HarianBatakpos.com – “Rotinya enak banget di sini, pokoknya kita harus makan sampai kenyang!” ujar Irna, gadis tambun dengan rambut yang dikepang di kedua sisi kepalanya. Seorang gadis lainnya terkejut, Sena, yang sedang melamun menatap makanannya, hanya tersenyum dan mengangguk menanggapi ucapan teman akrabnya itu, lalu kembali menatap beberapa menu berbahan dasar roti yang ada di meja mereka saat ini. Tangan lentiknya meraih garpu kecil dan meletakkannya di piring dihadapannya, sementara tangannya yang lain meremat ujung blouse yang ia kenakan. Sena terlihat sedikit takut dan panik.
“Satu macaron itu … sekitar 100 kalori,” gumam Sena.
“Apanya, Na?”
Sena terkesiap karena ia tidak mengira Irna akan mendengar ucapannya. Sena menggelengkan kepalanya dan memaksakan untuk tersenyum. “Macaronnya kelihatan enak.”
Irna yang mendengar itu sontak mengangguk riang, “Emang enak banget! Aku kemarin udah beli satu kotak, pokoknya kamu harus cobain!”
Sena tertawa pelan melihat Irma yang terlihat sangat bersemangat. Lalu perhatiannya teralihkan pada macaron itu lagi, ia meneguk ludahnya beberapa kali sebelum jari lentiknya meraih macaron tersebut dan menggigitnya setengah. Sena dapat merasakan tenggorokannya tertutup, perutnya mulai merasa mual saat rasa manis melebur di dalam mulutnya. Irna menatap Sena dengan penuh harap. Melihat Sena berhenti mengunyah, gadis tambun itu langsung melontarkan pertanyaan, “Gimana rasanya? Enak gak?”
Sena mengangguk dan menyeka mulutnya dengan tisu setelah meminum hampir setengah botol air mineral. “Enak kok,” ucapnya sambil tersenyum lembut.
Irna tersenyum puas mendengar jawaban sahabatnya itu, lalu mulai memakan menu yang ia pesan tadi. Irna terlihat sangat menikmati makanannya, lain lagi dengan Sena. Gadis bermata coklat itu melirik ke sudut kafe berulang kali, lalu berdiri dari kursinya.
“Aku ke toilet dulu ya,” pamit Sena pada Irna.
Sena berjalan masuk ke dalam toilet, lalu berjalan ke bilik di paling ujung, memeriksa bilik di toilet itu satu persatu. Setelah memastikan tidak ada seorang pun di toilet itu, Sena masuk ke dalam salah satu bilik tersebut.
Setelah beberapa saat, Sena berjalan gontai ke arah wastafel untuk menyeka wajahnya. Suara keran air berhenti terdengar dari toilet umum itu, hanya tersisa suara nafas berat yang keluar dari mulut seorang gadis yang sedang menatap kosong ke arah pantulan dirinya sendiri di permukaan cermin. Sena menyeka bagian mulutnya yang basah, matanya yang seharusnya berwarna cokelat terang berubah menjadi merah karena ia terlalu memaksakan dirinya sendiri. Ia memastikan di bajunya tidak ada sisa dari muntahan makanan yang beberapa menit lalu ia paksakan untuk keluar dari tenggorokannya. Tangannya yang kurus berusaha menompang tubuhnya yang bergetar agar tidak rubuh, jemari lentiknya mulai bergerak mengukur pergelangan tangannya dengan teliti dan lalu mendekatkan wajahnya ke cermin, memastikan ukuran wajahnya tidak membesar karena satu potong macaron yang ia makan tadi. Sepasang netra itu terus melekat pada refleksi dirinya di cermin untuk memastikan tidak ada celah yang terlewatkan.
“Harusnya aku engga ikut Irna kesini.”
Beberapa kali ia meneguk ludahnya, merasakan sakit di bagian tenggorokan, dan lalu gadis itu mencoba menenangkan dirinya sendiri seolah hal itu bukanlah hal yang aneh apalagi buruk, lagipula ini adalah rutinitas yang sering ia lakukan, pikir Sena. Nama gadis itu Sena, gadis berwajah tirus yang memiliki bola mata berwarna cokelat terang namun tatapannya terlihat kosong, kulit putih yang seharusnya terlihat cerah malah terlihat pucat seperti orang sakit, rambut hitam legam yang seharusnya bisa terlihat indah bergelombang andai saja tidak menipis karena rontok setiap hari.
Orang-orang disekelilingnya sering kali bertanya apakah ia sedang sakit karena penampilan Sena yang selalu terlihat pucat, namun Sena hanya tersenyum dan menyangkal hal tersebut. Sena yakin bahwa tidak ada yang salah dari tubuhnya. Namun, ia tidak bisa menyangkal hasil dari bimbingan konselingnya beberapa minggu yang lalu, kenyataan bahwa dirinya di diagnosa memiliki riwayat Eating Disorder membuat Sena mulai memikirkan tentang apa yang telah ia lewati 2 tahun belakangan ini.
Di satu sisi Sena tahu bahwa yang ia lakukan ini tidak wajar, memuntahkan makanan dan memaksa dirinya untuk tidak makan apapun selain permen karet tanpa gula adalah rutinitas harian yang telah gadis itu jalani semenjak ia menginjakkan kaki di bangku SMA, hal itu ia lakukan hanya untuk menjaga berat badannya.
Gadis itu masih menatap lurus pada bayangannya di cermin, Sena merasa bahwa dirinya memang terlihat terlalu pucat belakangan ini, dan tiba-tiba saja sebuah pertanyaan muncul di benaknya.
“Dimana awal semuanya ini bermula?”
Sekelibat kenangan buruk dari masa SMP membuat gadis itu menutup telinganya dengan erat, dan bola mata Sena mulai bergetar. Ia merasa ketakutan, terduduk di lantai toilet umum yang dingin, berusaha menekan telinga saat suara-suara bising membuatnya berdengung kembali.
Sena ingat, alasan di balik kehidupan penuh penderitaan ini adalah karena ia tidak ingin menjadi sasaran bully seperti masa SMP-nya.
“Kamu makan lagi, Na? Padahal tadi baru saja jajan di kantin.”
“Sen, bagi-bagi lemak kamu dong.”
“Awas, ada raksasa mau lewat.”
“Ada gajah lepas nih, hati-hati kena tabrak.”
Itu hanya sebagian dari celaan-celaan yang membuat Sena berhasil menurunkan 15kg berat badannya selama liburan kelulusan SMP. Sena merasa semua ini karena kesalahan dirinya sendiri. Mendapatkan hinaan karena kegemukan dan menjadi bulan-bulanan adalah kesalahan Sena karena tidak menjaga dan merawat tubuhnya dengan baik.
Sena mengingat dengan jelas perjuangannya selama hampir satu bulan untuk menurunkan berat badannya secara drastis. Hampir segala jenis diet dan olahraga telah dilakukan, bahkan sampai membuatnya mendekam di rumah sakit selama 2 minggu. Namun, gadis itu tidak berhenti. Sena hanya ingin menjadi kurus karena ia pikir itu adalah satu-satunya cara agar tidak lagi menjadi bulan-bulanan.
Gadis malang itu mulai menepuk dadanya beberapa kali, berharap dapat sedikit mengurangi sesak yang menderanya. Dengan tangan yang bergetar, Sena berusaha berdiri lagi lalu kembali menatap nanar ke arah pantulan dirinya di permukaan cermin. Sena melihat bayangan dirinya lima tahun yang lalu, gadis kecil yang bertubuh gempal dengan kawat gigi dan kacamata bulat menghiasi wajahnya. Mau sekurus apapun dirinya, Sena tidak akan pernah menyadari itu. Angka di timbangan tidak pernah membuatnya puas karena setiap kali menatap cermin, hanya bayangan dirinya yang dulu yang terlihat.
Gadis itu menatap lengannya dengan tatapan nanar, lalu mulai menarik rambut tipisnya dengan kuat, berharap bayangan kelam dari masa lalunya dapat pergi. Air mata mulai membasahi pipi pucatnya, Sena ingin berteriak karena merasa frustasi. Seberapa pun usahanya untuk melupakan masa lalunya, kenangan buruk itu lebih gencar lagi menghantui dirinya setiap saat.
“Tiga kilo lagi… Aku harus turun tiga kilo lagi. Sore ini aku harus olahraga 2 jam. Aku tidak boleh makan apapun sampai besok, air putih saja sudah cukup. Aku tidak mau lagi di ejek gendut. Pokoknya aku harus tetap kurus.”
Sena berusaha untuk tersenyum, menatap lurus ke arah pantulan bayangannya dengan tatapan yakin. “Semangat, Sena. Kamu pasti bisa kurus lagi.”
Kenyataannya, gadis itu memilih untuk tidak keluar dari penjara kenangan buruk yang membelenggunya. Sena tidak akan pernah sembuh, karena ia memilih untuk tetap terkurung.
Tentang Penulis
Mellisa Suryani, seorang penulis muda yang bermukim di Perumnas Nikan Jaya, Jalan Belimbing, Blok B7 No 140, Kota Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, bukanlah hanya seorang penulis. Dia adalah pahlawan kata-kata, mengejar kebenaran dan keadilan melalui tulisannya.
Dalam lomba Menulis Artikel Harian Batakpos dengan tema “Surat untuk Bullying,” Mellisa Suryani berdiri sebagai contoh gemilang bagaimana kata-kata dapat menjadi senjata yang kuat melawan ketidakadilan. Dengan keberanian yang tak tergoyahkan, dia menulis dengan hati yang terbuka dan pikiran yang tajam tentang dampak merusak dari perilaku bullying.
Mellisa tidak sekadar menulis untuk mendapatkan penghargaan. Baginya, setiap kata adalah panggilan untuk membangun dunia yang lebih baik, di mana setiap individu dihargai dan dihormati. Dia menyerukan perdamaian melalui setiap kalimatnya, mengingatkan kita semua akan kekuatan empati dan kebaikan.
Di balik alamat email mellisasuryani1524@gmail.com, terdapat panggilan untuk tindakan. Setiap artikel yang ia tulis bukan hanya sebuah karya seni, tetapi juga sebuah panggilan untuk menghentikan kekejaman dan membangun komunitas yang lebih berempati.
Mellisa Suryani bukan hanya seorang penulis. Dia adalah suara bagi yang tak terdengar, cahaya bagi yang terpinggirkan, dan harapan bagi yang terluka. Dengan tulisannya, dia membawa kita semua ke arah kebaikan dan kebenaran.
Komentar