Nasional
Beranda » Berita » KPK Sebut Skema Impor BBM Tidak Efisien dan Rugikan Negara

KPK Sebut Skema Impor BBM Tidak Efisien dan Rugikan Negara

Jakarta-BP: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut skema impor BBM yang tidak efisien dan merugikan negara. Temuan ini tertuang dalam hasil kajian transformatif impor BBM yang dilakukan lembaga antirasuah tersebut mulai November 2017 – Februari 2018.

Dalam kajian tersebut, dikatakan, pada 2017, rentang izin yang dibutuhkan untuk mengurus perizinan impor memakan waktu kurang lebih 100 hari kerja. Hal ini menunjukkan tata laksana impor BBM tidak kompatibel dengan karakteristik komoditasnya sehingga menjadi tidak efisien dan merugikan negara.

Dari sisi operasionalnya, ditemukan juga bahwa tata laksana penetapan kuota yang tidak transparan, adanya redundancy dalam proses bisnis perizinan impor (melalui BKPM), ada juga redundancy surveyor, dan pembongkaran dan pemeriksaan fisik yang memakan waktu.

Krisis di Israel: Suara dari Tengah Konflik

Adapun,kondisi yang diharapkan yakni penataan perizinan melalui sistem daring yang mampu memangkas waktu pemrosesan perizinan menjadi 13 – 21 hari kerja.

Kondisi ideal yang diharapkan ini dapat terwujudkan melalui parameter hilangnya hambatan penyediaan BBM (tidak ada lagi kelangkaan BBM karena masalah pasokan) dan inefisiensi, kejelasan standar layanan instansi yang memberikan perizinan impor BBM (Kementerian ESDM, Kementerian Perdagangan, dan Bea Cukai), dan minimnya potensi dan risiko korupsi sepanjang bisnis proses perizinan.

Sebelumnya, KPK juga menilai kebijakan kewajiban penggunaan FAME dalam B20 rawan potensi korupsi.

Hal ini terungkap dalam kajian transformatif impor BBM yang dipaparkan oleh Direktur Penelitian dan Pengembangan KPK Wawan Wardiana.

KKP Menanggapi Rumor Penjualan Pulau Cantik di Anambas

“Masih terdapat kerawanan korupsi pada beberapa proses bisnis seperti kewajikan penggunaan FAME/Bioethanol, dan penggunaan lembaga surveyor dan system online yang belum terstandar,” seperti yang tertulis dalam kajian KPK yang diterima CNBC Indonesia, Senin (26/11/2018).

 

(CnbcIndonesia) BP/JP

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *