja. Miskin kok belagu.”
Kirana membuka matanya kembali. Ia mencoba mengatur nafasnya. Umpatan-umpatan itu adalah kata-kata yang ia keluarkan saat membully Nana. Gambaran-gambaran saat ia membullynya kembali berputar bagai kaset yang rusak. Betapa jahatnya dirinya. Ia membully seseorang hanya karena ia iri. Mencaci makinya, mempermalukannya, tak ayal ia juga pernah memukulinya.
Begitu tenang wajah gadis di sebelahnya. Gadis polos yang selama ini ia bully, begitu memiliki hati yang baik. Bahkan ia tak menolak kehadirannya, ia malah menerimanya bahkan memberikan segala apa yang Kirana butuhkan. Rasa bersalah yang amat besar ia rasakan. Apa yang harus dia perbuat agar gadis itu mau memaafkannya. Bahkan, jika harus bertekuk lutut Kirana mau, asalkan ia mau memaafkan kebodohannya.
“Maaf Nana.”
°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°°•°•°•°•°•
Suara kicauan burung terdengar, matahari mulai menampakkan dirinya di langit. Cuaca hari ini begitu cerah. Saat Kirana sedang asik menatap kearah luar, suara pintu mengalihkan perhatiannya.
“Ehh, aku ngagetin kamu ya. Maaf-maaf,” ujar Nana tak enak.
Kirana tersenyum, dengan suara serak Kirana menjawab, “nggak kok. Ngga papa.”
“yaudah, ayo kita sarapan. Abang aku udah nungguin.” Nana menarik tangan Kirana dengan halus.
Sarapan pagi ini begitu khidmat. Selesai sarapan, Nana mengumpulkan piring-piring kotor, Kirana ikut membantu, ia berniat akan mencuci piring-piring kotor itu. Tapi, Nana menolaknya secara halus dan menyurunya kembali duduk.
Selesai Kirana mencuci piring. Mereka melanjutkan mengobrol sedikit. Karena hari ini Abang Kirana masuk kerja pada sore hari dan Kirana tidak sekolah karena libur.
Rei menatap Kirana lembut, mau bertanya tapi ragu. Tadi pagi adiknya menceritakan sedikit kejadian yang di alami kirana kemaren malam. “Untuk sementara waktu, kamu tinggal di sini saja ya.”
“Maaf ya, kak. Aku ngerepotin.” Kirana menatap kakinya. Ia malu, mereka terlalu baik.tak sepantasnya ia berada di sini.
“kamu nggak ngerepotin kok, Kiran. Aku seneng karena adanya kamu, aku jadi punya teman.”
Kirana menatap Nana sendu, seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu di antara mereka. “Na, maafin aku ya. Selama ini aku jahat sama kamu. Kak, maafin aku. Selama di sekolah, aku kasarin Nana. Aku bully Nana. Maafin aku kak, kakak boleh marahin aku. Kakak boleh pukul aku. Kamu juga Na, ayo balas aku. Pukul aku, Na.” Kirana bertekuk lutut di depan Nana. Kaget? Tentu saja.
Nana memegang bahu kirana. “kiran, udah ya … Bediri, kamu nggak boleh gitu.”
Perlahan, Kirana mulai bediri. Nana memeluknya dan mengelus punggungnya. Abang Kirana mendekat kearah dua gadis itu lalu mendekap mereka.
“Itu udah berlalu. Kakak maafin, jangan di ulangi ya? Jadi lebih baik sekarang.” Kirana mengangguk.
Setelah kejadian itu, Kirana menjadi dekat dengan Nana, bahkan ia mulai rajin belajar dengan di ajari oleh Nana. Tak ada lagi Kirana yang kasar, tak ada lagi Kirana yang angkuh, tak ada lagi Kirana yang sombong. Yang ada hanya Kirana yang baik. Ia mulai mengubah dirinya menjadi lebih baik. Dengan bantuan Nana dan Rei tentunya.
Tentang Penulis
Halo, perkenalkan nama saya Ayu Aningsih Lestari. Saya adalah anak pertama dan memiliki dua adik laki-laki. Medan adalah kota tempat saya dilahirkan. Hai, siapa di sini yang sudah pernah berkunjung ke sini atau benar-benar berasal dari Medan? Di sini banyak tempat wisata menarik, jadi kalian harus mencobanya saat liburan. Pada tanggal 6 Maret 2007, saya dilahirkan dari rahim ibu saya. Saat ini, saya berusia 17 tahun. Sudah cukup lama saya terlibat dalam dunia literasi. Bahkan, beberapa waktu lalu saya sempat berhenti sejenak. Entah mengapa, rasanya saya ingin berhenti saja. Apakah kalian juga pernah merasakan hal yang sama? Oh ya, saya menemukan acara ini melalui Facebook. Entah mengapa, saya merasa tertarik. Akhirnya, saya memutuskan untuk mengikuti acara ini. Saya sempat bingung memilih antara menulis puisi atau cerpen, dilema ini terus menghantuiku. Akhirnya, saya memilih untuk menulis cerpen. Selain itu, hobi saya banyak. Saya suka membaca, menulis, berenang, bermain alat musik terutama gitar meskipun tidak terlalu mahir, saya juga suka menari, menyanyi, memasak, dan makan. Saya juga memiliki keahlian lain selain menulis, yaitu dalam makeup dan menghias henna/mehndi. Bagi kalian yang ingin tahu lebih banyak tentang saya, bisa menghubungi saya melalui:
Nomor Telepon : 0889648265522
Email : ayuningsihlestari625@gmail.com
Instagram : Ayuaningsihlestari_
Komentar