Medan, HarianBatakpos.com – Pemerintah Indonesia saat ini tengah menghadapi tantangan besar dalam menegosiasikan tarif timbal balik sebesar 32 persen dengan Amerika Serikat. Hal ini disorot oleh Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho. Sayangnya, situasi semakin rumit karena Indonesia tidak memiliki Duta Besar (Dubes) yang ditempatkan di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk Washington DC selama hampir dua tahun.
Andry menegaskan, “Jadi ada kekosongan representatif (Indonesia) di US. Ini yang juga menurut saya sesuatu yang melihat bahwa US itu bukan mitra dagang potensial atau strategis kita.” Pernyataan ini menyoroti pentingnya kehadiran diplomatik dalam menghadapi isu-isu perdagangan yang krusial, dilansir dari kompas.com.
Kosongnya posisi Dubes Indonesia untuk AS telah berlangsung sejak Juli 2023. Hal ini menjadi kendala dalam diplomasi yang seharusnya memperkuat hubungan perdagangan antara dua negara. “Kita tidak punya ya Dubes yang kita taruh di Washington, itu udah hampir dua tahun,” imbuh Andry.
Dengan banyak produk unggulan Indonesia seperti perlengkapan elektrik dan pakaian yang berpotensi terkena dampak tarif, ketidakpastian ini semakin menambah kekhawatiran. “Kita tahu banyak produk yang akan sulit masuk ke pasar US,” ujar Andry, yang menegaskan perlunya langkah yang lebih konkret dari pemerintah.
Dalam konteks ini, negosiasi tarif 32 persen menjadi semakin mendesak. Tanpa adanya Duta Besar yang menjalankan peran penting dalam diplomasi, Indonesia berisiko kehilangan kesempatan untuk memperjuangkan kepentingan ekonominya. “Jadi memang tidak ada kata yang lebih tepat selain bahwa pemerintah melakukan pengabaian,” tutup Andry.
Komentar