Myanmar, HarianBatakpos.com – Pemimpin junta militer Myanmar, Min Aung Hlaing, dijadwalkan melakukan perjalanan langka ke luar negeri untuk menghadiri KTT regional di Bangkok pada Kamis (3/4/2025).
Perjalanan ini mengundang perhatian internasional, terutama karena dilakukan di tengah krisis kemanusiaan yang melanda Myanmar akibat gempa dahsyat berkekuatan magnitudo 7,7 yang mengguncang wilayah tengah negara tersebut.
Bencana alam ini menjadi salah satu yang terkuat dalam satu abad terakhir dan menyebabkan lebih dari 3.000 orang tewas serta menghancurkan infrastruktur, mengakibatkan kelangkaan makanan, air bersih, dan tempat tinggal bagi jutaan warga.
Berdasarkan data resmi yang dikutip dari televisi pemerintah China, CCTV, gempa ini telah menewaskan lebih dari 3.000 orang.
Selain itu, bencana ini memporak-porandakan banyak bangunan dan mengganggu akses transportasi serta komunikasi di wilayah yang terdampak.
Untuk merespons bencana ini, pemerintah militer Myanmar mengumumkan gencatan senjata sepihak selama 20 hari sebagai upaya untuk mendukung proses pemulihan.
Namun, pihak militer juga memperingatkan akan “merespons dengan tegas” jika kelompok pemberontak melakukan serangan selama periode tersebut.
Kunjungan Min Aung Hlaing ke Bangkok untuk menghadiri KTT negara-negara Asia Selatan menjadi perjalanan luar negeri yang jarang terjadi, mengingat selama ini ia dilarang menghadiri pertemuan ASEAN dan dijatuhi sanksi oleh negara-negara Barat.
Min Aung Hlaing juga menjadi subjek investigasi Mahkamah Pidana Internasional terkait pelanggaran hak asasi manusia.
Beberapa analis menilai bahwa kehadirannya di forum ini bisa dimanfaatkan untuk mencari legitimasi menjelang pemilu kontroversial yang direncanakan pada Desember mendatang, yang dianggap akan semakin memperkuat kekuasaan militer di Myanmar.
Organisasi kemanusiaan menyerukan agar pembatasan akses segera dicabut untuk mempercepat pengiriman bantuan ke daerah yang terdampak gempa. Direktur International Rescue Committee (IRC) untuk Myanmar, Mohamed Riyas, menyebutkan bahwa kebutuhan kemanusiaan saat ini sangat besar, mencakup layanan medis, air bersih, makanan, dan tempat tinggal sementara.
Di Mandalay, sekitar 500 bangunan runtuh total, dan 800 bangunan lainnya mengalami kerusakan parah.
Banyak warga yang terpaksa tinggal di luar ruangan dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, kekurangan air bersih, serta terancam penyakit akibat sanitasi yang buruk.
Namun, situasi ini diperparah dengan konflik bersenjata yang masih berlangsung. Amnesty International melaporkan bahwa militer Myanmar masih melakukan serangan udara di dekat wilayah yang terdampak bencana.
Meskipun pihak militer Myanmar menyatakan telah menghentikan serangan, Min Aung Hlaing menuduh kelompok pemberontak mencoba memanfaatkan situasi untuk melancarkan serangan baru.
Beberapa kelompok pemberontak, termasuk yang utama, telah mengumumkan gencatan senjata untuk memfasilitasi distribusi bantuan kemanusiaan, meskipun laporan menunjukkan adanya hambatan besar dalam akses bantuan.
China, yang merupakan negara pertama yang mengirimkan bantuan, termasuk tim penyelamat dan dana sebesar 100 juta yuan (sekitar Rp219 miliar), turut menghadapi hambatan dalam distribusi bantuan.
Kementerian Luar Negeri China menyerukan agar semua pihak menjamin keselamatan petugas bantuan dan memastikan jalur distribusi tetap terbuka.
Sementara itu, organisasi HAM seperti Human Rights Watch mendesak junta Myanmar agar tidak menghalangi operasi kemanusiaan dan menyarankan para donor internasional menyalurkan bantuan melalui lembaga independen, bukan lewat otoritas militer Myanmar.
Sementara itu, di Thailand yang juga terdampak gempa, korban tewas telah meningkat menjadi 22 orang. Pencarian terus dilakukan di reruntuhan gedung pencakar langit di Bangkok, tempat 15 orang tewas dan 72 lainnya masih hilang..
Komentar