Indonesia pada era Orde Baru, yang berlangsung dari 1966 hingga 1998, ditandai oleh dominasi politik otoriter yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Pemilu di era ini menjadi alat legitimasi rezim otoriter, meskipun cenderung diwarnai oleh kecurangan dan kontrol pemerintah yang ketat.
Pada awal Orde Baru, suasana politik Indonesia masih dipengaruhi oleh trauma dan ketegangan pasca-Peristiwa G30S/PKI tahun 1965. Kudeta militer yang menggulingkan Presiden Sukarno membawa Soeharto berkuasa, yang kemudian dikenal dengan pembangunan “Orde Baru”.
Pada tahun 1971, dilangsungkan pemilu yang pertama di bawah pemerintahan Orde Baru. Pemilu ini diselenggarakan dengan format terbuka, tetapi dengan pengawasan yang ketat oleh pemerintah.
Kondisi Politik saat Pemilu Orde Baru
Di tengah suasana politik yang tertutup dan kekuasaan yang dipegang oleh Golkar, partai politik yang menjadi kendaraan politik Soeharto, pemilu di era Orde Baru tidak mencerminkan proses demokratis yang sehat. Golkar sering dianggap sebagai partai yang diarahkan oleh pemerintah, sementara partai-partai oposisi memiliki ruang yang sangat terbatas untuk berkembang.
Kondisi politik Indonesia saat itu sangat terkontrol oleh Soeharto dan jaringan kekuasaannya. Pada masa itu, kebebasan berekspresi dibatasi, oposisi politik ditekan, dan media massa di bawah kendali pemerintah. Pemilu dijalankan sebagai formalitas semata, dengan hasil yang sudah ditentukan sebelumnya.
Kemajuan ekonomi yang dicapai pada masa Orde Baru sering dijadikan alasan legitimasi bagi kekuasaan Soeharto. Namun, kesejahteraan ekonomi yang diperoleh tidak merata dan kerap diiringi oleh ketidakadilan sosial. Korupsi dan nepotisme merajalela di semua lapisan pemerintahan, menciptakan ketidakpercayaan terhadap sistem politik yang ada.
Pelanggaran dalam Pemilu Orde Baru
Partisipasi politik masyarakat juga terbatas. Meskipun secara teori terdapat partai-partai oposisi, namun kendali politik yang ketat dan ketakutan akan represi menyebabkan masyarakat cenderung menghindari keterlibatan politik yang kritis. Hal ini tercermin dalam tingkat partisipasi pemilih yang relatif rendah.
Di tengah dominasi politik yang tak tertandingi oleh Soeharto, terdapat beberapa upaya kecil dari pihak oposisi untuk menghadapi rezim otoriter ini. Namun, mereka sering dihadapkan pada represi dan penindasan dari aparat keamanan.
Suara-suara kritis ditindas, dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia sering kali terjadi tanpa adanya pertanggungjawaban. Secara keseluruhan, kondisi Indonesia saat pemilu di era Orde Baru adalah suasana politik yang terkontrol ketat oleh pemerintah, dengan kurangnya kebebasan politik dan keterlibatan masyarakat yang terbatas.
Pemilu menjadi alat legitimasi bagi rezim otoriter, sementara keadilan dan demokrasi sejati sulit ditemukan dalam sistem politik yang dijalankan secara otoriter tersebut.
Komentar