Hukum
Beranda » Berita » Kontroversi Film Vina Sebelum 7 Hari; Asosiasi Lawyer Muslim Indonesia Adukan ke LSF

Kontroversi Film Vina Sebelum 7 Hari; Asosiasi Lawyer Muslim Indonesia Adukan ke LSF

Harianbatakpos.com , CIREBON –  Asosiasi Lawyer Muslim Indonesia (ALMI) mendatangi kantor Lembaga Sensor Film Republik Indonesia (LSF) untuk mengadukan film “Vina Sebelum 7 Hari“.

Film ini mengangkat kasus pembunuhan Vina yang kembali menjadi sorotan publik setelah film tersebut dirilis. Pengaduan ini adalah tindak lanjut dari arahan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri yang meminta agar film tersebut terlebih dahulu diadukan kepada LSF.

Pada Kamis, 30 Mei 2024, Ketua ALMI, Zainul Arifin, menyampaikan laporan ke LSF yang diterima oleh Wakil Ketua Ervan Ismail bersama komisioner Nasrullah dan Noorca M. Massardi.

Kejutan Hukum di China: Zhao Weiguo Terjerat Kasus Korupsi

“Mereka menerima kami dengan hangat dan positif, menerima masukan dan kritik dari masyarakat atas beredarnya film tersebut,” kata Arifin pada Jumat, 31 Mei 2024. Kedatangan Arifin ke kantor LSF adalah tindak lanjut dari pengaduan yang sebelumnya telah dilaporkan ke Mabes Polri, seperti dilansir dari Metro.Tempo.co.

Dalam pengaduannya, ALMI mempertanyakan bagaimana LSF dapat meloloskan film “Vina Sebelum 7 Hari” yang menampilkan adegan-adegan vulgar seperti penyiksaan dan penganiayaan terhadap almarhumah. “Ada adegan pemerkosaan dengan penyiksaan yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang.

Ini terlalu vulgar, apalagi saat itu almarhumah diperkirakan masih di bawah umur, sehingga diduga mengandung unsur pornografi,” jelas Arifin.

Sama seperti laporan mereka di Mabes Polri, ALMI berharap agar film ini dapat ditarik dari peredaran. Menurut Arifin, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 28 Permendikbud Nomor 14 Tahun 2019 tentang pedoman dan kriteria penyensoran, serta penggolongan usia penonton.

Penjarahan Toko Apple di Los Angeles: Alarm iPhone Berbunyi

“Diatur tentang peran masyarakat yang dapat melaporkan film yang sudah lolos sensor apabila menimbulkan gangguan terhadap keamanan, ketertiban, ketentraman, atau keselarasan hidup masyarakat,” lanjut Arifin.

Pertemuan dengan LSF berlangsung selama satu jam dan pihak LSF berjanji akan menindaklanjuti laporan tersebut. “Kami masih menunggu proses dan jawaban dari pihak LSF, mereka akan menindaklanjuti sesuai pasal 28 Permendikbud,” ucap Arifin.

Setelah mengadukan ke LSF, ALMI juga berencana mengunjungi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk meminta pendapat. “Pekan depan kita akan ke KPI dan MUI,” tuturnya.

Di sisi lain, produser film “Vina Sebelum 7 Hari”, Dheeraj Kalwani, buka suara terkait pelaporan oleh ALMI ke Bareskrim Polri pada Selasa, 27 Mei 2024. Menurut Dheeraj, film ini tidak menyebabkan kegaduhan di masyarakat dan hanya merupakan respon dari netizen yang meminta keadilan.

“Mana bisa film membuat gaduh masyarakat, ini kan dorongan dari netizen yang minta keadilan pada saat hari ke-3 dan ke-4 film ini mulai ramai,” kata Dheeraj pada Kamis, 30 Mei 2024.

Film yang dirilis pada 8 Mei 2024 ini telah lulus sensor dan mengikuti prosedur hukum. Dheeraj menjelaskan bahwa film ini dibuat berdasarkan riset dan wawancara dengan keluarga almarhumah Vina, termasuk orang tua, kakak, hingga kakek dan neneknya. “Kita memang ambil sudut pandang cerita dari keluarga almarhumah Vina,” ucapnya.

Dheeraj juga menegaskan bahwa film ini telah mencantumkan disclaimer bahwa semua adegan didramatisasi untuk keperluan komersial, bukan dokumenter. “Karena kita bukan bikin dokumenter, film ini memang untuk komersial, harus mengandung emosi dan drama. Kalau dokumenter harus benar, saya harus wawancara penyidiknya dan menunjukkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP),” jelasnya.

Tujuan utama pembuatan film ini adalah untuk mengangkat isu-isu penting seperti bullying, geng motor liar, dan pergaulan yang salah. “Pesan-pesan itu yang saya coba angkat,” tutur Dheeraj.

Kontroversi seputar film “Vina Sebelum 7 Hari” menunjukkan betapa sensitifnya isu-isu yang diangkat dalam film tersebut. Di satu sisi, ada yang merasa film ini terlalu vulgar dan mengandung unsur pornografi, sementara di sisi lain, ada yang melihatnya sebagai cara untuk membuka kembali fakta-fakta yang belum terungkap dan memberikan keadilan kepada keluarga korban.

Dalam situasi ini, penting bagi semua pihak untuk mencari solusi yang dapat menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial. Bagaimana pun, perhatian dan dukungan kepada korban dan keluarganya harus tetap menjadi prioritas utama.

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Postingan Terpopuler

BatakPos TV

Kominfo Padang Sidempuan

Kominfo Padang Sidempuan