Medan, Harianbatakpos – Kita ini memang bangsa yang unik. Penuh warna, drama, dan sentuhan ironi yang menggelitik. Di tengah hingar bingar yang serba hebat, manusia Indonesia dihadapkan pada satu pertanyaan besar: Apakah kita benar benar merdeka? Apakah kita bebas untuk menentukan keyakinan dan arah hidup kita? Atau, eh, tunggu dulu… apa benar kita punya kebebasan, atau cuma kebebasan versi demo, setengah jadi?
Mari kita coba bahas “otonomi moral”—sebuah istilah keren yang mungkin bikin kening berkerut. Nah, ini adalah kebebasan hakiki yang sebenarnya: bebas berpikir, bebas memutuskan, bebas memilih, dan tentu saja, bebas dari segala macam titipan paksaan dari luar. Tapi tenang, di Indonesia, “bebas” itu biasanya ada footnote (catatan kaki) kecil: “bebas selama sesuai aturan main mayoritas.” Hmm, bebas ya?
Bayangkan begini: seolah olah kita ini diberi sepeda baru, tapi bannya dikempesin dulu. Mau gowes, tapi roda nggak gerak. Kebebasan yang dikasih sama negara kita sering kali mirip—satu kaki diikat dengan rantai panjang biar nggak kabur, sementara satu kaki lagi dipersilakan jalan asal nggak jauh jauh. Kebebasan moral? Oh, iya, silakan saja, asal moralnya moral yang sudah dibentuk sebelumnya, dipoles manis, dan disegel rapi dalam kotak adat, agama, dan—tentu saja—politik.
Ngomong ngomong soal politik, nggak jarang kebebasan yang dijanjikan ini berubah jadi kertas kosong tanpa tinta. Lihat saja sejarah kita yang penuh warna warni ala sinetron. Dulu, ada raja raja, terus diganti penjajah, lalu kita merdeka—katanya sih begitu. Tapi setelah merdeka, kita dipaksa untuk bebas. Aneh kan? Dipaksa untuk bebas! Bukan cuma sekadar “ayo pilih agamamu,” tapi kalau bisa, “pilih yang ini, ya. Biar aman.” Kalau mau pilih yang lain? Silakan. Tapi ingat, nanti ada yang protes, ada yang demo, dan jangan heran kalau ada yang kirim surat kaleng penuh ancaman.
Itulah yang bikin otonomi moral di Indonesia kadang terasa seperti barang antik yang cuma bisa dilihat di museum. Kebebasan untuk berpikir dan memilih keyakinan? Oh, jelas ada… di katalog impian. Padahal, para filsuf besar seperti Immanuel Kant sudah teriak teriak sejak abad 18 soal otonomi moral ini. Kant bilang, “moralitas sejati itu ada kalau kita bertindak berdasarkan kehendak sendiri, bukan karena dipaksa.” Nah, coba tanyakan pada warga Indonesia yang mau keluar dari zona nyaman mayoritas: “Sejauh mana kehendakmu bebas, kawan?” Biasanya jawabannya: “Yah, bebas sih, tapi…”Ok
Indonesia ini memang ajaib. Kita punya konstitusi, lho! Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945 dengan gagah melindungi kebebasan beragama, dan tentunya kebebasan untuk nggak beragama juga. Tapi sayangnya, kadang kita hanya membaca separuhnya. Bukan cuma negara, masyarakat kita juga hobi bikin aturan tambahan. Ini kayak beli baju baru, tapi dibilang, “eh, bajunya harus dipakai dengan cara tertentu, ya, biar nggak salah gaya.”
Kasihan memang, mereka yang ingin berbeda—entah itu nggak beragama atau sekadar mencoba berpikir kritis. Mereka dipandang aneh, dijadikan bahan gosip, bahkan kadang dicurigai lebih bahaya daripada korupsi. Coba tanya pada mereka yang memilih jalan sunyi. Masyarakat kita seolah lupa kalau kebebasan itu bukan hanya hak untuk mengikuti norma mayoritas, tapi juga hak untuk berjalan di jalan yang tak biasa. Tapi ya, namanya juga Indonesia, kebebasan itu kadang jadi semacam barang mewah yang cuma bisa dirasakan oleh yang “benar.”
Oke, mari kita bicara tentang tugas negara. Dalam naskah drama konstitusional, negara kita punya peran penting: jadi pengayom, pelindung, penyedia kebebasan. Tapi sayangnya, peran ini sering dimainkan dengan gaya ala kadarnya. Negara bilang, “Kami jaga kebebasan kalian!” Tapi sering kali, di balik layar, negara malah mengintip dan memastikan kebebasan itu tetap terkendali. Ajaib kan? Negara kita ini mirip bapak bapak overprotektif yang selalu khawatir anaknya main terlalu jauh.
Padahal, kebebasan itu hak alami kita sejak lahir. Bukan cuma hasil diskon dari negara. Kebebasan berpikir, merasa, dan memilih adalah bagian dari paket hidup manusia. Tapi di Indonesia, kadang rasanya paket itu dibatasi kuotanya. Paling paling dikasih yang unlimited tengah malam, saat semua orang tidur.
Pada akhirnya, otonomi moral ini bukan sekadar tentang kebebasan formal di atas kertas. Ini tentang keberanian kita untuk mendefinisikan diri, tanpa harus khawatir dengan sorotan mata atau lemparan kata. Sayangnya, di Indonesia, keberanian ini sering kali berubah jadi semacam tantangan. Kita harus merayap di bawah radar, terus menunduk agar tidak mencolok, sembari berpura pura sesuai dengan skenario yang sudah ditentukan.
Tapi hei, jangan khawatir! Seperti drama TV, setiap episode kebebasan di negara ini selalu punya kejutan. Mungkin suatu saat, kita akan benar benar bisa merasakan kebebasan sejati tanpa embel embel. Siapa tahu, kan? Namanya juga Indonesia, negeri yang penuh dengan plot twist(kejutan)
Komentar