Nasional
Beranda » Berita » Menag Yaqut: Salam Lintas Agama Menjaga Toleransi, Tidak Menggoyahkan Keimanan

Menag Yaqut: Salam Lintas Agama Menjaga Toleransi, Tidak Menggoyahkan Keimanan

Jakarta, Indonesia – Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas merespons hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VII terkait hukum salam lintas agama dengan pandangan yang berbeda. Menurut Yaqut, fatwa tersebut bersifat rekomendasi dan menekankan pentingnya mempertimbangkan aspek sosiologis dari salam enam agama.

Yaqut menjelaskan bahwa salam lintas agama merupakan praktik yang baik untuk menjaga toleransi antarumat beragama di Indonesia. Ia menekankan bahwa tidak semua hal harus dilihat dari sudut pandang teologis. “Salam enam agama itu adalah praktik baik untuk menjaga toleransi.

Tidak semuanya harus dikaitkan dengan hal-hal ubudiyah. Jadi jangan dilihat dari sisi teologis saja, ada sisi sosiologis yang harus dipertimbangkan,” ujar Yaqut seusai rapat dengan Komisi VIII DPR di gedung MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Selasa (4/6/2024).

Profil dan Kekayaan Mayjen Ariyo Windutomo

Menurut Yaqut, salam lintas agama adalah bentuk penghormatan antarumat beragama dan tidak memengaruhi keimanan seseorang. “Apakah benar kalau saya yang muslim mengucapkan salam agama lain, keimanan saya terganggu? Atau sebaliknya, nonmuslim mengucapkan ‘assalamualaikum’, keimanan mereka berubah? Kan tidak,” jelas Yaqut.

Yaqut juga mencontohkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah menyampaikan salam kepada umat nonmuslim, sehingga ia tidak sepakat jika salam lintas agama dianggap mencampuradukkan akidah. “Nabi juga pernah mengucapkan salam kepada umat nonmuslim.

Itu mencampuradukkan akidah, nggak? Makanya saya bilang, tidak semua hal bisa dibicarakan dalam ranah teologis. Ada ranah sosiologis, terutama dalam konteks Indonesia yang memiliki keragaman budaya, kultur, ras, dan agama. Cara saling menghormati adalah dengan salam lintas agama. Saya kira tidak perlu dipermasalahkan,” tegas Yaqut.

Sebelumnya, fatwa mengenai salam lintas agama dikeluarkan melalui Forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia. Wasekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI), Arif Fahrudin, menjelaskan tentang proporsionalitas toleransi di balik fatwa tersebut.

Profil Lengkap Suahasil Nazara Wakil Menteri Keuangan RI

“Tidak semua aspek dalam Islam bisa ditoleransi. Yang tidak diperkenankan dalam Islam adalah motif mencampuradukkan wilayah akidah dan ritual keagamaan atau sinkretisme, yang dapat mengaburkan garis demarkasi antara akidah dan muamalah,” kata Arif seperti dikutip dari situs MUI, Minggu (2/6).

Fatwa Ijtima Ulama MUI menganjurkan agar pejabat menjalankan fatwa hasil Ijtima Ulama tersebut. “Pejabat diharapkan menggunakan redaksi salam nasional agar semua pihak terangkum di dalamnya. Namun, jika hal itu tidak memungkinkan, maka pejabat publik atau pejabat di pemerintahan juga mendapat alasan syar’i atau udzur syar’i dengan syarat tidak diniatkan sebagai bentuk sinkretisme ibadah,” ujarnya.

Yaqut menilai bahwa pandangan ini terlalu sempit dan mengabaikan konteks sosial yang lebih luas. Dia menegaskan bahwa mengucapkan salam agama lain tidak berarti seseorang mengadopsi kepercayaan agama tersebut. “Ini tentang menghormati dan menjaga kerukunan. Mengucapkan salam agama lain tidak serta merta mengubah keimanan seseorang,” tambah Yaqut.

Dalam konteks Indonesia yang multikultural dan multireligius, menjaga kerukunan dan saling menghormati antarumat beragama sangatlah penting. Yaqut mengajak semua pihak untuk melihat salam lintas agama dari perspektif sosial dan budaya, bukan hanya dari sudut pandang teologis.

Meskipun fatwa MUI menekankan perlunya menjaga kemurnian akidah, Yaqut percaya bahwa salam lintas agama dapat menjadi sarana untuk memperkuat toleransi dan kerukunan di tengah masyarakat yang beragam. “Dalam konteks keindonesiaan, di mana kita memiliki keragaman budaya, kultur, ras, dan agama, cara saling menghormati salah satunya adalah melalui salam lintas agama. Ini bukan masalah teologis, tapi sosial,” ujarnya.

Yaqut juga menegaskan bahwa pemerintah tidak akan mencabut program salam lintas agama, karena melihat pentingnya menjaga kerukunan dan toleransi. Dia mengajak semua pihak untuk lebih bijak dalam menanggapi isu ini dan melihatnya sebagai upaya untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.

Kesimpulannya, Yaqut menekankan bahwa salam lintas agama adalah bentuk penghormatan dan toleransi yang tidak akan menggoyahkan keimanan seseorang. Ia berharap agar masyarakat bisa lebih memahami pentingnya menjaga kerukunan antarumat beragama dan tidak selalu melihat segala sesuatu dari perspektif teologis semata. “Mari kita jaga kerukunan dan toleransi, demi Indonesia yang damai dan harmonis,” tutupnya.

 

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *