Medan, HarianBatakpos.com – Kisruh mutasi Letjen Kunto Arief Wibowo menjadi sorotan utama setelah pernyataan Mayjen TNI (purn) TB Hasanuddin yang menilai Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto telah melakukan pembangkangan. Dalam proses mutasi dan rotasi perwira tinggi, seharusnya ada mekanisme yang jelas melalui Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjakti). Namun, menurut TB Hasanuddin, kasus Letjen Kunto menunjukkan keanehan yang mencolok.
TB Hasanuddin menjelaskan, “Namanya mutasi pada level atas itu ada Wanjakti, keputusannya itu digodok di staf.” Proses panjang yang seharusnya dilalui sangat terputus ketika keputusan mutasi Letjen Kunto diumumkan tanpa melalui prosedur yang semestinya. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang integritas dan transparansi dalam pengambilan keputusan di lingkungan TNI, dikutip dari laman kompas.com.
Pembangkangan dalam Proses Mutasi TNI
Lebih lanjut, TB Hasanuddin menduga adanya campur tangan dari Presiden ke-7 Joko Widodo dalam keputusan tersebut. Ia menggarisbawahi bahwa, “Konon itu yang menjadi penggantinya (Letjen Kunto) adalah mantan ajudan Presiden ke-7.” Tudingan ini menunjukkan kompleksitas politik yang mungkin mempengaruhi keputusan mutasi di tubuh TNI.
Dalam konteks hukum, TB Hasanuddin mengingatkan bahwa berdasarkan UUD 1945, Presiden adalah pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Laut, dan Udara. “Masalahnya itu sudah sesuai perintah dari Presiden (Prabowo)?” tanyanya, menyoroti kebingungan dalam struktur komando TNI saat ini.
Kisruh mutasi Letjen Kunto Arief Wibowo ini menunjukkan betapa pentingnya proses yang transparan dan akuntabel dalam pengambilan keputusan di lingkungan militer. Dengan adanya dugaan pembangkangan oleh Panglima TNI, publik berhak menuntut penjelasan lebih lanjut untuk menjaga kepercayaan terhadap institusi ini.
Sebagai penutup, penting untuk mencermati setiap langkah dan keputusan yang diambil oleh pemimpin TNI. Kisruh ini mungkin hanya satu dari sekian banyak tantangan yang dihadapi oleh institusi militer di Indonesia.
Komentar