Medan-BP: Keterwakilan perempuan di partai politik dalam menjalankan kariernya, harus mendapat kepercayaan penuh dari suami. Adanya kepercayaan dari suami ini, akan membuat isteri lebih percaya diri serta leluasa dan tidak terhambat dalam menjalankan perannya.
Kaban Kesbangpol Medan Sulaiman Harahap, SH, MAP mengatakan hal itu saat membuka acara Sosialisasi Pendidikan Politik Bagi perempuan Pengurus Partai Plitik/Lembaga Kota Medan yang digelar Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Medan di Gedung Quba Asrama Haji Medan Jalan AH Haris Nasution Medan, Rabu (30/12/2020).
Disamping itu, jelas Sulaiman lagi, para suami harus menyokong kiprah isteri dalam menjalankan politiknya apalagi saat ini keterwakilan perempuan sangat menentukan dan telah diamanahkan dalam Undang-undang dalam pemilihan legislative atau DPRD dengan dengan jumlah kuota yang telah ditentukan agar kehadirannya dapat menjadi keseimbangan dengan keberadaan atau jumlah laki-laki.
“Kita harapkan para suami menyokong kegiatan politik isterinya sehingga perempuan dalam menjalankan kariernya tidak terhambat dan berjalan dengan lancer,” jelas Sulaiman pada acara yang dihadiri Ketua Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Medan Eli Juliati, S Ag, MPD, Sekretaris KPPI Medan Yusnizar Husin, SH yang juga sebagai moderator, Ketua panitia Hj. Sri Rezeki, AMD yang mengawali acara dengan sambutannya, Sekretaris panitia Dra Dian Wahyuni, Timo Dahlia Daulay Ketua KPU Deliserdang, Ir. Meutia fadilah, M.Eng, Dosen Unimed dan Aktivis Perempuan, seluruh pengurus serta perwakilan parpol dan ormas perempuan yang berjumlah seratus orang dan undangan lainnya.
Pada kesempatan itu Ketua Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Medan Eli Juliati, SAg, MPD dalam acara menghadirkan beberapa nara sumber itu, menyebutkan, agar Ketua Partai Politik (Parpol) dapat memberikan pemahaman politik kepada setiap kadernya dalam kiprahnya dalam berpolitik.

Saat pemberian cendera mata. BP/Erwan Ilyas
Salah satu yang patut diapresiasi adalah upaya parpol untuk memaksimalkan kuota 30 persen caleg perempuan. Di tingkat pusat, 16 parpol peserta pemilu berhasil memenuhi kuota 30 persen caleg perempuan.
Aturan tentang kewajiban kuota 30 persen bagi caleg perempuan, sebut Juliati lagi, adalah salah satu capaian penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia pascareformasi. Aturan tersebut tertuang dalam sejumlah UU, yakni UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR-DPRD yang di dalamnya juga memuat aturan terkait Pemilu tahun 2009.
UU No. 2 Tahun 2008, mengamanahkan pada parpol untuk menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30 dalam pendirian maupun kepengurusan di tingkat pusat. Angka 30 persen ini didasarkan pada hasil penelitian PBB yang menyatakan bahwa jumlah minimum 30 persen memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga publik.
UU No. 10 Tahun 2008, juga mewajibkan parpol untuk menyertakan 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan tingkat pusat. Syarat tersebut harus dipenuhi parpol agar dapat ikut serta dalam Pemilu. Peraturan lainnya terkait keterwakilan perempuan tertuang dalam UU No. 10 Tahun 2008 Pasal ayat 2 yang mengatur tentang penerapan zipper system, yakni setiap 3 bakal calon legislatif, terdapat minimal satu bacaleg perempuan.
Meski representasi perempuan di ranah politik praktis sudah didorong sedemikian rupa melalui berbagai macam kebijakan, namun hasilnya masih jauh dari memuaskan. Seturut data Inter Parliamentary Union (IPU), seperti dikutip Scholastica Gerintya (2017) di level ASEAN Indonesia menempati peringkat keenam terkait keterwakilan perempuan di parlemen. Sementara di level dunia internasional, posisi Indonesia berada di peringkat ke-89 dari 168 negara, jauh di bawah Afganistan, Vietnam, Timor Leste, dan Pakistan.
Juliati menambahkan, kehadiran perempuan di ranah politik praktis yang dibuktikan dengan keterwakilan perempuan di parlemen menjadi syarat mutlak bagi terciptanya kultur pengambilan kebijakan publik yang ramah dan sensitif pada kepentingan perempuan. Tanpa keterwakilan perempuan di parlemen dalam jumlah yang memadai, kecenderungan untuk menempatkan kepentingan laki-laki sebagai pusat dari pengambilan kebijakan akan sulit dibendung.
Perempuan Dalam Berpolitik
Sedang Ir Meutia Fadila Fachruddin, MEng,Sc salah satu nara sumber dalam acara itu, menyampaikan makalahnya, salah satunya partisipasi perempuan dalam berpolitik. Tidak ada hambatan untuk perempuan secara legalitas, walaupun jumlah perempuan meningkat partisipasnya tetapi masih rendah.
Sesuai UNDP (2010) menyimpulkan bahwa upaya yang harus dilakukan: Penyadaran , terhadap masyarakat (public awareness), kuota 30% diperluas, seluasnya, penguatan perempuan secara organisasi untuk pengausutamaan gender dan harus ada strategi untuk memobilisasi.

Foto bersama saat registrasi. BP/Erwan Ilyas
Sedang peran perempuan, sebut Meutia lagi, mulai menjadi calon Presiden, Gubernur, Walikota, Bupati, Anggota Legislatif, menjadi pemilih cerdas, menjadi motovator keluarga, teman, tetangga, lingkungan pekerjaan/organisasi untuk milih, membantu calon dengan visi dan misinya yang pro kepada rakyat khususnya perempuan dan anak serta ikut sebagai penyelenggara KPU, Bwaslu, Panwas, PPK, PPS, saksi dan lainnya.
Dia juga mengaku, masih ada kesenjangan partisipasi antara laki-laki dan perempuan diberbagai bidang seperi pendidikan, tenaga kerja dan politik karena perempuan masih ada yang tertinggal disegala bidang serta menghadapi hambatan. Untuk itu, perlu strategi khusus yang disebut gendermainstraming (pengarusutamaan gender, imbuh Meutia.
Acara berlangsung sukses dan diakhiri dengan pemberian cendera mata kepada moderator dan sertifikat kepada peserta dan panitia.(BP/EI)
Komentar