JAKARTA – BP: Usulan TNI untuk memperbolehkan prajurit terlibat dalam kegiatan bisnis menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Pengamat militer dari Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), Made Supriatma, menyoroti potensi revisi Pasal 39 huruf c dalam Undang-undang TNI yang mengatur larangan prajurit aktif terlibat bisnis.
Menurut Made, argumentasi bahwa prajurit hanya terlibat dalam bisnis seperti mengantar istri berbelanja atau menjadi sopir taksi online setelah bertugas, tidak seharusnya disamakan dengan bisnis sejati. “Prajurit yang hanya membuka warung milik istri atau berjualan sate kroyos di luar jam dinasnya tidak menggunakan keprajuritannya untuk berbisnis secara resmi,” jelas Made.
Diskusi ini muncul setelah Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI, Laksda Kresno Buntoro, mengusulkan revisi UU TNI untuk menghapus larangan tersebut. Kresno menyebut bahwa jika istri prajurit memiliki usaha seperti warung, maka prajurit tersebut secara tidak langsung terlibat dalam bisnis tersebut.
Namun, Made menegaskan perlunya batasan yang jelas mengenai apa yang dianggap sebagai kegiatan bisnis yang dibolehkan bagi prajurit TNI. “Revisi harus mendefinisikan dengan tepat batasan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh prajurit TNI dalam bisnis,” tambahnya.
Revisi UU TNI ini juga mempertegas bahwa prajurit tidak boleh menggunakan jabatannya untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau melalui anggota keluarganya. “Ini adalah langkah untuk menghindari konflik kepentingan dan mempertahankan integritas TNI sebagai institusi pertahanan negara,” ujar Made.
Diskusi mengenai revisi UU TNI ini masih terus berlangsung di DPR, dengan banyak pihak yang memberikan pandangan berbeda mengenai implikasi dari perubahan tersebut terhadap fungsi dan citra TNI, dilansir dari Kompas.com.
Komentar