HarianBatakpos.com – Ada teman sekolah Marco yang jahat. Panggil saja dia Vivo. Nama lengkapnya, Marco tak ingat betul. Buat apa juga menyematkan nama perundung ke dalam selempang ingatan?
Ya, Vivo adalah sosok pembully. Gelar itu malah mencipta bangga dan berkuasa di hatinya. Bayangkan, anak 10 tahun sudah berpikiran begitu! Marco selalu menjadi target empuk untuk Vivo.
“Pagi, Beruang Pirang! Anak Wong Gendeng!” Vivo berteriak keras-keras ketika Marco melangkahi gerbang sekolah.
Bagaimana perasaanmu kalau dibegitukan? Demi mendengar batangan kalimat Vivo yang terakhir, Marco sontak membalik badan.
“Appa-ku bukan wong gendeng!” Dia balas berteriak.
Vivo terkikik melecehkan. Kaki panjangnya terayun lurus menjajari Marco. Dua bocah lelaki yang seharusnya menjadi kawan sekelas yang menyenangkan itu menyusur koridor berdinding warna krem membosankan. Sejumlah murid yang sudah tiba, memandang mereka waswas. Lebih tepatnya mata mereka tersangkut pada Marco yang terpaksa berjalan bersebelahan dengan si penggertak. Ya mau bagaimana? Lorong ini hanya muat untuk dilewati dua anak kecil dalam satu deret.
Pintu kelas 4A tinggal semeter lagi. Marco memekarkan senyum, menghibur diri bahwa di dalam sana dia akan berjumpa Zalina. Bukan, bukan. Ini bukan perkara asmara. Walau kabarnya bocil seumuran Marco saja telah lumrah mengenal cinta. Marco sudah diajari oleh Jesse Appa dan Martha Eomma bahwa Zalina layaknya adik sendiri.
“Ngapain senyum-senyum? Ketularan gila juga, kayak bapakmu?” gertak Vivo.
Ada yang lebih berat dari menahan rindu. Yaitu menahan marah di saat seharusnya kita tidak marah. Marco emoh ibadahnya di bulan suci ini ambyar gegara makhluk satu itu.
“Diam Vivo,” kata Marco tegas.
Ujaran si korban perundungan hanya ditanggapi delikan mata oleh si penggertak. Terhitung tiga kali sudah Vivo meletuskan perundungan verbal pada Marco sepagian ini. Dimulai dari memanggil nama yang tak pantas hingga membawa-bawa kondisi orang tua. Marco diejek “Beruang Pirang” hanya karena rambutnya memang blonde alami dan dia berdarah campuran Rusia. Oh man, blasteran tidak menjaminmu bebas dari perundungan. Apa lagi di lingkungan sekolah dasar seperti ini.
“Marco!” Zalina melambai riang.
Senyum si bocah blasteran melebar. Dia berjalan cepat ke bangkunya. Marco dan Zalina memang kawan sebangku. Lebih dari itu, mereka adalah saudara karena orang tua mereka bersahabat.
“Vivo nggak ngapa-ngapain kamu, kan?” lirik Zalina cemas.
Marco menggeleng cepat. Kelegaan menghampiri wajah mungil Zalina. Di barisan belakang, Vivo mencibir.
Bulan mulia tidak membuat kelakuan Vivo lebih baik. Anak berbadan bongsor itu tetap saja membully teman-temannya yang menurut dia pantas diperlakukan begitu. Dengar-dengar, orang tuanya malah bangga akan reputasi dan kelakuan Vivo. Kejanggalan besar manakala ada orang tua yang membenarkan perundungan.
Genap empat jenis perundungan pernah dijajal Vivo. Perundungan fisik sering ia lakukan. Tengok saja baret-baret di punggung putih Marco. Baret yang sejauh ini berhasil anak bule itu tutupi dengan rapi. Perundungan fisik? Yah, tadi kita sudah dengar sendiri. Perundungan sosial, Vivo pernah menghasut teman sekelas agar tidak boleh ada yang sekelompok dengan Marco saat pelajaran kesenian. Alhasil Marco mengerjakan tugas itu secara individu. Ini membuat gurunya iba dan memberikan nilai tinggi. Dan terakhir, perundungan cyber. Kejadiannya menimpa Amos, ketua kelas. Vivo mengajak Amos ikut perang sarung. Amos yang cinta damai jelas ogah. Besoknya, Vivo menabur ujaran negatif di kolom komentar sosial media sang ketua kelas.
Pelajaran demi pelajaran terlewati. Kelas berlangsung kondusif tanpa adanya gangguan berarti. Jam istirahat tiba, sebagian besar siswa tidak berhamburan mencari jajanan karena saat ini masih masa bulan suci. Marco dan Zalina pun hanya duduk di bangku mereka sambil mengobrol. Zalina bercerita tentang Ayah Fatah. Marco mendengarkan dengan cermat, tersenyum sesekali.
Lagi asyik-asyiknya mendengarkan Zalina bercerita, terdengar bunyi menyenangkan. Datangnya dari jam yang melingkari pergelangan tangan. Arloji Marco bukan sembarangan. Smart watch, begitu Jesse Appa menamakan.
“Halo Appa!” Marco berseru senang.
Ya, jam ini bisa buat menelepon juga. Tawa renyah sang ayah angkat menyambut. Marco rindu, sungguh rindu.
“Hai, Pemuda Kecil Appa. Gimana sekolahnya?”
“Seru. Tadi Marco belajar Bahasa Indonesia. Ini ada Zalina juga.”
Secara naluriah Marco belajar berahasia. Merahasiakan omongan pedas Vivo yang menyeret-nyeret ayah angkatnya tersayang.
Apa tanggapan Jesse? Marco tak tahu pasti. Detik berikutnya, seseorang menjumput kerah seragamnya kasar. Zalina memekik dan Marco terjerembap ke depan.
“Itu bapakmu yang telepon, ya? Marco ditelepon wong gendeng!” tempik nyaring Vivo.
Jam canggih kepunyaan Marco jatuh berdenting. Hancur berkeping-keping.
“Jangan ganggu Marco!” larang Zalina keras.
“Hei Beruang Pirang, kamu dibelain anak perempuan! Nggak malu?” ejek Vivo.
Keterlaluan. Perundung harus dilawan. Demi mencipta efek jera, Marco melompat bangkit dan menghantam tengkuk Vivo dengan kepalan tangannya. Vivo membalas dengan melukai punggung Marco. Anak bermata biru itu menjerit kesakitan karena lukanya yang hampir sembuh terbuka lagi.
“Marco! Marco!” tangis Zalina.
Amos bertindak cepat. Korban Vivo itu bergegas melapor ke kantor guru. Vivo dipanggil, tapi lagi-lagi tak mendapat tindakan tegas.
“Marco, kamu luka lagi.” Zalina membungkuk, ingin menyentuh punggung saudaranya. Namun pemuda cilik berparas tampan itu berkelit menjauh.
“Jangan … jangan bilang Appa,” pintanya terpatah-patah.
Satu instruksi bermakna luas. Jangan bilang Appa sama artinya dengan tidak bocor juga ke Ayah Fatah. Zalina menggigit bibir masygul.
**
“Marco, kenapa Nak? Kok mukanya sedih?”
Yang bertanya begini bukan Jesse Appa, melainkan Dokter Sima. Dia adalah adik perempuan Dokter Radar. Dokter Radar yang menangani Jesse Appa setahun terakhir.
Saat itu lewat sedikit dari batas siang. Marco telah lama menukar seragam sekolahnya dengan pakaian rumah yang lebih santai. Kelar mengerjakan PR dan mengulang pelajaran, anak blonde itu mengotak-atik konsol game dengan wajah muram di ruang keluarga.
“Nggak apa-apa. Dokter Radar mana, Kak?” tanya Marco sengaja ganti haluan pembicaraan.
“Masih di Villa Jiwa.”
Villa Jiwa adalah rumah sakit jiwa yang didirikan Dokter Radar. Tempat yang dulu mendekatkan Marco dengan Jesse Appa. Kini Jesse Appa sudah rawat jalan. Meski demikian, Marco belum dibolehkan tinggal bersama orang tua angkatnya. Dokter Radar bersikeras Marco serumah dengannya. Padahal Marco mau bet seatap dengan Jesse Appa dan Martha Eomma.
“Oh iya Marco, nanti Kak Sima dan Dokter Radar harus buka puasa di luar. Ada undangan bukber dari rumah sakit lain. Marco di rumah aja ya?” Dokter Sima melontar konfirmasi.
“He-em,” angguk Marco tanpa semangat.
Dokter Sima mengacak rambut Marco. Hawa sekitar Gunung Penanggungan dirajam dingin efek awal musim kemarau. Akan tetapi, Marco merasakan setetes hangat di sini.
Gerendel pintu ditarik. Memunculkan sosok setegak tiang listrik di ambangnya. Dokter Radar berderap masuk. Mencium Dokter Sima dan Marco. Berlaku layaknya kepala keluarga yang hangat.
“Marco, maaf ya. Nanti Marco buka puasa sendirian dulu. Nggak apa-apa, kan?” Dokter Radar berapologia.
“Nggak apa-apa,” sahut yang ditanya.
“Marco kita ini ala-ala generasi Z. Dibikin praktis aja,” seloroh Dokter Sima.
Dokter Radar tersenyum tanggung. Kalau bukan urusan rumah sakit, sudah pasti anak ini akan dia ajak. Lain hari, mereka akan menggantinya: bukber di luar. Mungkin di pujasera Kuburan Kembar. Atau di kafe Glagah Wangi milik Fatah Hedy Wijaya.
Sorenya, Marco ditinggal sendiri. Dokter Radar dan Dokter Sima melambaikan tangan dengan setengah hati.
“Bye, Marco!” ucap mereka sebelum mobil melaju pergi.
Langit senja tampak seperti punggung yang habis dikerok. Marco membawa amunisi buka puasanya ke area petirtaan Jolotundo. Malas berbuka sendirian di rumah berpenyejuk udara yang terlalu besar. Sambil menyelonjorkan kaki di atas bebatuan, Marco menikmati makanan pembuka puasa. Takjil, begitu istilahnya. Kekanak separuh Rusia separuh Jawa itu tak perlu repot ikut war takjil seperti orang-orang. Di rumah Dokter Radar semuanya sudah tersaji, lengkap dan enak pastinya.
Makan sendirian begini sangat tidak seru. Rindu pada Jesse Appa menderu. Baru minggu lalu mereka bertemu. Marco sudah dihajar rindu.
Takjil berikut makanan beratnya tandas sudah. Pelan-pelan Marco berjalan kembali ke rumah. Sambil mengayun langkah, dia menyanyi.
Apa kabarmu
Lama tak bertemu
Pernahkah aku terlintas di lamunanmu
Sesungguhnya tak mudah bagiku
Sebenarnya hati masih merindu kepadamu (Maudy Ayunda-Masih).
Marco rindu, sangat rindu. Dia terlampau ingin menetap dengan Jesse Appa dan Martha Eomma. Kedua kaki panjangnya telah menapaki lantai rumah. Pada saat beralena, telepon rumahnya berdering.
“Halo, kami dari Rumah Sakit Emma. Kami ingin mengabarkan bahwa Dokter Radar dan Dokter Sima mengalami kecelakaan ….”
Seluruh kota Mojokerto seolah rubuh dan menimpa Marco. Ironis, teramat ironis. Kakak-beradik dokter beranjangsana ke rumah sakit untuk silaturahmi. Namun mereka malah berakhir di rumah sakit berteman malaikat maut.
**
Sehabis pemotretan, Jesse menggeletak di tempat tidurnya. Ia nekat mengambil job pemotretan bersama Fatah dan Albert. Padahal kondisinya sedang kurang bagus.
Kamar di rumahnya yang menyerupai kamar hotel, disergap dingin. Jesse merapatkan selimut. Terdengar seseorang terburu memutar kenop pintu. Martha, istrinya, menyerbu masuk disusul Fatah dan Albert.
“Jess, you ok?” Albert sedikit terengah, duduk merapati ranjang.
“Nggak apa-apa, Al.” Jesse berbisik parau.
Layaknya seorang dokter, Albert membungkuk memeriksa sahabat kentalnya. Mencipta seringai geli di wajah Fatah, Martha, dan Jesse sendiri.
“Kita kayak lagi adu capek ya, Al. Kemarin kamu yang kelelahan. Sekarang aku,” ungkap Jesse.
Albert menghela napas. Mata birunya menyendu. Sejatinya, dia dan Jesse punya kondisi istimewa. Albert harus merelakan tiroidnya di meja operasi akibat kanker. Jesse mengalami PTSD dan juga anemia hemolitik, penyakit warisan dari mendiang ibu kandungnya.
“Apa yang kamu sedihkan, Sayangku?” usik Martha halus.
“Marco. Aku curiga dia kena bully di sekolahnya.”
Fatah menimbrung. “Tapi Zalina nggak cerita apa-apa.”
“Ehm, menurutku kata bully dan sekolah nggak layak disandingkan,” tutur Albert.
Mereka semua menatapnya.
“Coba kita liat etimologinya. Kata bully, asalnya dari bull, yang artinya banteng. Para pembully adalah penggertak. Penggertak orang-orang yang lemah. Sekolah, we know, adalah lembaga pendidikan. Masa di lingkungan pendidikan ada penggertak orang lemah?”
Tercenung mereka mendengar penjelasan Albert yang gamblang. Lelaki Irlandia-Indonesia bermata biru itu tampak geram.
“Sayangnya, lingkungan pendidikan kini justru menjadi hutan belantara yang brutal,” desah Fatah.
Jesse manggut. Dia pun mengakuinya. Lingkungan pendidikan dan dunia pertemanan anak sekarang ini malah menjadi sarang yang jahat. Tempat bertumbuhnya para penggertak.
“Jesse, Sayang, nanti kita cari tahu ya? Yang penting kamu sehat dulu.” Martha menguatkan suaminya.
Sepasang hazel Jesse dan manik abu-abu Martha beradu. Martha mengirimkan tatapnya yang paling hangat.
“Aku percaya satu hal. Marco voor Jesse. Pada akhirnya, Marco hanya untuk kamu. Untuk kita,” hibur wanita keturunan Belanda itu.
Pesawat telepon di meja berdering. Jesse mengangkat badannya dengan hati-hati untuk menjawab telepon.
“Appa! Appa!” Marco terisak di seberang sana.
Jesse menegang. Lima detik berikutnya, dia terhuyung bangun. Dia harus mengambil alih Marco. Marco-nya. Marco yang sudah saatnya bermastautin di rumah yang ia mau.
Tentang Penulis
Maurinta adalah seorang gadis yang memiliki mata biru, lahir pada tanggal sembilan dan bulan sembilan. Ia merupakan seorang penulis yang telah menghasilkan 17 buku, termasuk di antaranya “Hati yang Sunyi” (diterbitkan oleh Penerbit Andi pada tahun 2023), “Temporary Papa” (diterbitkan oleh Intrans Publishing pada tahun 2023), dan “Mata Pengganti” (diterbitkan oleh AT Press pada tahun 2019), serta beberapa karya lainnya.
Selain menjadi penulis yang produktif, Maurinta juga memiliki latar belakang pendidikan yang membanggakan. Ia merupakan lulusan S2 Pendidikan Bahasa Indonesia dan meraih penghargaan sebagai awardee LPDP, menunjukkan dedikasinya dalam bidang pendidikan dan literasi.
Maurinta juga dikenal sebagai pendiri Sekolah Menulis Cantik, sebuah inisiatif yang bertujuan untuk mengembangkan bakat menulis dalam masyarakat. Selain itu, ia juga pernah menjadi duta merek (student ambassador) untuk brand Dr. Maskho Skincare, menunjukkan bahwa Maurinta memiliki keahlian dalam berkomunikasi dan berjejaring.
Dengan prestasi dan dedikasi yang dimilikinya, Maurinta adalah contoh inspiratif bagi generasi muda dalam mengejar impian dan meraih kesuksesan dalam dunia literasi dan pendidikan.
Komentar